Lihat ke Halaman Asli

Aldo

Lulusan sarjana ekonomi dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Penghapusan Ambang Batas Parlemen: Luka yang Ditimbulkan Sendiri dalam Demokrasi Indonesia

Diperbarui: 1 Maret 2024   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sidang MPR Tahun 2015 di Kompleks Gedung Parlemen (KOMPAS/HERU SRI KUMORO via Kompaspedia)

Keputusan untuk menghapus ambang batas parlemen di Indonesia telah menimbulkan gelombang kejut di seluruh negeri, memunculkan kekhawatiran besar tentang masa depan sistem demokrasi bangsa ini.

Perubahan yang tampaknya kecil ini memiliki potensi untuk menyebabkan kerusakan besar di ranah sosial-politik, hukum, ekonomi, dan konstitusional.

Konteks Sejarah: Mengapa Ambang Batas Parlemen Ditetapkan?

Indonesia pertama kali menerapkan ambang batas parlemen pada tahun 2009, sebagai tanggapan terhadap lanskap politik yang kacau setelah jatuhnya rezim otoriter Suharto.

Tanpa ambang batas, banyak partai kecil dengan kepentingan sempit menjamur di legislatif. Fragmentasi ini melumpuhkan pembuatan kebijakan, mendorong kelambanan pemerintah, dan memicu kekecewaan publik yang meluas terhadap proses demokrasi.

Ambang batas diberlakukan demi mengatasi masalah-masalah tersebut dan memiliki tujuan utama antara lain:

  • Memperkuat stabilitas dengan mendorong konsolidasi partai, menyederhanakan pembentukan koalisi, dan menciptakan badan legislatif yang berfokus;
  • Memperlancar proses pembuatan Undang-undang dengan mengurangi kebuntuan dan inefisiensi yang disebabkan oleh upaya menenangkan banyak kepentingan khusus; serta
  • Menjamin representasi dengan memastikan hanya partai dengan dukungan publik yang signifikan dan memiliki suara yang cukup besar dalam pemerintahan nasional.

Sementara alasan di balik kebijakan 2009 tersebut masih valid, penghapusan ambang batas saat ini tentu menimbulkan pertanyaan serius.

Lanskap politik Indonesia telah berkembang jauh sejak saat itu, dengan sistem multi-partai yang lebih kuat dan institusi demokrasi yang lebih kokoh. Risiko fragmentasi ekstrim seperti yang terjadi di era awal pasca-Suharto bisa dibilang telah berkurang. 

Akan tetapi, kebutuhan mendasar akan mekanisme yang menyeimbangkan representasi dan tata pemerintahan yang efektif tetap menjadi prinsip dasar demokrasi yang sukses. Mari kita cermati alasannya!

Fragmentasi Sosial-Politik: Racun Ketidakstabilan Abadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline