Lihat ke Halaman Asli

Andi Rahmanto

Abdi Negara

Pidato Prabowo, Dari Novel Fiksi Namun Faktual

Diperbarui: 26 Maret 2018   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (pixabay)

Cerita fiksi adalah cerita yang sifatnya imajinatif. Namun bukan berarti cerita fiksi nol informasi. Jika adegan dan alurnya didramatisasi, namun bisa saja konten cerita bersumber pada data yang valid.

Tidak semua aspek dalam cerita fiksi itu fiktif, tergantung pada pemikiran dan imajinasi penulisnya. Dalam sebuah cerita fiksi, bisa saja yang fiktif itu adegan, tokoh-tokohnya, atau kronologi ceritanya, tapi isi dialog bisa berdasar fakta, entah fakta historis, empirik, statistik, atau fakta lainnya.

Misal saja novel laskar pelangi. Novel tersebut merupakan novel fiksi. Isi dialog atau adegannya barangkali fiktif dan didramatisasi. Namun dari sisi kronologi, historis, lokasi kejadian dan tokoh-tokoh dalam cerita itu adalah fakta. Kronologi kejadian masa kecil Andrea Hirata beserta teman-teman dan guru-gurunya saat menjalani pendidikan dasar adalah fakta. Lokasi ceritanya, sekolah Muhammadiyah dan Kepulauan Belitung, pun bukan fiktif, tapi riil berdasar pengalaman hidup dari Andera Hirata.

Kemudian kita coba membahas pidato Prabowo yang menyatakan bahwa berdasar kajian intelijen asing, diperkirakan Indonesia telah lenyap pada tahun 2030. Ternyata pernyataan itu dikutip Prabowo dari novel fiksi Ghost Fleet karya P.W. Singer. Jika dilihat dari pendidikan dan pengalaman karirnya, P.W. Singer ini bukanlah orang sembarangan di bidang kajian hubungan internasional dan intelijen. Dia adalah penyandang gelar doktor dari Harvard University. Selain itu, P.W. Singer dikenal sebagai pakar dibidang ilmu politik, hubungan internasional, dan ahli dalam kajian perang modern. Singer juga pernah menjadi Pimpinan Pusat Keamanan dan Intelijen Abad 21.

tangkapan layar twitter

Jika Prabowo mengutip prediksi Indonesia lenyap tahun 2030 dari kajian seorang sastrawan, tentu dianggap tidak nyambung. Namun prediksi itu diambil dari seorang pakar intelijen dan kajian internasional, tentu ramalannya bukan seperti ramalan dukun. Alangkah baiknya prediksi ini menjadi peringatan agar seluruh elemen bangsa Indonesia, baik elit hingga masyarakat luas untuk bersatu dan bersiaga menghadapi ancaman perpecahan tersebut.

Prabowo pun menyebutkan ada beberapa indikator yang dapat menyebabkan lenyapnya bangsa ini, seperti kesenjangan politik, sosial dan ekonomi, serta ketidakadilan hukum. Indikator yang disampaikan Prabowo itu sangat logis. Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa bersatu, jika ada ketimpangan yang tinggi antara yang kaya dengan yang miskin; tindakan hukum yang tajam ke masyarakat bawah namun tumpul ke kalangan elit; serta harga-harga bahan pokok yang semakin mahal. Bila kezhaliman merajalela, jangankan bersatu, untuk bertemu pun enggan rasanya. Betul tidak?

Novel Ghost Fleet memang sebuah novel fiksi. Namun seperti uraian di awal tulisan ini, tidak semua isi novel fiksi adalah fiktif. Apalagi P.W. Singer adalah seorang intelektual, alumni doktor Harvard, pastilah isi novelnya memuat banyak informasi dan data. Apa mungkin seorang pakar intelijen dan hubungan internasional mengarang novel tanpa sajian fakta sama sekali? Rasa-rasanya tidak mungkin. P.W. Singer bahkan melalui akun Twitter-nya pada 24 Maret 2018 berkicau, "Fiction is a powerful tool to look at tomorrow."  Nah lho, ternyata ia sedang meramal kan?

Jika ada lembaga lain yang mengeluarkan prediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan ekonomi terkuat di masa depan, hal itu patut disyukuri. Setidaknya, ada harapan bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa besar di kemudian hari. Namun bagaimana mengkompromikan dua prediksi yang bertolak belakang? Satu lembaga memprediksi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia, sedangkan seorang pakar hubungan internasional dan intelijen memperkirakan Indonesia lenyap pada 2030. Jika berbicara ramalan masa depan, siapa saja bisa dan boleh melakukannya. Ramalan juga bisa berupa ramalan baik maupun ramalan buruk. Lagipula, ramalan hanyalah suatu kemungkinan, mungkin terjadi, bisa juga tidak terjadi. Tujuan setiap ramalan adalah untuk langkah antisipasi. Jika ramalan itu dikeluarkan oleh seorang dukun, maka abaikan saja. Namun jika ramalan itu diungkapkan oleh seorang pakar dengan berdasar data dan metode penelitian yang valid, maka patut dijadikan pertimbangan.

Sebenarnya tidak ada yang kontroversi dari pidato Prabowo tersebut bagi orang-orang yang mau berpikir dan merenunginya. Tidak ada yang menginginkan NKRI ini bubar dan dikuasi asing, kecuali penghianat bangsa. Namun jika diamati, betapa banyak elit negara ini yang tega menjual kekayaan negara kepada asing, serta kebijakan-kebijakannya yang sangat pro asing. Ketimpangan sosial, hukum, dan ekonomi sangat terlihat jelas, terang benderang. Jika kondisi ketimpangan ini tidak segera diselesaikan, tentu akan memancing kemarahan dari masyarakat luas. Bahkan bisa memunculkan gerakan separatis hingga aksi people power. 

Kisah negara bubar pun bukan dongeng semata. Bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia adalah fakta sejarah. Oleh sebab itu, daripada sibuk memelintir tafsir pidato Prabowo tentang lenyapnya Indonesia tahun 2030, lebih baik seluruh elemen masyarakat, terutama elit bangsa ini melakukan antisipasi terhadap segala potensi perpecahan. Kita tidak hanya butuh tentara dan alutsista yang kuat, namun juga kita perlu memperkuat tatanan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Buat ekonomi membaik, pembangunan merata, akses pendidikan dipermudah, serta hukum yang berkeadilan.

Jika segala aspek kehidupan berjalan baik, maka tidak akan ada elemen bangsa yang ingin berpisah, karena perpisahan hanya membuat hati merindu. Sedangkan rindu itu menyiksa, kamu tidak akan sanggup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline