Lihat ke Halaman Asli

Relevansi Nilai Lokal Bugis Wajo dalam Pembangunan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300788003756952229

BAGIAN I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir membuat sekat-sekat ruang dan waktu semakin tipis. Hal ini semakin memungkinkan terjadinya globalisasi diberbagai sisi kehidupan, baik ekonomi, politik atau budaya.

Globalisasi disatu sisi berarti westernisasi. Namun sisi lain berarti memberikan ruang pada budaya – budaya minoritas untuk bisa aktual. Begitupun pada bidang pembangunan, paradigma positivistik – newtonian yang menjadi paradigma utama selama beberapa abad terakhir, namun globalisasi memberi kesempatan pada paradigma holistik dan lebih ramah.

Paradigma positivistik dalam ranah ilmu sosial telah melahirkan oposisi biner modern – tradisional, maju – berkembang, barat – timur dan sebagainya. Akibatnya adalah adanya hegemoni dan dominasi diberbagai bidang oleh negara maju terhadapnegara berkembang.

Membahas demokrasi, selain mengurai relasi penguasa dan rakyat juga mengurai sistem pemerintahan berarti kita dapat membaca filosofi kepemimpinan dalam negara tersebut. Seperti bagaimana posisi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Atau juga seperti bagaimana wewenang penguasa.

Wajo sebagai sebuah kerajaan yang kini menjadi kabupaten dalam wadah NKRI punya sejarah dan tradisi yang berhubungan erat dengan demokrasi. Sehingga menjadi menarik mengulas nilai lokal Wajo dari tinjauan demokrasi. Dari beberapa paparan singkat diatas, penulis tertarik untuk mengangkat kearifan lokal bugis Wajo yang relevan dengan demokrasi.

Rumusan Masalah

Adapun rumusan makalah dalam makalah sederhana ini adalah :

1.Bagaimana sejarah dan peristiwa pentingyang mencerminkan sifat demokratis pada orang Wajo ?

2.Apa saja kearifan lokal Wajo yang relevan dengan konsep demokrasi ?


BAGIAN II

PEMBAHASAN

1.Sejarah dan peristiwa singkat Wajo

Wajo, sebuah kerajaan bugis yang kini menjadi kabupaten, memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Dari perjalanan sejarah tersebut, banyak peristiwa penting yang mewarnai dan membentuk watak dan karakter orang Wajo.

Ada dua versi tentang terbentuknya Wajo. Pertama yakni versi Pau-pau Rikadong (PRK) dan kedua adalah versi Lampulungeng. Beberapa argumen yang penulis yakini sehingga penulis menganggap bahwa versi Lampulungeng lebih valid. Namun berhubung terbatasnya ruang dalam makalah ini sehingga tidak sempat penulis paparkan.

Berbeda dengan kronik kerajaan bugis lainnya, yang memulai kisah kerajaannya dengan kondisi chaos, kemudian datang seorang manusia setengah dewa yang disebut Tomanurung. Kronik Wajo justru melakukan pembalikan drastis. Kronik Wajo memulai kisahnya dengan seorang manusia yang berpengetahuan dan berkemampuan. Kemudian datanglah orang dari berbagai arah yang bertutur bugis dan mencari kehidupan yang lebih baik.

Komunitas itu kemudian disebut Komunitas Lampulungeng dan dipimpin oleh Puangnge ri Lampulungeng. Mereka berkumpul dipinggir danau. Ada yang berkebun, beternak dan menangkap ikan. Setelah Puang ri Lampulung wafat, masyarakat Lampulung tersebar dibeberapa tempat hingga ada seseorang yang memiliki kemampuan mempersatukan mereka.Tokoh tersebut adalah Puang ri Timpengeng.

Dari beberapa literatur kronik Wajo disebutkan bahwa Puang ri Timpengeng lah yang memulai Assipetangngareng atau bermusyawarah dengan anggota masyarakatnya dalam membahas segala hal. Komunitas ini disebut komunitas Boli.

