Ayo nak, naik di pundakku! itu bukan pamali kan? Pegang kepala ayah erat, jika perlu jadikan rambut ku sebagai akar pegangan agar lebih erat. Tak apa kau berpegang di kepala ayah, itu bukan pamali kan?
kita berjalan menyusuri sungai dan pematang. Sesekali ke jalan raya. Jalanan di sana sudah menyiapkan bau, debu tanpa kelu, kita jangan ragu yah.
Ada banyak cahaya yang akan menyeret kita, jangan menoleh mata kita akan silau, kau maju saja ada banyak bayang-bayang cahaya bisa kita peluk, jangan lesu yah.
di kiri kanan jalan, ada banyak rambu jalan jangan malu. bukan kau atau kita yang dia cari. Pohon ketapang di pinggir jalan daunnya sudah seratusan, ada hantu bertengger di tangkainya, jangan percaya yah. Hantu itu berat, pohon katapang tidak mampu menopangnya.
Kita jalan saja, ada banyak asa menanti, lupakan saja masa kecil ayahmu, usah kau tahu itu. Memang pamali Duduk di depan tangga berdua di waktu magrib, kau dan aku berjalan saja mencari cahaya.
kita berjalan, menyanyikan lagu, bersiul tanpa lugu. Jangan terlalu lama tidur pagi jika mentari siap menyinari asa kita, itu juga pamali.
Tangkap cahaya itu dengan hati, jangan di pandangi begitu saja, tapi harus hati-hati. Sebab orang akan menertawakan ketika terjatuh, pamali juga menertawakan orang tanpa sebab bukan? Ayo melangkah saja pegang kepala ayah jangan gunakan hati ayah untuk melihat, sebab itu sulit, kita sudah ditakdirkan pada pamali yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H