Anak sering kali dikonotasikan sebagai sumber anugerah. Anak dalam masyarakat diartikan sebagai sumber kekuatan dan penguat dalam hubungan dua insan yang berumah tangga. Para pengantin muda, sering mendambakan kelahiran seorang anak sebagai pewaris keturunan, serta penerus generasi. Anak dalam masyarakat sering menjadi titik sentral yang digaungkan sebagai pembawa rezeki. Masih terdengar dalam dunia modern seperti sekarang yang menyebutkan, banyak anak banyak rejeki? Bertahan demi anak? Atau bahkan anak sebagai sumber pembawa kebahagiaan dan keberuntungan? Tidak jarang pula masyarakat mengatur hubungan yang cenderung sebagai urusan privat menjadi urusan publik. Para penggantin muda yang belum memiliki keturunan, membuat masyarakat ikut andil dalam hubungan keduanya. Pertanyaan yang sering kali hadir kepada pasangan muda, atau kepada pasangan yang menunda keturunan karena satu dan lain hal adalah, "Bagaimana sudah isi?", "Kapan dedeknya lauching?", "Makanya begini dan begitu?" Terdengar dengan jelas dalam pandangan dan suara masyarakat masa kini.
Anak dalam pandangan masyarakat masih didefinisikan sebagai suatu yang penting serta sumber perhitungan (has value of childern). Anak mendefinisikan seseorang menjadi orang tua yaitu kedudukan ayah dan ibu dalam pandangan masyarakat. Para pasangan suami-istri yang telah memiliki anak, akan menjadi orang tua dan mendefinisikan kedudukannya dalam masyarakat. Pandangan yang demikian akan menimbulkan perdebatan bagi siapa saja yang mencoba untuk meredefinisikan kembali. Ironinya kedudukan anak dalam masyarakat masih belum mendapat perhatian yang jelas. Anak sering menjadi subordinat yang membuatnya rentan akan kekerasan. Kekerasaan verbal maupun fisik. Kekerasan terhadap anak dianggap sebagai upaya pendisiplinan yang membuat harmoni dalam keluarga.
Bakti anak terhadap orang tua, sering dijadikan wadah pelegalan kekerasan anak dalam keluarga yang dilakukan para orang tua. Dunia anak dibawah bayang-bayang orang dewasa membuatnya tidak memiliki space untuk berkembang. Dunia anak sering dipengaruhi oleh pemaksaan dunia orang dewasa, dengan kata lain dunia anak sering diimajinasikan orang dewasa yang tidak mengakomodir dunia anak. Pendidikan, sikap, dan perilaku anak harus sesuai dengan imajinasi orang dewasa. Pengabaian hak anak dan perasaannya, membuatnya tidak didengar, dilibatkan, dan tidak dianggap, membuatnya menjadi subordinasi orang dewasa.
Berbagai konotasi yang diberikan pada anak, membuat dunia anak yang sesungguhnya tidak tercipta. Hal ini mengakibatkan berbagai persoalan terhadap tumbuh kembang anak. Dalam rumah tangga yang miskin, anak tdak memiliki akomodasi untuk dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan. Persoalan kehidupan yang dialami anak tidak dilibatkan padahal memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap psikologis anak. Tidak adanya akomodasi untuk mendengar keluhan, harapan, dan kepentingan anak berdampak pada apa yang dirasakan seorang anak.
Anak dalam beberapa pandangan meskipun dilihat sebagai sumber kekuatan, tapi di beberapa rumah tangga anak masih dilihat sebagai beban. Tidak melihat dalam diri anak ada kekuatan dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan untuk didengarkan, yaitu dialog anak dengan orang tua hampir tidak berjalan dengan baik. Para orang tua tidak mampu melakukan dialog yang terbuka dengan anak, dan cenderung hanya memaksakan keinginannya dalam imajinasi orang dewasa. Padahal anak punya cara dan metodenya tersendiri untuk menyelesaikan masalah sehingga anak dapat dilibatkan menjadi bagian dalam menyelesaikan masalah. Orang tua cenderung merasa paling tahu dan berpengalaman sehingga memaksakan dunia orang dewasa masuk ke dalam dunia anak.
Tidak adanya ruang yang mengakomodasikan antara anak dan orang dewasa, yang mana tidak adanya common space (ruang belajar) untuk kedunaya untuk tumbuh bersama, membuat anak terdeskreditkan ke dalam dunia orang dewasa. Informasi yang bertingkat melahirkan persepsi yang berbeda antara dunia anak-anak dengan dunia orang dewasa. Padahal untuk masuk ke dalam dunia anak dan mengetahui seperti apa dunianya, perlu adanya penyamaan informasi dan persepsi. Fakta lapangan membuktikan bahwa ketidakmampuan para orang tua dalam mengakomodir dunia anak-anak membuat beberapa kekeliruan dalam dunia parenting orang tua terhadap anaknya.
Orang dewasa cenderung mendefinisikan secara sepihak keinginan dan pandangannya, dan cenderung tidak menggunakan perspektif anak. Para orang dewasa tidak memahami seperti apa perspektif anak, sehingga melahirkan kontras, segmentasi, dan deskriminasi terhadap anak. Semua hal tersebut berakar dari persoalan ideologi fatalisme. Menempatkan semuanya kepada orang tua yang berasal dari ideologi ayah. Sistem yang patriarkal menstrukturkan ruang dan tempat keberadaan anak, sehingga melahirkan ideologi paternalisme (tindakan yang membatasi kebebasan seseorang atau kelompok demi kebaikan mereka sendiri). Untuk itu para orang tua perlu belajar perspektif anak dan mengakomodasi anak, sehingga anak dapat tumbuh kembang dengan baik dalam dunianya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI