Bola yang kau giring ke lapangan sawah kering di bulan Maret itu adalah jeruk yang menyerupai.
Setelah Maret itu basah, kau berlarian seakan memburu para gembala-an, lalu kau berenang bersama menyeberangi kali.
Kau tak sempat turunkan layangan, akhirnya ia basah kuyup, lalu ibumu mencari kemana uang kertas pembeli ikan dan sayur itu.
Kau pura pura lupa, menaruhnya di warung yang mana. Mandi air hujan, seakan itu hukuman, semakin deras air itu membasuh kulit kulitmu yang sao matang itu, semakin kau pura pura geli.
Ayahmu meminum kopi di beranda, mengisap cerutu ikut larut dengan kenangan masa kecilnya dulu. Kopi nya semakin dingin, cerutunya hampir putus dari ikatan kertas putih, hujan tak peduli.
Kasur busa mu basah, terdengar teriakan-teriakan dari masjid masjid berkali kali, imsak, ada yang dengan lantang ke corong telinga Imsak imsak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H