Mahasiswa dikenal dengan label orang kritis. Mereka berada pada fase pencarian jati diri sementara dalam pencarian tersebut berbagai hal yang membenturkan kondisinya. Setamat SMA banyak di antara mereka bercita-cita tinggi akhirnya masuk perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Tidak sedikit di antara mereka mengalami proses perjalanan yang tidak biasa. Seperti pada generasi pra mileneal dan generasi milenial harus mengikuti ujian masuk dengan proses ketat, setelah lulus ada lagi yang namanya ospek, pengkaderan, soft skill hard skill sebelum masuk bangku kuliah, dan sebagainya. Sehingga setelah masuk hingga lulus kuliah sangat jauh dari ekspektasinya.
Masa-masa mahasiswa di era tersebut di atas tentu mereka harus memiliki ruang dan panggung untuk mengaktualisasikan kekritisan mereka. Baik melalui organisasi himpunan, organisasi BEM, UKM organisasi kedaerahan maupun organisasi intra dan ekstra lainnya. Selain atau melalui organisasi tersebut terdapat beberapa panggilan untuk tampil menulis di media atau melalui aksi demonstrasi. Tentu lebih banyak memilih jalur demonstrasi dibanding dengan jalur menulis sebab ruang menulis adalah ruang terbatas dan ruang sunyi yang hanya digandrungi kutu buku di eranya. Sehingga dengan jalur demonstrasi mereka dapat melatih mental, orasi dengan baik, hingga berlanjut nantinya di dunia kerja yang sudah memiliki banyak pengalaman. Tentu salah satu medium untuk memancing perhatian media dan publik pada saat itu yakni dengan bakar ban.
Beda zaman beda kecenderungan generasi. Saat ini generasi milenial dan pasca milenian memiliki kecenderungan yang berbeda. Mereka dapat mengaktualisasikan diri mereka tanpa jalur di atas tadi. Hanya dengan smartphone di tangan, dan berani diviralkan mereka pasti sangat mudah terkenal. Semakin ia terkenal semakin kelihatan panggung dan media yang cocok untuk dirinya.
Saat ini dengan hadirnya begitu banyak medium untuk para generasi, tentu sangat memudahkan mereka untuk tampil di mana-mana tanpa panggung yang sesungguhnya tadi. Media sosial menjadi ruang terbuka bagi mereka tanpa batas. Sehingga tidak menutut kemungkinan banyak orang-orang di sekitar kita memiliki dan menyetir panggungnya sendiri. Dengan menyetir panggung sendiri olehnya itu, ia dapat mengisi berbagai konten baik menarik atau tidak menarik.
Pada dasarnya sebuah ajang aktualisasi diri (sebut panggung) atau ruang ekspresi sangat penting. Apalagi di era saat ini lebih kencang dan kuat signal dari media sosial dibanding dengan panggung konvensional lainnya. Di jaman ini tak ada lagi remaja yang tak memiliki panggung tadi. Sehingga kadang kita jumpai para remaja dapat saja berhubungan secara virtual dengan remaja di luar negeri tanpa sepengatahuan orang tua mereka. Seperti kasus yang viral adalah kasus Asib Ali pemuda asal India yang berhubungan melalui media sosial tanpa kendali orang tuanya akhirnya hubungannya kandas, remaja asal Maluku berhubungan online dengan tentara Amerika akhirnya jadi nyata, siswa asal Semarang berhasil memecahkan teka-teki PT Google hanya melalui ruang virtualnya, dsb. Dari kasus tersebut tentu ada yang berfaedah dan ada juga yang tidak tergantung kecenderungan dan kontrol orang tua mereka.
Sehingga kaum remaja dan dewasa saat ini tidak perlu lagi jauh-jauh dan membuat kemacetan di mana-mana. Sekarang masing-masing individu sudah memiliki panggung sendiri, tinggal bagaimana memanfaatkan panggung-panggung kecil miliknya dalam bentuk kritikan baik kepada masyarakat umum maupun kepada pemerintah. Sehingga konten yang kritis dapat mengedukasi banyak orang. Dampak positif lainnya, bisa saja dengan beralih jadi konten kreator bisa menghasilkan uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H