Lihat ke Halaman Asli

Mimpi Seorang Anak Desa

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"eii, kalau lulus Sarjana nanti, saya mau lanjut kuliah S2" ungkapku kepada teman

"wah,, bagus itu. Saya juga mau" kata temanku

"tapi, saya mau kuliah di Luar negeri, maunya ke australia atau amerika atau malaysia" ungkapku

"wahaha,, jangan terlalu bermimpi tinggi, entar kalau jatuh kan sakit. haha. Mending yang past-psti saja." kata temanku sambil tertawa

Itulah sedikit percakapan singkat dengan seorang teman kuliahku. Saat itu kami sedang membicarakan rencana kedepan setelah lulus S1. Mereka memiliki rencana masing - masing di antaranya ada yang ingin kerja dan ingin tetap kuliah S2. Nah, aku adalah salah satunya yang ingin tetap melanjutkan kuliah S2 namun bukan di dalam negeri tapi di luar negeri. Setiap aku mengutarakan impian itu kepada teman - temanku mereka hanya menertawakan bukannya memberikan motivasi atau mendukung. Tapi, itu tidak jadi masalah buatku, aku akan tetap berusaha membuat impian itu terwujud. Intinya, aku tetap harus berjuang meraih impian itu, seperti yang orang banyak katakan, jangan menyerah sebelum berperang. Ketika keberanian mengungkapkan ini kepada teman dan keluargaku, artinya aku harus menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa. Tapi, yang menjadi masalah sekarang adalah kuliah diluar negeri itu sangat mahal bahkan sampai 300 - 400 juta. Bagaimana mungkin orang tuaku bisa membiayai kuliahku semahal itu sedangkan untuk S1 saja mereka seperti kesusahan ? nah, salah satunya adalah aku harus mencari beasiswa untuk kuliah di luar negeri.

Sejak semester 4, aku sudah mulai mencari beasiswa - beasiswa dengan cara browsing di google. Ternyata ada banyak beasiswa bertebaran. Saat itu, aku mencatat beasiswa yang ada tiap tahun, aku mencatat semua di buku catatanku agar tidak lupa. Bukan hanya mencari nama beasiswanya, tapi juga membaca requirment untuk daftar beasiswa itu. Ada begitu banyak syarat yang harus dipenuhi seperti skor TOEFL 550. What?? TOEFL. Ketika mendengar TOEFL, nyali seakan menciut karena aku bukan mahasiswa yang fokus pada bahasa inggris. Aku hanyalah mahasiswa yang sedang menekuni dunia kependidikan dan keguruan. Tapi sekali lagi itu bukan penghalang, aku masih punya banyak waktu untuk belajar bahasa inggris. Saat itu, TOEFL adalah target utama ku.

Entah kapan aku membaca pamflet di papan pengumuman kampusku mengenai te TOEFL ITP yang diselenggarakan oleh Briton. Hmm... aku sangat senang ketika melihat pamflet itu, karena di sini saya bisa menguji kemampuan bahasa inggris saya yang pas - pas-an. Tapi, pelaksanaan tesnya dilaksankan di makassar sedangkan aku kuliah di kampus cabang di luar regional makassar. ya sudah, saya putuskan untuk izin kuliah sehari hanya demi mengikuti tes TOEFL tersebut. Hari H pun telah tiba, mulanya sangat kaget sebab ini pertama kalinya aku mengikuti tes TOEFL. Aku mendengarkan semua penjelasan dari guest speaker dan TOEFL trainer dari Briton. Akhirnya seluruh rangkaian tes TOEFL udah usai dan aku langsung kembali ke Barru (Baca: Kabupaten Barru). Beberapa hari kemudian, Briton menghubungi untuk mengambil sertifikat TOEFL ITP, tapi aku hanya meminta tolong kepada mereka untuk mengirimkan via Pos. Setelah 3 hari, aku menerima sertifikatnya dan aku buka, skor TOEFL pertama saya adalah hanya 343 dengan rincian listening comprehension : 36, structure and written expression:35 dan reading comprehension : 32. Yahh,, awalnya agak kecewa melihat skor itu, tapi itu tidak membuatku kecewa, malah aku semakin bersemangat untuk belajar bahasa inggris hingga targetku 550 bisa tercapai. Beberapa bulan kemudian, aku membaca lagi pengumuman di panflet kampus kalau akan dilaksanakan tes TOEFL, tapi syukurnya tes ini dilaksanakan di Kota Parepare (sebuah kota kecil jarak 155 Km dari makassar). Pada tes TOEFL kedua ini aku medapatkan skor 414. Yah,, gagal lagi. Seperti biasa, tidak perlu kecewa setidaknya ada sedikit peningkatan. Setelah membandingkan tes TOEFL yang pertama dan kedua listening comprehension adalah nilai stagnan. Artinya, aku memiliki kelemahan pada listening section. Sampai saat ini, aku belum pernah mengikuti tes TOEFL lagi, aku belajar dulu. Membaca buku grammar hingga latihan mengerjakan soal tes TOEFL yang aku download di internet.

Sampai sekarang, aku sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir. Senang rasanya, sebentar lagi aku mendapat gelar sarjana. Hanya tinggal selangkah lagi aku akan lulus kuliah. Namun, belajar tidak akan berehenti sampai disitu saja. Sampai saat tahun ini, aku tetap berpegang teguh pada impianku. Aku akui , aku hanya seorang anak yang tingga di sebuah desa tapi bukan berarti aku tidak bernai untuk bermimpi. Setiap orang berhak bermimpi tapi di antara mereka ada yang hanya bermimpi tanpa berusaha, ada yang bermimpi dan berusaha namun mundur, dan ada pula yang berani bermimpi, maju, dan mewujudkannya. Ketika kiata mampu bermimpi, berarti yang kita butuh bagaimana konsistensi untuk bertahan.

Sebelum mengakhiri tulisan pertama saya di kompasiana, saya ucapkan terima kasi kepada orang - orang selalu mendukung dan memberikanku motivasi selama ini. Walau aku belum bisa mewujudkan impianku, tapi aku tetap berpesan kepada semua teman - teman bermimpilah, konsisten, dan wujudkan.

Ilustrasi google.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline