Lihat ke Halaman Asli

Andini Rahayu

guru, pemerhati pendidikan

Pentingnya Pengambilan Keputusan yang Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan oleh Guru sebagai Pemimpin Pembelajaran bagi Masa Depan Murid

Diperbarui: 16 Februari 2024   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernahkah kita merenungi kutipan "Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik" oleh Bob Talbert? Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, kadang kita harus melihat sesuatu jauh ke depan. Guru sebagai pemimpin pembelajaran sering dihadapkan pada problematika pengambilan keputusan. Kutipan Bob Talbert  tersebut erat kaitannya dengan paradigma pengambilan keputusan, kita mesti melihat masalah secara holistik dan visioner, lebih bijak dan berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan.

Nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang kita anut dalam suatu pengambilan keputusan dapat memberikan dampak besar pada lingkungan. Keyakinan kita akan satu nilai atau prinsip tertentu dalam setiap pengambilan keputusan tentu melibatkan pihak lain di sekitar kita. Misalnya pada dilema etika yang sering terjadi di lingkungan pendidikan yaitu saat kita sebagai pemimpin pembelajaran dihadapkan pada situasi benar lawan benar. Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasar yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup.

Secara umum, ada empat paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), individu lawan kelompok (individual vs community), kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), serta dilema jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).  Jika kita mengutamakan prinsip keadilan dan meninggalkan prinsip kasihan biasanya lingkungan akan memandang kita kurang toleran, tegas atau keras. Jika kita mengedepankan prinsip belas kasih ketimbang keadilan dampaknya kita dianggap cenderung pilih kasih. Begitulah setiap pinsip yang kita anut dalam pengambilan keputusan berdampak pada lingkungan kita.

Filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka (ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) memiliki kaitan yang erat dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin. Filosofi Ki Hajar Dewantara yang dijadikan landasan Standar Nasional Pendidikan mengingatkan kita agar selalu berpihak pada murid.  Seorang pemimpin hendaknya memahami nilai-nilai kebajikan yang terdapat pada tujuan pendidikan Indonesia yang tertuang dalam visi dan misi sekolah. Apalagi sekolah sebagi institusi moral  yang dirancang untuk membentuk karakter para warganya. Seorang pemimpin mestilah berkepribadian serta berkinerja baik dalam melaksanakan tugas kepemimpinan, khususnya dalam mengambil suatu keputusan, hendaknya setiap keputusan yang diambil tersebut selaras dengan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi di sekolah, bertanggung jawab dan berpihak pada murid (tiga unsur landasan pengambilan keputusan).

George Wilhelm Friedrich Hegel menyatakan bahwa "Pendidikan adalah sebuah seni untuk membuat manusia menjadi berperilaku etis. Pendidikan yang ditempuh seseorang membuatnya ditempa akan prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebajikan. Semakin banyak prinsip-prinsip dan nilai kebajikan yang dipahaminya semakin banyak proses pertimbangan yang dilaluinya sebelum mengambil keputusan. Hal ini tentu saja berpengaruh pada perilaku/tindakannya. Perilakunya etis dan bijaksana. Pertimbangan yang masak akan dilalui sebelum mengambil keputusan bulat yang disadari benar akan berdampak pada orang di sekitar dan lingkungan. Jika masih ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri atas pengambilan keputusan tersebut, jawabannya akan kembali kepada diri sendiri.

Dalam pendidikan kita,  kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dipandang sebagai sarana efektif untuk karena pengambilan keputusan ini berasal dari dalam diri (intrinsik). Jika masih ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri atas pengambilan keputusan tersebut, pendamping/coach dapat membantu dengan sesi coaching yang memberdayakan. Teknik coaching dapat digunakan kepala sekolah dalam kegiatan supervisi akademik. Guru yang disupervisi dapat berdaulat penuh akan rencana pengembangan dirinya dan mengambil keputusan akan permasalahannya sendiri. Begitu pula guru sebagai  pemimpin pembelajaran dapat pula memakai teknik coching untuk mendampingi permasalahan yang dialami murid sambil menerapkan budaya positif yaitu restitusi. Pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

            Menjalankan pengambilan keputusan tak lepas dari tantangan-tantangan terhadap kasus-kasus dilema etika. Hal ini dapat terjadi jika menyangkut banyak pihak dan bertentangan dengan keputusan yang sudah diambil sebelumnya. Jika kasus menyangkut banyak pihak maka kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan masalah dilema etika ini. Semakin matang kemampuan sosial emosional semakin masak pertimbangan dan langkah-langkah yang diambil. Semakin kuat akan pemahaman terhadap nilai-nilai kebajikan  yang dianut guru, semakin bijak pula keputusan yang diambil. Oleh karena itu, studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik.

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal, pengambilan keputusan yang diambil guru berperan penting dengan pengajaran yang berpihak pada murid. Misalnya bagaimana kita memutuskan memakai metode atau teknik pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda. Penentuan keputusan pemilihan pembelajaran diferensiasi, seperti diferensiasi konten, proses, dan produk dapat memerdekakan murid-murid kita yang memiliki potensi yang berbeda-beda, bukan?

Setiap guru tentu pernah dihadapkan dengan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema. Hal ini akan terus dihadapi sejak memulai menjadi guru hingga ke depannya. Oleh karenanya, penting sekali bagi guru untuk mempelajari konsep pengambilan keputusan berbasis pada nilai-nilai kebajikan universal baik sebagai seorang individu maupun sebagai pemimpin. Karena setiap kita (baca: guru) adalah pemimpin pembelajaran. Dalam mengambil keputusan mungkin kita cenderung pada salah satu prinsip dari ketiga prinsip berikut: berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking), berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking), berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking). Namun, yang perlu diingat etika sendiri tentunya bersifat relatif, dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Sebagai seorang pemimpin pembelajaran dan sebagai penutup izinkan saya mengajak para guru untuk dapat berkontribusi pada proses pembelajaran murid dengan mengambil keputusan yang bertanggung jawab  dan selalu berpihak pada murid, menerapkan sembilan langkah pengambilan keputusan serta  mendasarkannya pada nilai-nilai kebajikan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline