Paham liberal memandang bahwa setiap orang bebas dan berhak menganut suatu keyakinan atau ideologi serta setiap orang, apapun kedudukannya, memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum. Dalam paham liberal, setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapat dan pikiran tanpa harus takut ditangkap, dihukum, atau dieksekusi oleh siapa saja.
Pada negara-negara yang menganut paham liberal, jangankan mengkritik orang, mengkritik agama dan Tuhan pun dibolehkan. Kritik dibalas kritik, argumentasi dibantah dengan argumentasi pula. Memang seharusnya seperti itu, perdebatan akan mengasah logika dan kemampuan berpikir. Berbeda jika kritik dibalas dengan "tinjuan tangan", rakyat pun menjadi takut untuk berargumentasi.
JIka hukum bermain terlalu keras dalam menghakimi arus pemikiran dan argumentasi yang berseberangan dengan penguasa, maka fungsi hukum bukan lagi sebagai pengayom, namun lebih sebagai bendungan yang menahan arus pemikiran. Pemikiran pun terpenjara dan logika tidak berkembang. Otak hanya berpikir sesuai materi yang didoktrinkan.
Cara seperti itu menumpulkan logika berpikir. Logika yang terkungkung hanya menyebabkan stagnansi ilmu pengetahuan. Bagaimana bisa negara akan maju ilmu pengetahuan dan teknologinya jika arus pemikiran dibelenggu sedemikian ketat karena tidak sejalan dan seide dengan penguasa.
Ada ketidakadilan penerapan paham liberal ini dalam konteks berekspresi. Ketika seseorang mengkritik suatu simbol agama, maka dianggap hal itu adalah kebebasan, bagian dari seni berpendapat dan berpikir.
Namun saat seseorang sekedar menggunakan kosakata "pribumi", justru hal itu diperselisihkan, bahkan dilaporkan ke pihak berwajib. Tampaknya kebebasan disini bermakna bahwa selama tidak menyinggung kepentingan penguasa dan pendukungnya, maka tidak apa-apa. Sebaliknya, jika menyinggung kepentinggan atau perasaan penguasa dan pendukungnya, maka harus ditindak tegas.
Standar ganda sering diterapkan di negara-negara penganut paham liberal. Wanita dengan pakaian minimalis dibiarkan berseliweran dijalanan. Sementara wanita muslim menggunakan niqab malah dicurigai sebagai pelaku radikalisme.
Tak perlu harus melihat hingga ke negeri Barat, standar ganda pun terjadi di negeri ini. Wanita bercadar yang belajar di perguruan tinggi Islam dianggap berpaham radikal. Sedangkan wanita bercadar memelihara anjing justru dipuji-puji sebagai penyayang binatang. Dimana keadilan dan kebijaksanaan itu? Sama-sama bercadar, namun dihukumi secara berbeda.
Ternyata persamaan hak dan kebebasan yang digembor-gemborkan oleh penganut liberalisme hanyalah fatamorgana. Terjadi ketidakkonsistenan antara teori dengan praktiknya. Jika ada orang berteriak kata "brengsek", "bajingan", "bangsat" dibiarkan begitu saja, maka seharusnya biarkan juga orang yang mau memekikkan takbir, azan, atau kalimat zikir lainnya. Toh, nyatanya tidak demikian.
Liberalisme ternyata tidak melahirkan keadilan. Tetap saja ada sekelompok orang yang diberi keistimewaan dari yang lain. Misal saja para penganut paham liberalisme yang sangat mendukung pelaku disorientasi seksual.
Namun disisi lain, mereka tidak hormat terhadap tata aturan masyarakat. Disatu sisi mereka nampak gigih memperjuangkan minoritas, namun disisi lain, mereka menghakimi dan merendahkan sendi-sendi norma sosial yang berlaku dalam mayoritas masyarakat. Yang terjadi saat ini, minoritas menginjak-injak mayoritas. Inikah keadilan?