"Dek, kamu gak pulang?"
"Dini, kamu gak pulang kampung?"
"Dek, kenapa kamu gak pulang? Sepupu-sepupumu yang pada merantau di Jakarta, dan Cikarang bisa pulang tuh. Sampai di sini dengan selamat. Sini pulang, biar bisa kumpul lebaran."
"Dini, kamu beneran lebaran gak mau pulang kampung?"
"Dini, sudah 2 bulan di kosan aja, gak pengen pulang kampung aja?"
Pertanyaan "kenapa gak pulang kampung?" saya dapatkan sejak awal terjadinya Covid-19 masuk ke Indonesia, dan Jakarta menjadi kota paling banyak yang terpapar. Anjuran pemerintah dan berbagai kalangan baik di Indonesia maupun dunia untuk Stay At Home langsung saya patuhi. Saya benar-benar tinggal di rumah (kosan) sejak tanggal belasan Maret hingga sekarang. Saya ke luar hanya untuk pergi ke minimarket, warung sayur, warung kelontong atau apotek untuk membeli kebutuhan harian (makanan, kebutuhan rumah). Itu pun tidak setiap hari.
Ibu kos saya bertanya-tanya kenapa saya tetap bertahan di kosan saja sementara kawan-kawan satu kosan saya semuanya pada pulang kampung bahkan ada yang pindah pulang seterusnya sampai dia kembali mendapatkan pekerjaan. Kawan kosan saya ada yang terkena PHK, ada yang gajinya dipotong setengahnya sehingga jalan terbaik mungkin pulang kampung.
Meskipun hal yang sama juga saya rasakan, ya saya sudah tidak bekerja sejak Covid-19 ada di Indonesia, namun saya tetap bertahan. Sebagai seorang freelancer seperti saya, Covid-19 sangat berpengaruh terhadap pekerjaan saya, otomatis berpengaruh pada penghasilan saya. Sangat berdampak.
Pertanyaan sama diajukan oleh Bapak saya, Uwa saya, Kakak sepupu saya dan saudara saya lainnya, "kenapa tidak pulang kampung?". Lebih-lebih sepupu-sepupu saya yang merantau ke Jakarta dan sekitarnya mereka berhasil sampai di kampung dengan selamat, maka pertanyaan itu sudah bukan lagi seperti pertanyaan biasa, namun sudah sampai pada perubahan nada bertanyanya. Saya dimarahi.
Saya bosan mendengarkan pertanyaan itu. Bagaimana caranya lagi saya harus menjelaskan kondisi saat ini yang tidak memungkinkan untuk bepergian kemana-mana, meskipun mungkin bisa saja asal punya keberanian atau nekat. Nah, saya tidak punya keberanian itu. Saya sayang terhadap diri saya sendiri, sayang terhadap keluarga di kampung, sayang terhadap orang-orang di sekitar saya, saya memikirkan bukan hanya harus pulang agar kumpul keluarga.
Ketika dilarang pulang kampung menjadi sebuah masalah itu membuat konsentrasi untuk bertahan menghadapi Covid-19 terganggu. Masih banyak yang belum bisa memahami makna "dilarang pulang kampung", "di rumah saja", jadinya timbul berbagai reaksi. Tanpa disadari, bukan hanya masalah ekonomi, masalah sosial, masalah kesehatan yang dihadapi, namun masalah keluarga juga masalah emosi diri sendiri pun terjadi.