Sepeninggal Puang ri Timpengeng, masyarakatnya terombang-ambing hingga kedatangan La Paukke dari kerajaan Cina dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. La Paukke digantikan oleh putrinya, We Panangngareng, kemudian cucunya yaitu We Tenrisui. Pada zaman Arung Cinnotabi III We Tenrisui bersama suaminya ia mengangkat ‘matoa’ sebagai perwakilan rakyatnya yang selalu diajak berdiskusi tentang kebaikan bersama. Dengan kata lain, We Tenrisui mengangkat kembali tradisi assipetangngareng.

Selanjutnya La Patiroi putra We Tenrisui menjadi Arung Cinnotabi. Sepeninggal La Patiroi, rakyat Cinnotabi mengangkat dua bersaudara sekaligus yaitu La Tenribali dan La Tenritippe. Diriwayatkan, ketika terjadi persengketaan, La Tenribali menyikapi secara obyektif tetapi adiknya La Tenritippe tidak melakukan hal sama. Akibatnya banyak orang tidak senang tinggal di Cinnotabi dan akhirnya kerajaan itu bubar.

Sementara 3 sepupu La Tenribali ketika meninggalkan Cinnotabi ia membuka kampung yang mereka namai Tellu Turungeng Lakka yang kemudian diubah menjadi Lipu Tellu Kajurue. Adapun masing-masing sepupu La Tenribali yaitu La Tenritau sebagai Paddanreng Bettempola berwilayah di Majauleng, mengepalai komunitas petani. La Tenripekka berwilayah di Sabbangparu sebagai Paddanreng Talotenreng, mengepalai komunitas penyadap tuak. Dan La Matareng berwilayah di Takkalalla sebagai Paddanreng Tuwa, mengepalai komunitas nelayan. Atas permufakatan ketiga bersepupu untuk mengangkat La Tenribali sebagai raja mereka, maka diadakanlah Perjanjian Majauleng yang berisi konstitusi dasar kerajaan Wajo.

Pada awalnya sistem pemerintahannya bercorak Monarki Absolut. Namun hal ini tidak menyebabkan gejolak, karena 2 raja pertama yang digelari Batara Wajo ini memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun pada raja ke-3 Batara Wajo III La Pateddungi To Samallangi, terjadi perampasan hak orang Wajo.

Setelah ditegur beberapa kali, namun tidak diindahkan. Atas dasar penyelamatan hak-hak dasar orang Wajo sesuai pada Perjanjian Majauleng, maka La Pateddungi pun diturunkan dari takhtanya kemudian dihukum mati.

Terjadinya Vacuum of Power setelah beberapa lama ternyata memberi waktu yang lebih banyak pada orang Wajo untuk merenungi dan merevisi sistem pemerintahannya. Akhirnya diadakan perjanjian berikutnya sebagai konsens orang Wajo yaitu Perjanjian Lapaddeppa yang berisi deklarasi kemerdekaan orang Wajo dan supremasi hukum yang sering diistilahkan dengan MARADEKA TO WAJO E ADE’NA MI NA POPUANG. Selain itu diangkat Arung Matowa sebagai raja Wajo, dengan Tugas Pokok dan Fungsi yang agak berbeda dengan 3 raja pertama yang bergelar Batara Wajo.

Batara Wajo bersifat monarki absolut dan diwariskan secara genetik. Sementara Arung Matowa Wajo bersifat monarki konstitusional dan dipilih oleh adat Wajo. Kehendak Batara Wajo adalah perintah, sementara kehendak Arung Matowa harus untuk kepentingan rakyat Wajo dan disetujui oleh orang Wajo. Disini sangat nampak betapa dibatasinya kekuasaan Arung Matowa. Belum lagi peran Arung Bettempola yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan Arung Matowa sesuai kesepakatan orang Wajo.

Dalam hal Ade’ (adat=konstitusi) dibagi beberapa poin penting. Pertama Ade’ Puraonro, dan Ade’ Abiyasang. Ade’ puraonro adalah konstitusi yang bersifat mutlak, menyangkut posisi para Ranreng dan pemilihannya. Bahwa jabatan Ranreng bersifat genetis, namun apabila tidak ada pewaris maka oleh anggota masyarakatnya diadakan pemilihan ranreng. Sedangkan ade’ abiyasang adalah sesuatu yang “baru” dan tidak ada dalam konstitusi. Yang tidak jelas efeknya kedepan namun disepakati. Adapun prosedur permufakatannya adalah sebagai berikut.

a)Diadakan pengkajian dari Ure’ Bicara = pokok permasalahan

b)Apabila semua sepakat, maka ditetapkan sebagai Ade’ Abiyasang hingga jika misalnya ditemukan kekeliruan didalamnya maka atas persepakatan dewan adat kemudian dirubah lagi.

c)Apabila terjadi perbedaan pendapat maka argumentasi “ipasisaung-saung” atau diadu. Dalam hal ini, dicari argumentasi yang lebih kuat. Ini berarti metode pengambilan keputusan orang Wajo mendasari pada Rasionalitas.

Pada zaman La Tiringeng To Taba Arung Simentempola dan La Tadampare Puang ri Maggalatung Arung Matowa, Wajo mencapai keemasannya. Struktur kerajaan dilengkapi sehingga menjadi Arung Patappulo. Adapun Arung Patappulo terdiri dari, 1 orang Arung Matowa, 3 orang Ranreng (Bettempola, Talotenreng, Tuwa), 3 orang Pabbate (Pilla, Patola, Cakkuridi), 10 orang Arung Mabbicara di tiap limpo, 3 orang Suro.

Dengan luas wilayah membentang dari Larompong (luwu), Pattilang (toraja), Sawitto (Pinrang) dan Maiwa (Enrekang) diutara hingga Lamuru dan Mampu (Bone) diselatan, Wajo dikelola dengan manajemen pemerintahan yang tidak bersifat sentralistik.

Hal ini tertuang dalam penggabungan atau penaklukan kerajaan-kerajaan kecil ke dalam konfederasi Wajo dimana selalu ada perjanjian yang memberikan hak otonomi kepada kerajaan kecil tersebut sementara Wajo dianggap sebagai Induk.

Ketika terjadi perang Makassar, Wajo berpihak pada Gowa. Selain alasan politis juga bahwa La Tenrilai To Sengngeng Arung Matowa Wajo adalah menantu dari Sultan Hasanuddin. Jebolnya benteng Somba Opu tidak membuat Wajo melalui Arung Matowa mau menandatangani perjanjian Bongayya yang sangat merugikan itu. Tak lama, Wajo diserang pasukan koalisi hingga akhirnya benteng tosora jebol.

Namun sudah jadi kebiasaan orang Wajo sama sekali tidak ingin diperbudak. Sehingga terjadi gelombang migrasi besar –besaran. Selama beberapa tahun setelah jebolnya benteng Tosora, orang Wajo sangat menderita dan menanggung kerugian akibat perang.

Arung Matowa silih berganti memimpin Wajo hingga terpilih La Salewangeng To Tenri ruwa Arung Matowa ke- 30 (raja ke 33). Beliau dengan segenap kemampuan membangun Wajo yang telah hancur. Beliau membuat semacam koperasi untuk memodali para pengusaha dan berupaya keras untuk meningkatkan kesejahteraan orang Wajo baik di Wajo sendiri atau di rantauan. Sehingga wajar pada zaman beliau, muncul tokoh seperti Amanagappa yang membuat undang – undang perdagangan laut, atau juga sangat wajar jika ada catatan menyebutkan bahwa jumlah kapal dagang wajo di pelabuhan Singapura saja berjumlah ratusan.

Nampaknya kebijakan La Salewangeng masih berdampak hingga hari ini yaitu munculnya jiwa wirausaha bagi orang Wajo. Kita bisa melihat hubungan antara kemerdekaan orang Wajo (secara politis) dan jiwa wirausaha (secara ekonomis).

Setelah pemerintahan La Salewangeng, La Maddukkelleng kemudian dilantik menjadi Arung Matowa. La Maddukkelleng yang bersikap anti kompromi dengan kolonial Belanda berjuang untuk mengangkat derajat dan martabat kerajaan dan rakyat Wajo yang rusak akibat kekalahan perang di tosora.

Akhirnya La Maddukkelleng berhasil mengembalikan posisi Wajo secara internasional pada zamannya sehingga beliau digelari Petta Pamaradekaengngi Wajo (Tuan kita yang memerdekakan Wajo).

La Maddukkelleng, sebagai orang yang sangat berpengaruh di jazirah selatan Sulawesi saat itu, meletakkan jabatan dengan hormat. Beliau digantikan oleh Arung Matowa lain, terkadang terjadi kekosongan jabatan Arung Matowa hingga akhirnya setelah politik pasifikasi Belanda 1906 memaksa Wajo untuk tunduk. Wajo secara de facto dan de jure dijajah hingga proklamasi kemerdekaan.

Di saat genting tersebut, seorang perempuan menyerahkan kedaulatan kerajaan Wajo kepada Gubernur Sulawesi, Ratulangi dan stafnya yaitu Lanto Daeng Pasewang. Wajo akhirnya resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi kabupaten hingga saat ini.

2.Kearifan Lokal Wajo yang Relevan dengan Demokrasi

Dari peristiwa sejarah yang panjang, ada beberapa hal penting yang relevan dengan Demokrasi antara lain :

a)Pengakuan hak dasar rakyat

Sejak awal pendirian Wajo setelah bubarnya Cinnotabi, didasari oleh pengakuan terhadap hak dasar rakyat Wajo. Apalagi setelah La Pateddungi menindas hak rakyat, muncul resistensi sehingga La Pateddungi diturunkan dari takhtanya.

Setelahnya, dilakukan perjanjian Lapadeppa yang salah satu kalimat pentingnya adalah MARADEKA TO WAJOE ADE’NA NA POPUANG. Disebutkan juga dalam ade’ amaradekangeng (adat/konstitusi kemerdekaan orang Wajo) bahwa orang Wajo merdeka sejak dalam kandungan, ia bebas kemana saja ia inginkan, dan hanya tanah saja yang ata (budak).

Hal ini sangat sesuai dengan deklarasi HAM PBB tahun 1948. Padahal perjanjian Lapaddepa telah ada kurang lebih 600 tahun sebelum deklarasi HAM PBB.

b)Metode pengambilan keputusan

Jauh sebelum terbentuknya Wajo, bahkan sebelum kerajaan Cinnotabi yaitu pada masa komunitas Boli, telah dikenal istilah Assipetangngareng. Sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai pihak. Dan ini menjadi tradisi yang turun temurun, apalagi di zaman We Tenrisui (Arung Cinnotabi III), bahkan diangkat Matowa sebagai perwakilan masyarakat untuk bersama raja mendiskusikan persoalan – persoalan negara yang dihadapi secara bersama.

Jika tidak didapatkan kesepakatan maka jalan terakhir adalah voting. Hal ini disebutkan dalam Lontara “Narekko riduai wi, rebbai seddi e” yang berarti jika diduai, maka batal yang satu. Mekanisme voting ternyata telah dikenal oleh orang Wajo 600 tahun lalu sebagai jalan terakhir dalam pengambilan keputusan.

c)Partisipasi dan Kebebasan Berpendapat

Partisipasi rakyat dalam pembangunan bukan hanya pada pengambilan keputusan, juga pada bidang konsensus. Berbagai literatur kronik Wajo mencatat, bahwa ketika diadakan Perjanjian Majauleng (pembubaran Cinnotabi dan proklamasi pendirian kerajaan Wajo) dan Perjanjian Lapadeppa (tentang pengakuan hak dasar rakyat), dihadiri oleh segenap lapisan masyarakat, tua – muda, laki –laki – perempuan, bangsawan – rakyat, semuanya hadir dan bersepakat.

Rakyat diberi ruang untuk menyampaikan pendapat dalam penetapan hukum, baik secara langsung kepada Arung Bettempola atau pun melalui Arung Mabbicara pada limpo yang bersangkutan.

Pada perang mempertahankan kedaulatan Wajo, rakyat diberi ruang partisipasi. Bahkan mereka yang berprestasi diberi posisi sebagai komandan pasukan.

Partisipasi dibidang lain adalah pengawasan pemerintahan yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

d)Pembatasan wewenang dan pengawasan terhadap penguasa

Seperti yang dikatakan sebelumnya, sistem pemerintahan pada Batara Wajo I, II dan III adalah monarki absolut. Namun setelah perjanjian Lapadeppa terjadi perubahan menjadi monarki konstitusional. Hal ini ditandai dengan peran Arung Simentempola/Bettempola La Tiringeng sebagai Inanna Tau Maegae (=ibu orang banyak) yang berhak menaikkan dan menurunkan Arung Matowa.

Selain itu, kebijakan Arung Matowa harus untuk kepentingan rakyat dan bahkan harus disetujui wakil rakyat pada parlemen Wajo. Jadi walaupun Arung Matowa beranggapan bahwa kebijakannya untuk kepentingan rakyat namun rakyat Wajo berpendapat lain, maka Arung Matowa tidak dapat menjalankan kebijakan tersebut.

Memang masa jabatan Arung Matowa tidak ditetapkan sebagaimana dalam pemerintahan modern. Ada Arung Matowa yang menjabat puluhan tahun, ada yang malah menjabat selama beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh kondisi masyarakat pada saat itu.

Arung matowa yang dianggap berprestasi, dipertahankan masa jabatannya hingga ia sendiri meminta pengunduran diri. Kasus ini terjadi pada masa La Salewangeng Arung Matowa ke-30. Ada juga Arung Matowa yang dipecat karena pada pemerintahannya, Wajo mengalami kegagalan panen. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kepemimpinan di Wajo tidak melulu berdasarkan genetis, namun prestasi.

Namun konsep demokrasi kita hari ini melihat bahwa masa jabatan harus diatur agar lebih memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan. Tapi jika kita berpikir lebih jauh, buat apa melakukan rotasi kekuasaan jika memang orang tersebut masih layak ? Dan mengapa harus menunggu 5 tahun untuk demisioner jika seseorang itu tidak layak memimpin ?

Mekanisme pengawasan terhadap Arung Matowa ada beberapa jalur. Jalur pertama yaitu rakyat yang langsung menyampaikan aspirasinyakepada Arung Bettempola. Jalur kedua adalah melalui Arung Mabbicara di Limpo bersangkutan (Bettempola, Talotenreng, Tuwa) yang kemudian dilanjutkan pada sidang Arung Patappulo.

e)Desentralisasi kekuasaan

Di Wajo, Arung Matowa tidak punya kekuasaan mutlak, kecuali wilayah yang diwarisinya secara genetik sebelum menjabat Arung Matowa. Sementara Ranreng, hanya memiliki kekuasaan di Limponya masing-masing.

Adapun “palili” atau negara bagian/taklukan mengikut pada salah satu limpo. Hubungan dengan Wajo diibaratkan hubungan Ibu dan Anak. Ibu tak memiliki niat buruk terhadap anaknya dan tidak ada anak yang ingin mencelakai ibunya. Hal ini tertuang pada naskah kronik yang membahas penggabungan suatu negeri pada Wajo.

