Lihat ke Halaman Asli

Aldo

Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

PSSI: Kubangan Inkompetensi, Dapatkah Erick Thohir Membersihkan Kotoran Ini?

Diperbarui: 28 Februari 2024   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelompok Pendukung PSPS yang Memprotes Suatu Regulasi PSSI (PALTI SIAHAAN/TRIBUNPEKANBARU.COM)

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bukan sekadar organisasi yang disfungsional; tetapi juga merupakan karikatur kegagalan institusional yang mengerikan di negeri ini. 

Inkompetensi merembes dari pori-porinya, nepotisme mengalir deras di nadinya, dan minimnya akuntabilitas adalah jantungnya. Indonesia, negara berpenduduk lebih dari 270 juta dengan semangat membara untuk sepak bola, hanya memiliki sekitar 10.500 pemain elite muda yang terdaftar. 

Di sisi lain, tim nasional Indonesia juga secara konsisten berada di luar peringkat 100 besar dunia, suatu dakwaan menyedihkan atas kebusukan yang selalu buruk di dalam PSSI. 

Bahkan, pada turnamen sekelas Asia Tenggara seperti Kejuaraan AFF yang telah digelar sejak 1996, prestasi terbaik Indonesia hanya sampai menjadi runner-up sebanyak enam kali, sedangkan negara kecil Singapura dengan jumlah penduduk yang setara dengan Sumatera Barat (provinsi terbesar kelima di Pulau Sumatera dari segi jumlah penduduk) telah memenangkan kejuaraan regional tersebut sebanyak empat kali (1998, 2004, 2007, 2012). 

Kedatangan Erick Thohir, seorang pengusaha dan politisi terpandang, menawarkan secercah harapan, tetapi bau busuk begitu menyebar sehingga orang bertanya-tanya apakah ia memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran ini. Artikel ini akan mengungkap bagian PSSI yang busuk dan memaparkan tantangan berat yang terbentang di jalan menuju kesuksesan.

Budaya yang Kebal terhadap Kemajuan

Budaya toksik PSSI bukanlah fenomena baru; hal ini merupakan puncak dari dekade kepuasan diri yang mendarah daging dan alergi yang tak tergoyahkan terhadap segala bentuk kemajuan. 

Para pejabat memandang posisi mereka sebagai wilayah kekuasaan pribadi, kesempatan untuk memperkaya diri, alih-alih wadah memajukan sepak bola Indonesia. 

Nepotisme bukan sekedar hal yang disukai, melainkan modus operandi. Kronisme memastikan bahwa posisi diisi oleh loyalis dan kerabat, terlepas dari kemampuan, sementara mereka yang memiliki bakat dan visi asli dikucilkan. 

Mentalitas mementingkan diri sendiri ini telah menghambat kehidupan PSSI dan merupakan tumor ganas pertama yang harus diangkat jika organisasi ingin menjadi maju dan menjadi tulang punggung kebanggan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline