Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bukanlah terma baru dalam ilmu teknologi. Benih-benih AI pada dasarnya sudah diperkenalkan oleh beberapa filsuf hingga digunakan oleh ilmuwan dan disederhanakan beberapa penggagas AI di era teknologi ini. Awalnya hanya sebagai pola pikir secara rasional dan logis kemudian dikembangkan sebagai sistem yang bisa berbuat secara rasional dan logis. "Dari pola pikir rasional dan logis menjadi bisa berbuat rasional dan logis".
Jika kita mendengar istilah artificial intelligence atau kecerdasan buatan atau kecerdasan artificial yang ada di benak kita adalah robot yang bisa mengerjakan apa saja dan pada akhirnya menggantikan pekerjaan manusia sehingga kita akan panik. Atau terkait mobil yang bisa mengendarai sendiri (self driving car) yakni mobil yang bisa berjalan sendiri tanpa driver dari manusia namun dikendalikan oleh manusia dan teknologi. Lagi-lagi kekwatiran kita muncul bahkan ketakutan di mana-mana jangan sampai mobil yang berjalan sendiri adalah hantu di malam hari, namun di siang hari di jam pulang sekolah anak-anak jangan-jangan mobil tersebut adalah mobil pencuri anak-anak yang dikendalikan oleh penjahat di suatu tempat.
Pada dasarnya artificial Intelligence (AI) ada di sekitar kita, perangkat AI ada di mana-mana bahkan sering menyertai kita setiap hari kapan dan di mana pun. Salah satu perangkat yang memanfaatkan kecanggihan AI adalah google maps. Peran perangkat teknologi AI dalam maps misalnya membantu kita mencari rute yang tepat agar terhindar dari macet.
Demikian beberapa aplikasi dalam telpon cerdas kita dalam berfoto dengan foto otomatis akan fokus pada bagian muka kita. Serta pelanggaran-pelanggaran yang akan dilakukan oleh pengendara akan terekam dengan sensor yang digunakan oleh teknologi. Namun apa yang membuat kita khawatir hari ini yakni adanya produk AI terbaru yang lebih mengarah pada perangkat dalam laman OpenAI untuk membantu dalam pembelajaran (aspek learning dari perangkat AI). Yang mana awalnya hanya berupa pencari, alasan (reasoning), perencanaan, dan saat ini ada juga aspek learning. dalam aspek learning ini individu dapat belajar langsung tanpa bantuan individu lainnya.
Salah satu produk AI atau perangkat dalan open AI yang saya maksud adalah ChatGPT. GPT sendiri merupakan singkatan dari Generative Pre-Trained Transformer. ChatGPT adalah sebuah produk perangkat lunak berupa model bahasa generatif yang menggunakan transformer yang dapat digunakan seseorang untuk memprediksi kata, kalimat bahkan mampu membantu memberikan gap sebuah penelitian. ChatGPT dikembangkan oleh laman Open AI. Kemungkin dengan perkembangan produk AI ini bisa saja menggeser beberapa posisi tenaga manusia. Salah satunya penerjemah, editor, bahkan bisa memberikan rangkaian jawaban dalam ajuan pertanyaan bagi pengguna.
Hadirnya perangkat tersebut bisa memudahkan manusia dalam pengerjaan teks melalui laman tersebut sehingga dapat mengancam ekologi dalam dunia akademik. Antara penerjemah misalnya dengan individu yang membutuhkan jasa penerjemahan, seornag mahasiswa dapat dengan mudah menemukan data, referensi serta gap penelitian sehingga intensitas pertemuan dengan dosen sangat berkurang bahkan bisa saja lebih mempercayai akurasi dari perangkat aplikasi tersebut dari pada pengetahuan individu atau dosen.
Kehadiran ChatGPT ini tidak perlu kita khwatirkan secara berlebihan sebab ini sebuah keniscayaan dari adanya teknologi saat ini. Justri kehadiran ChatGPT bisa lebih menambah kreativitas dan inovasi kita terlebih baik para sarjana atau ilmuwan. Sebab AI atau produk AI juga tentu dikendalikan oleh manusia. Sehingga keduanya bisa balance yang tentu tidak hanya merugikan tapi dapat membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H