Disebutkan juga bahwa juru bicara Wajo, apakah Arung Matowa atau Arung Bettempola, kemudian menyuruh Arung Palili yang bersangkutan untuk kembali kekampungnya, mengurusi urusan dalam negerinya dan menjalankan hukumnya. Adapun jika mereka menemui persoalan dalam negeri yang berat dan tidak mampu diselesaikan, maka disebutkan bahwa Wajo terbuka untuk turun tangan membantu. Kewajiban membantu Wajo hanya ketika Wajo berperang dengan kerajaan lain maka kerajaan palili wajib membantu Wajo.

Ini menunjukkan desentralisasi kekuasaan baik Arung Matowa secara pribadi maupun kerajaan Wajo secara umum. Tawaran Wajo untuk mencampuri persoalan internal palili, hanya berlaku jika kerajaan palili yang bersangkutan tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut.

f)Pemilihan Arung Matowa

Seperti dikatakan sebelumnya bahwa jabatan BATARA WAJO diwariskan secara genetik. Dari La Tenribali diwariskan kepada La Mataesso hingga ke La Pateddungi. Namun jabatan Arung Matowa dipilih oleh Arung Enneng (Ranreng Bettempola, Ranreng Talotenreng, Ranreng Tuwa, Pabbate Pilla, Pabbate Patola dan Pabbate Cakkuridi).

Pada tahun 1800an, pernah di Wajo selama beberapa puluh tahun tidak ada Arung Matowa. Hal ini disebabkan tidak ditemukannya figur yang tepat dan disepakati bersama. Jika ada figur yang tepat dan disepakati, maka dilantiklah figur tersebut sebagai Arung Matowa.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, apabila Arung Matowa yang bersangkutan tidak berprestasi, maka ia dipecat dan diberhentikan dari jabatannya, baik secara hormat ataupun tidak hormat. Tidak sedikit Arung Matowa dalam sejarah Wajo yang diberhentikan dari jabatannya.

g)Supremasi hukum

Supremasi hukum sangat terlihat pada ungkapan “ADE’NA NAPOPUANG” yang kurang lebih berarti hanya adat/konstitusi yang dipertuan. Artinya walaupun seorang Arung Matowa, Ranreng, Pabbate dan pejabat lain memiliki wewenang namun menyalah gunakan wewenangnya maka ia akan diberhentikan dari jabatannya.

Pernah ada Ranreng, Pabbate bahkan Arung Matowa yang diberhentikan dari jabatannya karena menyalahgunakan wewenangnya. Ini berarti supremasi hukum di Wajo sangat dijunjung tinggi dan tidak menganut prinsip tebang pilih.

Supremasi hukum juga sangat terlihat pada terjadinya persengketaan. Bubarnya kerajaan Cinnotabi disebabkan La Tenritippe (saudara La Tenribali) tidak adil dalam memutus perkara. Ia hanya mendengarkan keterangan sepihak tanpa ingin mengkomparasi secara obyektif dari perspektif pihak lain yang bersengketa. Hasilnya adalah rakyat meninggalkan Cinnotabi sehingga Cinnotabi bubar.

Pada awal terbentuknya Wajo, terjadi persengketaan dimana ada seorang gadis diperebutkan oleh dua orang lelaki yang mengaku sebagai suami gadis tersebut. Namun La Tenribali bersama adat melakukan beberapa kali persidangan, mendengar keterangan dari semua pihak, membandingkan semua keterangan dan melakukan uji material untuk membuktikan siapa yang benar. Setelah itu, lelaki yang bersalah mengakui istri orang lain sebagai istrinya kemudian dihukum mati, sebab menurut hukum pada waktu itu, pelaku perzinahan harus dihukum mati.

h)Penciptaan ruang untuk investasi

Setelah hancurnya benteng Tosora, Wajo berusaha untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk itu, Arung Matowa La Salewangeng berupaya menghidupkan iklim yang sehat untuk berinvestasi.

