Lihat ke Halaman Asli

Seandainya Kepedulian yang Sama untuk Pengungsi Bencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akhir-akhir ini awareness rakyat Indonesia terhadap timnas sepakbola Indonesia sangat besar. Dimulai dari kemenangan beruntun di fase penyisihan grup sampai semifinal dengan sistem gugur, timnas Indonesia berhasil menorehkan kemenangan yang membuat publik Indonesia mengapresiasi prestasi tersebut. Bisa dibilang, selama saya hidup, euforia terhadap timnas saat ini adalah paling besar.

Parameter kasat mata bisa dilihat dari peristiwa antre tiket di GBK. Ribuan masyarakat rela mengantri dari satu hari sebelumnya, berhujan-hujanan, kepanasan, hanya untuk memperoleh tiket masuk. Penjual kaos timnas dengan "Garuda di dadaku" pun laris sangat manis. Penjualan meningkat drastis, pedagang pun tersenyum lebar.

Awareness Berkurang Drastis Paska Emergency

Akankah awareness yang sama juga bisa kita alokasikan untuk korban bencana? Saya ingat persis, ketika bencana terjadi, media berlomba-lomba untuk meliputnya dan menggalang dana sampai milyaran rupiah. Aliran kepedulian mengalir deras dari berbagai lapisan masyarakat. Bahkan saya mencatat, orang miskin pun ikut menyumbang apa yang dia punya.

Saat itu, penanganan bencana fase tanggap darurat begitu masif. Beberapa posko pengungsian pun kelebihan bantuan. Sebagai contoh, Stadion Maguwoharjo sebagai pusat pengungsian setelah erupsi tanggal 5 November 2010, dapat menampung sampai 40 ribu pengungsi. Sayangnya, karena manajemen kurang baik, terjadi kelebihan nasi bungkus dan ribuan nasi bungkus basi dan mubazir.

Sayangnya, publik sepertinya amnesia ketika masa recovery datang. Ini juga karena media berhenti memberitakan pengungsi dan beralih dengan topik hangat lainnya, seperti saat ini euforia timnas sepak bola Indonesia sedang melanda atau berita mengenai korupsi pejabat publik.

Tidak banyak yang tahu bahwa fase tanggap darurat diperpanjang lagi selama dua pekan ke depan karena shelter pengungsi belum jadi. Padahal pengungsi sudah sangat menderita. Logistik menipis, perhatian publik berkurang, depresi pun melanda pengungsi. Mereka sudah tidak betah di pengungsian, sehingga warga sebuah dusun di lereng Merapi nekat untuk membangun rumah mereka dari bahan-bahan yang tersisa padahal ancaman lahar dingin masih besar.

Pengungsi Harus Mandiri

Sesungguhnya pengungsi ingin sekali mandiri dan kembali ke kehidupan mereka sebelum bencana. Namun saat ini mereka tidak punya apa-apa. Rumah hancur diterjang awan panas atau tsunami, ternak mereka tewas dan lahan pertanian mereka sudah habis terbakar atau diterjang ombak.

Memasuki tahap pemulihan (recovery), pengungsi hanya butuh stimulan untuk memulai kehidupan mereka kembali. Mereka ingin sekali mandiri, namun karena pola pemberian bantuan fase tanggap darurat, tingkat kemandirian mereka menurun. Sudah menjadi tugas kita memandirikan mereka.

Caranya bisa bermacam-macam, namun intinya adalah proses pendampingan. Proses pendampingan bisa dilakukan relawan lokal dan dalam waktu tertentu. Pendampingan bisa berisi training atau pelatihan, pembentukan kelompok tani/ternak dan community development. Segmen pun bisa beragam, seperti anak-anak, Ibu-ibu, petani, peternak, dll.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline