Lihat ke Halaman Asli

Andi Rahmanto

Abdi Negara

Menjaga Kehormatan Ulama

Diperbarui: 30 Januari 2017   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengaruh kepemimpinan ulama sangat kuat ditengah umat. Ulama menjadi ujung tombak kepemimpinan dan sumber rujukan ditengah krisis kepercayaan pada kepemimpinan yang selama ini didominasi kalangan politisi.

Namun akhir-akhir ini, kritikan terhadap ulama tidak sedikit jumlahnya. Tentu wajar di era demokrasi ini seseorang dikritik, meski sekelas ulama sekalipun, selama pengkritiknya berada pada level yang sama. Sayangnya, kebanyakan pengkritik para ulama adalah kalangan awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama. Jika kita membaca biografi para ulama, mereka semenjak kecil sudah dibimbing oleh orang tuanya untuk fokus mempelajari agama. Jadi seorang ulama memang seumur hidupnya dihabiskan untuk mempelajari dan mendakwahkan agama. Coba bandingkan dengan para pengkritik yang mempelajari agama hanya bermodal mesin pencari google. Tentu cara pemahaman dan interpretasi mereka akan sangat dangkal dibandingkan ulama yang selama proses pembelajarannya dibimbing oleh para ulama juga.

Dalam sejarah kehidupan ulama-ulama terdahulu, kita akan mendapati jumlah guru mereka yang begitu banyak. Seperti Imam Ahmad bin Hambal, Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Bukhari, Imam Muslim, yang memiliki guru mencapai ratusan hingga ribuan. Mereka memang dipersiapkan sejak kecil untuk menjadi ulama. Awal pendidikan agama mereka adalah menghapal Al-Quran yang dimulai saat usia masih dini. Ketika mereka telah hapal Al-Quran, mereka mulai mengkaji ilmu-ilmu hadits, tafsir Al-Quran, sejarah, fikih, serta ilmu lainnya sesuai minat dan spesialisasi yang ingin mereka tempuh. Ulama-ulama yang hidup masa ini pun menempuh cara pendidikan yang sama seperti ulama-ulama terdahulu. Jadi, untuk menjadi ulama bukanlah hal yang mudah, karena ulama adalah perpaduan antara kedalaman ilmu, keindahan akhlak, dan kemurnian akidah. Kalaupun ada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas namun tidak diikuti keindahan akhlak, maka ia tidak bisa disebut sebagai ulama, sebab ulama adalah panutan, sumber inspirasi, serta tempat rujukan umat.

Saat sakit, masyarakat pada umumnya tidak pernah mengkritik resep obat yang diberikan dokter. Kalaupun mengkritik, mereka lebih mengkritik pada harga atau pelayanannya. Namun mereka tidak berani mengkritik item-item obat yang diresepkan, karena mereka memang tidak tahu, sehingga cenderung percaya saja pada sang dokter. Tapi mengapa saat ini terjadi perlakuan berbeda ketika ulama memberikan fatwa. Padahal fatwa adalah resep keberkahan hidup. Fatwa membimbing masyarakat untuk harmonis dalam kehidupan pribadinya, bermasyarakat dan bernegara tanpa melupakan tata aturan agamanya. Namun orang-orang awam yang tersindir atau merasa kepentingannya terancam oleh fatwa, biasanya ramai-ramai melawan dan tiba-tiba menjadi ulama karbitan yang seakan-akan memahami seluk beluk ajaran agama. Mereka mendebat fatwa ulama hanya dengan bermodal akal dan perasaannya. Padahal sehari-harinya pun mereka jarang membaca Al-Quran, tidak bisa bahasa Arab, mengaji saja masih terbata-bata, tapi berani frontal menentang fatwa ulama.

Apalagi kemudian akhir-akhir ini muncul gerakan untuk membubarkan MUI. MUI dianggap sebagai organisasi yang menyebarkan makar dan pemecah belah bangsa melalui fatwa-fatwanya. Padahal fatwa MUI dikaji oleh banyak ulama dengan kaidah-kaidah yang mengikuti pedoman Islam, Al-Quran dan hadits. Jika fatwa itu dianggap hanya menuruti arus kepentingan politik atau ekonomi tertentu, maka sangkaan itupun hanya berdasar dugaan tanpa ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika ulama dengan segala kegigihan usaha dan kedalaman keilmuannya saja bisa terjerumus dalam kesalahan, maka sebagai orang biasa yang bukan termasuk ulama, kalangan awam harus lebih sadar diri karena pendapatnya jauh lebih rentan untuk dikoreksi. Dari sekian banyak pendapat keagamaan yang dikeluarkan ulama, maka kebenaran lebih dominan dibanding kesalahannya. Seandainya didapati seorang ulama terjerumus dalam kesalahan pada satu atau dua pendapat keagamaannya, maka kita pun tidak bisa mengabaikan kebenaran dari ratusan pendapatnya yang lain, sehingga segelintir kesalahannya tertutupi oleh ratusan kebenaran yang telah disampaikannya.

Sebagai masyarakat biasa yang tidak memahami kaidah-kaidah dalam perumusan hukum Islam, maka sikap yang mesti diambil adalah menerima dengan hati lapang atas  fatwa yang dikeluarkan ulama. Kalaupun tidak setuju dengan fatwa tersebut, maka bersikap diam adalah lebih bijaksana. Kecuali dirinya merasa kapasitas keilmuan agama mumpuni untuk mengkoreksi fatwa tersebut, maka mereka dapat melakukan diskusi ilmiah dengan menemui pihak yang mengeluarkan fatwa.

Umat Islam wajib menghormati ulamanya. Adanya penghormatan kepada ulama menandakan tingginya keberadaban dan peradaban umat. Jika umat jauh dari ulamanya, maka siapa lagi yang bisa mengajarkan umat cara menghormati pemimpinnya, gurunya, saudara-saudaranya, orangtuanya dan orang-orang yang berkeyakinan lain. Padahal sikap hormat-menghormati merupakan pilar dari Kebhinekaan. Oleh karenanya, sudah sepatutnya umat senantiasa menaruh hormat, baik sikap, lisan, serta perilakunya terhadap ulama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline