Sebelum membahas ke-luarbiasaan Andrea Hirata dalam "Orang-Orang Biasa" saya akan mengantar hal-hal biasa kita dengar yaitu Sastra atau Susastra. Agar nantinya kita tidak mudah terjebak pada wilayah penafsiran semata atas lahirnya karya sastra.
Pada abad ke-3 SM yaitu 384-322 SM Aristoteles pernah berkisah dalam buku berjudul poetica dan hingga kini masih dapat kita jumpai dalam versi terbitan baru dengan bahasa Indonesia. Kehadiran karya Aristoteles tersebut memuat tentang teori drama tragedi.
Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti; The Study of Literature (W.H. Hudson), Theory of Literature (Rene Wellek dan Austin Warren), dan Literary Knowledge/ ilmu sastra (A. Teeuw).
Dalam Ilmu sastra sendiri, setidaknya memiliki tiga tingkatan keilmuan diantaranya ilmu tentang teori sastra, ilmu sejarah sastra dan ilmu kritik sastra. Ketiga tingkatan dan disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian dan apresiasi karya sastra.
Teori sastra sebagai cabang ilmu sastra, mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra, dapat pula digunakan sebagai pembeda karya (sastra dan bukan sastra).
Dalam teori sastra pula mencakup elemen elemen pada masing masing jenis karya sastra (prosa, puisi dan drama). Sejarah sastra merupakan bagian dari ilmu sastra guna mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, serta peristiwa-peristiwa terjadi di seputar masalah sastra.
Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala, pengaruh karakteristik isi dan tematik.
Kritik sastra, juga bagian dari ilmu sastra, ia juga merupakaan telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik dengan baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan dan pengalaman cukup dalam kehidupan nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Munculnya formalism rusia dan strukturalisme linguistik, mencoba mengusik objek ilmu sastra dari akar-akarnya. Lalu timbul keresahan para kritikus agar karya sastra hadir sebagai ranah keilmuan dan filsafat tidak hanya bertaut pada teks sebagai sesuatu berdiri kokoh di kalangan seniman tanpa ada penopangnya.
Kritik sastra kemudian menjadikan dirinya sebagai medium antara penulis, karya dan pembaca juga pada masyarakat umum. Antara penulis karya dan atas karyanya menjadikan bahasa sebagai transformasi ide dan gagasan.
Olehnya pengetahuan bahasa sangat diperlukan penulis dalam menghadirkan gagasan, imaginatif, mata batin dan rekaman pengetahuannya, begitu juga dengan pembaca membutuhkan bahasa dalam mereprsentasi atas karya.