Untuk itu, dibuatlah “Geddong” yaitu semacam koperasi tempat simpan pinjam, dimana rakyat diberi modal untuk berusaha baik didalam dan diluar Wajo. Akibatnya adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat Wajo. Dengan demikian, terjadi penguatan ekonomi pada lapis menengah, sehingga ketimpangan sosial antara kelas bangsawan dan tau maradeka menjadi tipis bahkan hilang pada saat ini. Secara simpel bisa dikatakan awal dari pelekatan istilah “padangkang” pada orang Wajo dimulai pada era ini.

i)Kedaulatan di tangan Rakyat

Ada istilah LUKA TARO ARUNG TELLUKA TARO ADE’, LUKA TARO ADE’ TELLUKA TARO ANANG, LUKA TARO ANANG TELLUKA TARO TOMAEGA yang artinya : Batal pendapat raja tidak batal pendapat adat/konstitusi. Batal pendapat adat/konstitusi tidak batal pendapat tokoh masyarakat/wakil rakyat. Batal pendapat tokoh masyarakat/wakil rakyat tidak batal pendapat orang banyak. Ini berarti bahwa seorang raja harus berbuat berdasar konstitusi, sedangkan konstitusi dibuat berdasar kesepakatan para tokoh masyarakat yang diangkat dan dipilih oleh orang banyak.


BAGIAN III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun yang dapat kami simpulkan dari makalah sederhana ini antara lain :

1.Wajo sangat kaya dengan tradisi demokrasi terutama disebabkan oleh dinamika perjalan sejarahnya. Peristiwa penting yang menjadi momen dalam sejarah Wajo adalah :

A) Fase komunitas Lampulung dan Boli sebagai pembalikan dari tradisi to manurung pada umumnya kerajaan bugis.

B) dimulainya tradisi Assipetangngareng/ permusyawaratan sejak era komunitas Boli.

C)penguatan assipetangngareng dan pembentukan matowa sebagai wakil rakyat pada era raja ketiga Cinnotabi.

D) Penolakan terhadap peradilan yang tidak obyektif pada era La Tenritippeng raja kelima Cinnotabi.

E) konsensus pada perjanjian Lapadeppa untuk pendirian kerajaan Wajo. F) perubahan dari monarki absolut ke monarki konstitusional, pembatasan dan pengawasan wewenang, pengakuan kembali hak dasar rakyat, pasca diturunkannya La Pateddungi

G)Peran La Tiringeng to Taba dan La Tadampare dalam mengelola kerajaan Wajo hingga kerajaan Wajo mencapai titik keemasannya. H) Penciptaan ruang investasi dan wirausaha pada era La Salewangeng to Tenriruwa Arung Matowa ke-30.

I) Penegasan posisi Wajo dimata internasional sebagai kerajaan dan rakyat merdeka di era La Maddukkelleng Arung Matowa ke-31.

2.Kearifan lokal Wajo yang tercatat dalam sejarah yang masih relevan dengan demokrasi kita hari ini antara lain :

A)Pengakuan hak dasar rakyat

B)Supremasi hukum

C)Mekanisme pengambilan keputusan

D)Pembatasan dan pengawasan wewenang penguasa

E)Pemilihan pemimpin

F)Penciptaan iklim investasi

G)Partisipasi dan kebebasan berpendapat

Saran

Berdasar dari makalah yang kami buat, adapun saran kami antara lain :

1.Mengangkat mata pelajaran “Sejarah dan Budaya” Wajo sebagai mata pelajaran kurikulum muatan lokal agar generasi muda Wajo dapat mengenal kearifan lokalnya dan tidak kehilangan sejarahnya.

2.Agar ada kerja sama yang baik antara Pemda Wajo, Dinas Pendidikan dan Unsur pendidik, Dinas Porasenibud, LSM, tokoh masyarakat dan tokoh agama agar duduk bersama mendiskusikan dan berbuat agar nilai – nilai kearifan lokal bisa dilestarikan dan paling penting adalah di implementasikan dalam kehidupan sehari hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline