Buku Pistol Perdamaian adalah buku kumpulan cerpen pilihan kompas 1996. Buku tersebut memuat tulisan para cerpenis terbaik Indonesia. Mulai dari Kuntowijoyo, AA Navis, hingga Seno Gumira Ajidarma. Buku tersebut dikemas dengan prolog yang epik oleh salah satu guru besar ilmu Sastra UI yakni Prof. Dr. Toety Heraty dan ditutup dengan epilog yang mencerahkan oleh pakar ilmu Sastra UGM Prof. Faruk.
Ada hal yang menarik bagi saya untuk mengangkat kembali buku kumpulan cerpen berjudul Pistol Perdamaian (Cerpen pilihan Kompas 1996) adalah untuk merefleksikan berbagai peristiwa yang direkam oleh penulis dan beberapa diantaranya masih relevan dengan situasi kekinian.
Selanjutnya adalah buku kumpulan cerpen tersebut dapat dikatakan salah satu intisari dari kesusastraan Indonesia. Para penulis telah mengemas cerita mereka dengan pola penulisan yang sederhana namun mengedepankan aspek amanat tulisan. Tulisan tersebut tentu merefleksikan situasi di mana penulis merekam peristiwa. Selanjutnya bahwa kumpulan cerpen tersebut tidak hadir begitu saja melainkan telah melewati proses penjurian yang alot dan tim yang independen yang ditentukan oleh pihak kompas hingga tersaji beberapa cerpen. Kemudian dari pilihan tersebut lepas dari penjurian maka diserahkan lagi kepada pakar Ilmu Sastra yakni kedua guru dalam bidang Sastra tadi Ibu Toety dari UI dan Pa Faruk dari UGM. Keduanya memilih yang mana paling terbaik dan dijadikan sebagai judul buku. Dan jatuh pada Pistol Perdamaian yang ditulis oleh Kuntowijoyo.
Hal kedua ada melihat tulisan-tulisan para cerpenis yang tidak terlalu bertele-tele di awal. Bahkan sejak awal langsung memperlihatkan amanat dari cerpen tersebut. Kebanyakan pembuka tidak begitu rumit dipahami. Isi gambang dicerna oleh pembaca mana saja dan dari latar belakang mana saja. Demikian amanat cerpen serta ketokohan tergambar dengan jelas.
Ibu Toety menggambarkan kelebihan dan amanat dari tiap cerpen secara runut. Demikian pa Faruk mengurai atas kekuatan cerita. Bahwa cerpen-cerpen baik dalam kumpulan cerpen tahun 1996 maupun tahun sebelumnya yang menghadirkan bangunan citra peristiwa secara tidak langsung namun bangunan citra peristiwa dapat melintasi segala obyek yang terbendung. Selanjutnya Faruk mengungkapkan bahwa beberapa cerpen pilihan teresebut telah mengingkari romantisme dan sentimentalisme.
Menurut guru besar Ilmu Sastra UGM tersebut menilai bahwa secara kuantitatif dan kualitatif, Seno Gumira Ajidarma lah yang selalu mewarnai dan paling menonjol di antaranya. Dalam artian ada konsistensi yang dilakukan seorang cerpenis sekelas Seno Gumira Ajidarma, serta ada keinginan kuat untuk menghadirkan realitas sosial dalam wujud fiksi.
Keinginan tersebut terus digambarkan dalam ceritanya baik pada tahun-tahun sebelumnya maupun dalam buku Pistol Perdamaian seperti Dongeng Sebelum Tidur, Sukab dalam Sepatu dan sebagainya. Demikian Prof Toety menegaskan bahwa cerita dalam cerpen Seno Gumira tidak mengada-ada tetapi riil yang dihadapi oleh baby sitter dalam Dongeng sebelum Tidur.
Tulisan-tulisan yang ada nampak sederhana dan dialogis antar tokoh. Tokoh-tokoh pun yang dihadirkan penulis tidak mesti dengan manusia, namun bisa berwujud benda. Seperti dialog antar benda dengan manusia dalam Cerpen Pistol Perdamaian, ada tiga benda pusaka yakni keris, ujung tombak dan pistol yang terkadang berdialog secara tidak langsung dengan pemiliknya. Demikian dialog antara antara sepatu kiri dan kanan, dialog antar ikat sepatu dengan kaki dan pemilik sepatu itu sendiri dalam cerpen Sukab dan Sepatu. Yang pada intinya dialog-dialog tersebut sangat erat kaitannya dengan kesetiaan.
Hal yang menarik lagi bahwa cerpen-cerpen pilihan dalam buku Pistol Perdamaian ada keistimewaan masing-masing cerita yang ditulis oleh para cerpenis. Ada kekuatan cerita yang dibangun penulis yang mampu merepresentasikan peristiwa yang ada tanpa harus dinarasikan dalam bentuk romantisme atau sentimentalisme. Dalam artian semua tulisan cerpen yang ada dalam buku Pistol Perdamaian adalah bercorak realis dan sangat relevan dengan masyarakat.
Apa yang bisa kita petik dari kumpulan cerpen tersebut adalah seorang penulis harus peka terhadap realitas saat ini. Penulis dapat menjembatani berbagai problem masyarakat sehingga mampu menghadirkannya kembali dalam cerita agar dicerna, dirasakan pembaca seperti apa yang dirasakan tokoh atau penulis itu sendiri.