Hujan siang menghantar kehangatan diskusi siang itu. Ditemani dengan sajian Roti, Sushi, dan minuman jus buah alfukad, jus leemon. Hujan semakin deras, diskusi semakin alot. Saya enggan mencari cela untuk berangkat duluan. Diskusi ini awalnya hanya pertemuan dengan rekan atau sebutlah ia mentor English Advance Class salah satu grup WAG kami beranggotan enam orang. Hari Rabu ini adalah pertemuan in person dengan Ibu Anne (mentor), Mba Nazilah (kandidat doktor dan juga mom di kelas), Mang Asep (budayawan Sunda), dan saya sendiri. Pukul 11 siang kami bertemu di kansas (kantin Sastra, Fakultas Ilmu Budaya). Sebagaimana kelas meeting online kami membahas topik apa saja bisa progress studi (penelitian, tulisan, publikasi, bimbingan hingga urusan dapur), budaya daerah masing-masing hingga sesuatu yang trending di media sosial. Tentu percakapan dengan bahasa Inggris (prinsipnya speak English think English, and English around You), begitulah aturan yang tidak mengikat.
Selepas pertemuan sebab sudah sejam berlangsung. Ibu Anne dengan drivernya berangkat ke rumahnya untuk zoom meeting selanjutnya, Ibu Nazilah juga demikian sedang ada kelas zoom beserta guru-guru terkait school branding. Saya bersama Mang Asep masih duduk mengobrol. Pembicaraan saya awali terkait risetnya dengan topik risetnya Air dan Tumpeng yang ia presentasikan dalam pertemuan G20 kemarin. Saya melanjutkan menyinggung sedikit terkait bukunya bahwa bisa ditulis dengan baik dan diterjemahkan. Tentu penulis, dalam menuliskan buku lokalitas akan digandrungi oleh teori kata saya, teori akan mengalir dalam tulisan. Sebuah pemahaman yang baru saya dapatkan, di mana sebelum saya mengetahui bahwa teori-teori akan di masukkan dalam data. Akan pemaksaan teori membaca data, padahal tidak demikian. Esensi tulisan akan berbicara nilai atau bergantung pada paradigmanya.
Lanjut, ia sedikit membincangkan dengan pertemuannya bersama Bissu (manusiaa suci dari Sulawesi), Sanro (orang yang biasa ditugaskan menangani masalah tertentu, bisa bagian doa), dan Panrita (orang yang dianggap ahli dalam bidang kayu (panrita bola), besi (pandai besi)). Pembicaraan mengalir hiingga mendiskusikan bagaimana seorang pandai besi, tentang keris dan badik yang menjadi pusaka daerah masing-masing. Bagaimana folofis benda-benda pusaka. Hingga membahas terkait pertanian berkelanjutan yakni di mana beberapa suku tertentu masih meyakini bahwa dengan selamatan dan sesajen dapat memberi makan binatang atau hama tanaman sehingga tanaman dapat terjaga dengan baik. Sesekali saya menyela terkait bagaimana eksistensi suku Badui dalam mempertahankan kebudayaannya. Ia menjelaskan mulai dari sistem kehidupan pertanian hingga bagaimana pengobatan tradisional masyarakat suku Badui.
Ada hal menarik yang kami bahas di luar konteks sebenarnya adalah bagaimana upaya masyarakat mayoritas memberikan contoh yang baik dalam kehidupan berkelanjutan. Misalnya gerakan penanaman pohon bisa dilakukan dari sekolah, rumah ibadah dan sebagainya. Perlu ada gerakan meminimalisir penggunaan air di tempat umum seperti di rumah ibadah. Agar eksistensi dan ekologi lingkungan terjaga. Hujan belum reda, kami berfikir bahwa bagaimana air bisa tersimpan dengan baik. Sebagaimana gerakan ekologi yang dilakukan oleh kelompok etnik/ suku budaya terpencil yang terpinggirkan. Padahal bagi mereka hujan dan air adalah kehidupan. Namun beberapa kelompok pemerintah kita menimbun laut, membangun gedung-gedung tinggi sehingga yang di kompleks perumahan terkena dampaknya yakni banjir.
Hujan semakin deras namun, perjumpaan harus ditutup dengan sebuah memori pertukaran informasi menarik untuk direfleksikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H