Dengan Amerika Serikat (AS) yang semakin mendekati pemilihan umum (pemilu) yang sangat penting dalam waktu kurang dari satu bulan, perhatian dunia sekali lagi akan beralih pada proses unik dan sering kali rumit yang mendefinisikan demokrasi AS: electoral college atau kolese elektoral. Perlu diketahui bahwa meskipun jutaan warga AS akan memberikan suara mereka pada pemilu ini, keputusan akhir atas sosok yang akan menjadi presiden tidak berada di tangan rakyat secara langsung, tetapi pada kolese elektoral yang dialokasikan untuk setiap negara bagian. Sistem ini telah menjadi bahan perdebatan selama beberapa dekade, namun tetap menjadi fitur utama dalam pemilihan presiden AS.
Bagaimana Kolese Elektoral Bekerja?
Kolese elektoral AS bukanlah lembaga fisik, melainkan suatu proses yang diciptakan oleh para pendiri negara tersebut sebagai bentuk kompromi antara pemilihan Presiden oleh Kongres dan pemilihan dengan suara terbanyak dari rakyat. Ketika rakyat AS memilih seorang kandidat presiden, mereka secara teknis hanya memilih sejumlah elektoral yang dipilih oleh partai utama. Para elektoral ini, pada gilirannya, secara resmi akan memilih presiden dan wakil presiden, biasanya kandidat yang diusung oleh partai yang didukung.
Saat ini, terdapat 538 yang menjadi bagian dari kolese elektoral AS, yang mewakili jumlah senator dan DPR AS, ditambah tiga pemilih untuk District of Columbia. Untuk memenangkan kursi kepresidenan, seorang kandidat harus mendapatkan setidaknya 270 suara elektoral mayoritas. Jumlah elektoral di setiap negara bagian ditentukan dengan memproporsikan pada jumlah penduduknya, sesuai dengan hasil sensus penduduk terbaru. Ini berarti negara bagian yang lebih banyak penduduknya seperti California, Texas, dan Florida memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap hasil pemilihan, sementara negara bagian yang lebih kecil seperti Wyoming, Vermont, dan Alaska memiliki lebih sedikit suara elektoral.
Mengapa Kolese Elektoral AS Ada?
Sistem pemilu AS pada dasarnya merupakan serangkaian kontes tingkat negara bagian. Sebagian besar negara bagian menggunakan sistem "pemenang mengambil semua", di mana kandidat yang memenangkan suara populer di negara bagian tersebut mendapatkan semua suara elektoral negara bagian tersebut. Namun, dua negara bagian-Maine dan Nebraska-menggunakan sistem proporsional, di mana suara elektoral dapat dibagi di antara para kandidat berdasarkan bagaimana distrik-distrik dimenangkan. Dengan sistem ini, seorang kandidat dapat memenangkan suara populer nasional tetapi masih kalah dalam pemilihan jika mereka tidak memenangkan cukup suara elektoral. Hal ini terjadi pada pemilu 2016, di mana Hillary Clinton memenangkan hampir 3 juta suara lebih banyak daripada Donald Trump, tetapi kalah dalam perhitungan elektoral.
Kolese elektoral dirancang untuk menyeimbangkan kekuasaan antara negara-negara bagian yang berpenduduk besar dan yang berpenduduk sedikit, serta untuk mencegah daerah-daerah perkotaan mendominasi hasil pemilu. Para pendiri negara AS mewaspadai demokrasi langsung dan percaya bahwa kolese elektoral, yang dipilih berdasarkan kebijaksanaan dan pengetahuan mereka, akan membuat keputusan yang lebih tepat daripada masyarakat umum. Namun, para pengkritik berpendapat bahwa sistem ini merusak prinsip "satu orang, satu suara", dan memberikan pengaruh yang tidak proporsional kepada negara-negara bagian yang mengambang (swing states) - negara-negara bagian yang relatif seimbang dalam konteks dominasi dari Partai Republik atau Demokrat dan sangat diperebutkan selama kampanye.
Swing States, Strategi Pemilu, dan Seruan untuk Reformasi
Akibat sebagian besar negara bagian dapat diandalkan untuk memilih Partai Republik atau Demokrat, para kandidat presiden cenderung memfokuskan kampanye mereka di negara-negara bagian yang menjadi swing state, terutama yang memiliki suara elektoral yang relatif besar. Pada pemilu mendatang, negara-negara bagian seperti Pennsylvania, Wisconsin, dan Georgia diperkirakan akan memainkan peran penting. Dengan kondisi ini, para kandidat biasanya menyesuaikan pesan mereka untuk menarik perhatian khusus para pemilih di negara-negara bagian ini, yang terkadang menimbulkan kritik bahwa keberadaan kolose elektoral mendorong kampanye yang mengabaikan perhatian para pemilih di negara bagian "biru" atau "merah" yang solid. Kolese elektoral AS sebenarnya telah menjadi subjek perdebatan sengit, di mana para kritikus berpendapat bahwa sistem ini sudah ketinggalan zaman, tidak demokratis, dan tidak mencerminkan kehendak mayoritas. Upaya-upaya untuk mereformasi atau menghapuskan kolose elektoral AS, seperti melalui National Popular Vote Interstate Compact, yang berusaha memberikan suara elektoral kepada kandidat yang memenangkan suara populer, telah mendapatkan daya tarik tetapi masih jauh dari implementasi.
Perbandingan dengan Sistem Pemilu Indonesia