Lihat ke Halaman Asli

Apa yang Hilang saat di Bulan Ramadhan ketika Beranjak Dewasa dan Menjadi Mahasiswa

Diperbarui: 17 April 2024   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi penulis, A.

Apa yang hilang saat Ramadhan ketika sudah beranjak menjadi mahasiswa.


Berbicara tentang ramadhan tentunya sangat identik dengan kenangan suasana hangat saat di kampung halaman. Hangatnya suasana rumah yang penuh tawa, haru, dan sukacita ketika semua anggota keluarga berkumpul menjadikan lebaran sebagai suatu momen sakral yang mengingatkan kita dengan pentingnya ikatan silaturahmi keluarga.

Jika berbicara tentang “hal apa yang hilang saat Ramadhan ketika sudah beranjak dewasa” maka jawabannya adalah kehilangan kehangatan rumah. Seperti kata pepatah, semua yang datang tidak selamanya menetap. Seperti kenangan, mereka datang dan pergi seenaknya. Manusia yang tidak berumur panjang, mereka lahir dan mereka juga meninggal.

Satu hal yang sangat menyakitkan pada Ramadhan-ku kaliini adalah tidak merasakan kehangatan rumah karena tidak merayakannya bersama jantung keluarga kami yaitu nenek dan ibu. Nenek sudah meninggal dunia sejak tahun 2020 silam. Suasana rumah kala itu benar-benar segelap langit mendung, tidak ada perayaan atau penyambutan yang meriah di rumah. Pintu yang terbuka hanya menerima keluarga dekat saja lalu setelah itu pintu ditutup dengan sengaja untuk menghindari ingatan menyakitkan ketika nenek meninggal terbuka lagi jika ada tamu yang menanyakan hal itu.

Tahun berikutnya kami dapat merayakan dengan lebih baik karena telah belajar mengikhlaskan nenek. Namun tetap saja ada satu bagian yang terasa kosong tanpa kehadiran nenek di tengah-tengah kita menjalankan ramadhan, mulai dari saat puasa jika dahulu kami selalu dibangunkan oleh nenek, sekarang tidak ada lagi orang yang membangunkan ketika jam sahur tiba, tidak ada lagi suara keributan piring dan gelas di dapur ketika nenek buru-buru memasak atau menghangatkan hidangan sahur, tidak ada lagi momen menyenangkan ketika aku menemani nenek belanja ke pasar menentukan menu buka puasa dan ikut membantu memasak bersamanya, tidak ada lagi antusias membeli baju lebaran bersama keluarga, tidak ada lagi perayaan hari pertama lebaran dengan memakan ketupat opor buatan nenek yang sangat enak itu, tidak ada lagi kunjungan saudara yang penuh kehangatan sebanyak itu karena nenek benar-benar jantung-nya rumah kami, dia adalah permata di rumah kami saat bulan Ramadhan datang. Kami terus dan terus menerus melanjutkan ramadhan yang kosong ini bertahun-tahun tanpa kehadiran nenek.

Hingga tahun ini, ketika aku mulai menjadi mahasiswa, aku mengalami fase kurang bahagia lagi ketika harus menerima realita bahwa aku tidak mendapat momen lebaran indah bersama keluargaku. Mengapa hal ini terjadi? Tidak semua anak memiliki keluarga yang hangat, dan tidak semua rumah itu dalamnya selalu utuh. Aku masih mempunyai ibu dan bapak (tiri-karena bapak kandungku sudah bercerai dengan ibu sejak saya kecil). Namun karena suatu hal, mereka harus berada jauh denganku sekarang, juga pada ramadhan ini. Lagi-lagi aku gagal bahkan menerima realita yang lebih buruk pada ramadhan kaliini.

Di usiaku yang beranjak 22 tahun ini banyak hal yang harus aku kuatkan termasuk rasa sabar dan ikhlas untuk diri sendiri sebagai wujud pendewasaan diri. Sehingga untuk berekspektasi pada ramadhan mendatang-pun mungkin aku sudah tidak akan tertarik seperti saat masih kecil lagi. Ramadhan yang sekarang bagiku hanya momen religius yang harus dijalankan seperti biasanya saja tanpa ada sesuatu yang perlu diistimewakan lagi, tetapi dijalani dengan ikhlas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline