Lihat ke Halaman Asli

Andi Novriansyah Saputra

Freelancer & Mahasiswa S2 Sekolah Tinggi Agama Islam Sadra

Metode Tafsir Qur'an Modern: Hermeneutika Objektif (Bagian 1)

Diperbarui: 24 Juni 2024   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Abdulmeilk Aldawsari: pexels.com

Marak di tengah masyarakat kaum muslimin penelusuran yang cukup serius dilakukan oleh para ulama atau mufasir dalam menerangkan makna dari suatu ayat al-Qur'an. Metode yang paling sering diterapkan merupakan tafsir klasik yang sering digunakan pada abad-abad terdahulu -meskipun pada akhirnya penuh kontroversi- dengan syarat dan ketentuan yang sudah pakem penerapannya.

Macam-macam tafsir klasik yang bahkan masih dipertahankan hingga sekarang yakni tafsir riwayah dan tafsir dirayah. Sebagai informasi singkat, tafsir riwayah menekankan penafsiran dari para sahabat terdekat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam karena mereka selalu bersama Baginda Nabi dalam melakukan perjalanan dakwah. Sementara tafsir dirayah terbagi atas dua; tafsir yang diperbolehkan yaitu upaya ijtihad yang disandarkan kepada ilmu-ilmu ushul, dan tafsir yang terlarang merupakan tafsir Qur'an tanpa ilmu dan hanya mengikuti hawa nafsu.

Dua metode tadi telah digunakan secara serius hingga tingkat akademik baik di Indonesia serta dunia internasional. Pada akhirnya juga membentuk paradigma berpikir para pendakwah yang saat ini tengah "banjir orderan" di kalangan masyarakat. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam praktik tafsir klasik untuk memperoleh makna dari al-Qur'an. Namun jika ingin mempertahankan spirit yang terkandung dalam surah al-An'am ayat 115 dengan terjemahannya;

"Dan telah sempurna firman Tuhanmu (al-Qur'an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui".

Maka diperlukan metode penafsiran yang bersifat kontemporer dan progresif, tanpa menyingkirkan spirit moral di dalamnya dan memperdalam penjelasan kandungannya tidak terhenti sebatas ilmu bahasa dan syariat. Keduanya memang penting, tapi tidak melihat dari sudut pandang pembicaraan lain juga terlalu naif. Apalagi untuk menyesuaikannya dengan masalah hidup terkini, akan banyak problematika yang belum terpecahkan jika tidak segera menemukan formula baru.

Sampai akhirnya diperkenalkan apa yang disebut hermeneutika dari dunia penafsiran barat, merubah sudut pandang para akademisi kekinian untuk menerapkan metode tafsir terhadap teks lebih-lebih kepada kitab suci. Sebenarnya hermeneutika di dunia Islam bukan hal baru. Penerapan hermeneutik dalam arti sempit secara tidak langsung telah dimulai pada penulisan kitab tafsir Jami' al-Bayan oleh Ibn Jariral-Thabari pada 284 Hijriyah atau 899 Masehi.

Akan tetapi bagaimana kiranya jika metode hermeneutika di dunia Islam dijalankan dengan pemikiran dari seorang filsuf di dunia barat seperti Emilio Betti? Pada hakikatnya tidak ada pertentangan untuk menerapkan hal itu sebagai ijtihad dalam menafsirkan al-Qur'an. Menarik kiranya untuk melihat secara detail apa yang ditawarkan oleh Emilio Betti jika metode hermeneutikanya digunakan di dunia tafsir al-Qur'an.

Menuju Penafsiran Objektif

Seperti yang telah dijelaskan secara ringkas, metode tafsir klasik al-Qur'an  telah menyumbangkan sederet hasil yang berangkat dari ilmu ushul dan ilmu syar'i. Kedua poin itu jadi legitimasi yang kuat dalam mempertahankan hasil penafsiran di tengah kaum muslimin, sehingga keluar dari metode yang digunakan dapat disebut bertentangan dengan Islam -jika tidak ingin disebut kafir- oleh lingkungan sendiri.

Tapi uniknya, upaya pengungkapan tersebut dapat diikuti dengan penyesuaian yang sedikit memaksa dengan situasi zaman terkini. Baik jika masih membuka ruang toleransi, namun ketika hukum di masa lalu dipaksakan dengan keadaan yang dialami sekarang bisa jadi dampaknya menjauhkan umat dari kemajuan dan mengekang untuk kerja sama antar zaman untuk mencapai jalan tengah kehidupan.

Pertanyaannya sekarang, apakah tahapan metode tafsir yang dipegang erat oleh sebagian pendakwah masih relevan di zaman sekarang? Maka jawabannya tidak bisa dengan sekedar meninggalkan tafsir yang ada dan mengganti secara serta merta dengan metode lain. Tetap mempertahankan unsur-unsur metode klasik yang dianggap erat kaitannya dengan spirit Qur'ani dan membuka kemungkinan-kemungkinan jalan disiplin ilmu kontemporer demi mendapatkan tafsir yang mengedepankan kontekstualisasi zaman.

Langkah-langkah revolusioner perlu dijalankan sekaligus dipertanggungjawabkan untuk menggeser paradigma berpikir pada zaman tertentu saja, menuju permasalahan terkini yang dirasakan manusia sekarang. Berbicara kontekstualisasi maka diperlukan produk obektif dalam penelusuran fenomena atau suatu teks, itulah upaya hermeneutika seorang Emilio Betti dalam perjalanan karirnya sebagai ahli hermeneutika di dunia pemikiran barat khususnya di Italia.

Elemen-elemen dalam penafsiran yang diterapkan Betti tidak keseluruhan berbeda dengan dunia Islam, tapi juga tidak bisa disebut mirip. Ia banyak terinspirasi dari dua pemikir hermeneutik sebelumnya yakni Schleiermacher (pendekatan filologis), dan Wilhem Dilthey (pendekatan psikologis). 

Secara garis besar, interpretasi yang coba dijalankan Betti berkenaan dengan penelusuran secara bahasa, terutama bahasa yang digunakan dalam kehidupan si pengarang teks. Juga menelusuri pengalaman hidup si pengarang untuk diambil semangat yang coba disampaikan melalui teks yang ditulisnya.

Selain kedua poin penting tersebut, Betti menekankan perlunya diri pembaca untuk menjadi pribadi yang lain atau sesuai dengan perasaan si pengarang teks, dan mencoba memahami pikiran si pengarang yang termanifestasi dalam teks. Saat itulah terjadi proses interpretasi bagi Emilio Betti.

Uji Coba Hermeneutika Qur'an

Kemudian yang perlu diperhatikan pula agar proses hermeneutika Emilio Betti dapat diterapkan dalam menafsirkan suatu teks, yakni personalisasi norma-norma interpretasi di antaranya; norma hermeneutika objektif, norma koherensi, norma aktualisasi, dan norma harmonisasi. Keempatnya akan membantu arah jalan penfasiran yang lebih utuh dan jernih untuk mendapatkan interpretasi secara objektif.

Sebagai pemikir beraliran pemikiran objektif, Betti begitu memperhatikan logika penyusunan teks yang akan diinterpretasi sehingga tidak menghasilkan pemaknaan subjektif pembaca. 

Lalu membaca teks yang akan ditafsir secara utuh, tapi juga memperdalam bagian-bagiannya. Karena menurut Betti, ibarat kitab suci, penafsir tidak boleh sekedar mencari makna satu bagian ayat tanpa melihat keseluruhan surah, juga tidak dibenarkan hanya melihat kandungan dari satu surah tanpa menggali pikiran bagian-bagian (ayat per ayat).

Bagi Betti, penafsir tidak hanya sekedar berhenti pada teks yang tertulis di hadapannya lalu ditafsirkan berdasarkan kata atau kalimat atau terjemahan. Ia perlu merekonstruksi kembali teks sebagaimana pertama kali ditulis oleh pengarangnya dan pada saat yang sama juga harus memahami teks itu.

Pemahaman yang terjalin secara objektif oleh pembaca atau penafsir teks yaitu adanya upaya harmonisasi antara pemikiran masa lampau saat teks ditulis dan pemikiran masa kekinian oleh penafsir. 

Maka saat disesuaikan dengan kondisi tafsir Qur'an, pendakwah ketika menghukumi masalah kekinian lewat dalil Qur'an, harus mengetahui maksud dari pertama ayat itu diturunkan kepada Nabi dan penerapannya di masa lalu, serta mengambil makna yang terkandung untuk memberikan hukum pada masalah di masa kini.

Pertemuan antara makna lampau dengan makna kekinian itulah yang memunculkan harmoni pada proses penafsiran teks menurut Emilio Betti. Tentu jika berbicara aktualisasinya di tengah masyarakat tidak akan berjalan begitu mudah. 

Akan banyak pro dan kontra yang terjadi dalam merespon upaya hermeneutika untuk diterapkan sebagai pakem tafsir al-Qur'an. Salah satu bentuk kontra yang sudah pasti tidak bisa ditepis adalah argumen bahwa metode itu berasal dari dunia barat bukan tradisi Islam.

Pada akhirnya jika tetap ingin mengejar ketertinggalan dari kemajuan dunia akademik modern, perlu menggunakan metode baru dari buah pikiran manusia modern yang masih segar jika dampaknya bisa memberikan kebaikan untuk umat manusia. Seperti halnya satu pepatah Arab mengatakan;

"Ambillah hikmah dari mana pun asalnya, hal itu tidak merugikanmu meskipun keluar dari mulut seekor anjing".***


Referensi:

Emilio Betti, General Theory of Interpretation (1973).

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur'an (2017).

El Muhammad, "Kisah Sufi Yang Belajar dari Seekor Ajing", https://www.aswjadewata.com/kisah-sufi-yang-belajar-dari-seekor-anjing. (2021).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline