Tidak sedikit cerita sejarah yang menunjukkan betapa dunia hampir tidak pernah berpihak pada kesuksesan negara yang beragam dalam budaya. Runtuhnya Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Ottoman, Imperium Britania, dan Uni Soviet menjadi bukti dari masa lalu yang mencoba 'mengajarkan' umat manusia bahwa negara multikultural tidak akan bisa bertahan.
Dalam sejarah kontemporer, umat manusia juga terus dihadapkan pada 'pembelajaran' yang sama dengan adanya konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah, gerakan separatisme di kawasan Eropa Timur, hingga perang saudara yang masif di kawasan Afrika akibat aspek multikulturalisme yang terdapat pada kawasan-kawasan tersebut. Bahkan, Amerika Serikat dan India yang sering dijadikan 'simbol' kesuksesan multikulturalisme tidak lepas dari 'kutukan' ini sekalipun tidak sampai menyebabkan kedua negara tersebut runtuh. Akan tetapi, 'hampir tidak pernah' bukan berarti 'tidak mungkin' atau 'tidak sama sekali'.
Indonesia mungkin menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang tidak terkena 'kutukan' multikulturalisme, setidaknya hingga saat ini. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan budaya yang sangat beragam, ditunjukkan dengan jumlah etnis hingga 633 kelompok besar menurut Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan jumlah bahasa established (tidak termasuk immigrant) hingga 707 menurut SIL International.
Data ini 'diperparah' dengan adanya fakta lain berupa jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270.625.568 jiwa -- menurut estimasi Perserikatan Bangsa-bangsa -- yang merupakan terbanyak keempat di dunia dan tersebar pada sekitar 6.000 pulau dengan luas daratan hingga 1.811.569 km2 (terluas keempatbelas di dunia, tidak termasuk inland waters dan laut teritorial). Namun demikian, Indonesia memiliki ethnic polarization index sebesar 0,529 untuk periode yang sama, tidak jauh berbeda dengan sejumlah negara besar lainnya seperti Amerika Serikat sebesar 0,691; Inggris sebesar 0,571; Thailand sebesar 0,582; ataupun Meksiko sebesar 0,654.
Sebagai catatan, ethnic polarization index (EPI) didasarkan pada distribusi pendapatan, evolusi, stabilitas sosial, dan keberadaan konflik di antara kelompok etnis yang berbeda pada suatu wilayah. Indonesia juga merupakan negara yang tergolong demokratis. Dengan kata lain, tanpa adanya tekanan yang besar dari pemerintah melalui kebijakan terkait dengan multikulturalisme, Indonesia tetap mampu untuk tidak terpolarisasi.
Konteks ini akan relevan jika kita melihat sejumlah negara multikulturalis dengan EPI yang tidak jauh berbeda atau bahkan lebih baik dibandingkan Indonesia meskipun memiliki potensi konflik antar-etnis yang jauh lebih tinggi, seperti Irak yang memiliki EPI sebesar 0,665; Tiongkok sebesar 0,661; Angola sebesar 0,572; Sudan sebesar 0,699; dan Suriah sebesar 0,373.
Menurut Montalvo dan Reynal-Querol dalam World Bank Policy Research Working Paper 4192 (2007), suatu negara dengan proporsi hutan dan pegunungan yang lebih tinggi pada wilayah yang dikuasai akan memiliki probabilitas yang juga lebih tinggi dalam aspek terbentuknya rebel group yang utamanya didasarkan pada identitas etnis. Menurut CIA World Factbook, Indonesia memiliki hutan terluas kedelapan di dunia (944.320 km2) yang menutupi 49,6% dari luas wilayah yang menjadi kedaulatan Indonesia.
Selain itu, seluas 60% dari keseluruhan wilayah Indonesia merupakan wilayah pegunungan. Meskipun demikian, konflik atau gerakan separatisme yang terjadi di Indonesia dan didasarkan pada identitas etnis terbilang tidak banyak. Tercatat, sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, konflik atau gerakan separatisme atas dasar supremasi atau 'ketidaksesuaian' identitas etnis tertentu dengan identitas kebangsaan 'Indonesia' hanya meliputi Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka.
Sumpah Pemuda sebagai Fondasi Awal
Meskipun baru merdeka pada 17 Agustus 1945, konsep kebangsaan Indonesia telah diciptakan sejak 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda Kedua yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda. Bahkan, lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' telah ada pada kongres ini meskipun negara Indonesia sendiri baru ada lebih dari 16 tahun kemudian.
Secara singkat, Sumpah Pemuda mendeskripsikan keberadaan 'Indonesia' sebagai suatu identitas kesatuan yang diwujudkan dalam bentuk 'konsep tanah air', 'identitas kebangsaan', dan 'bahasa'.