Lihat ke Halaman Asli

Diva

Universitas Sebelas Maret

Pernikahan Dini: Malapetaka Generasi Penerus Bangsa

Diperbarui: 11 Desember 2021   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernikahan dini, adalah satu permasalahan sosial yang krusial namun tidak mendapatkan sorotan dan penanganan yang maksimal. Dalam spektrum budaya maupun agama pernikahan dini bukan suatu tindakan yang terlarang. Namun, permasalahan nya adalah, pernikahan dini yang terjadi saat ini bukan berdasar pada kebaikan dan lebih cenderung menimbulkan kerugian maupun keburukan. Bahkan malangnya, pernikahan dini justru menjadi objek glorifikasi, dengan iming-iming "Menikah Muda" yang sering menjadi dasar konten banyak influencer di Indonesia.

Tingginya kasus pernikahan dini menempatkan indonesia, berada di urutan kedelapan sebagai negara dengan angka pernikahan anak usia dini yang tinggi berdasarkan data United Nations Population Fund tahun 2020. Serta menduduki peringkat kedua tertinggi di ASEAN. Pernikahan dini, bahkan banyak ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya wilayah yang masih memiliki pengaruh adat dan budaya yang kuat. Padahal, pernikahan dini merupakan suatu malapetaka bagi generasi penerus bangsa. Misalnya saja, muncul masalah rumah tangga dengan tingkat ekonomi rendah, yang akan mempengaruhi kualitas kesehatan dan pendidikan bagi anak dan keturunan nya. Selain itu, pernikahan dini merupakan salah satu penyebab dari meningkat nya resiko kematian ibu dan anak sampai peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Berdasarkan perspektif hukum normatif yang ada di Indonesia, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa terdapat batas minimal umur perkawinan bagi wanita yang disamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang semula 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Namun pada pelaksanaan nya, masih saja ditemukan celah dalam birokrasi yang memudahkan tindakan pernikahan dini ini terus berlanjut bahkan masih sering dan marak ditemukan. . 

Pernikahan dini merupakan malapetaka yang hingga kini masih minim sorotan dan penanganan dari pemerintah. Mengingat dampak besar yang disebabkan oleh tindakan pernikahan dini, seharusnya, pelaksana kebijakan memberikan penanganan khusus dalam menyelesaikan fenomena ini. Salah satunya, tentu dengan memperkuat birokrasi dan hukum dalam pencatatan sipil mengenai pernikahan, yang harus dengan tegas melaksanakan amanat yang tertuang pada UU Perkawinan tentang pembatasan usia minimal melakukan pernikahan. Dengan begitu, apabila sudah dapat dilaksanakan dengan maksimal, hal itu akan mampu menekan laju pernikahan dini di Indonesia. Selain itu, bagi generasi muda, seharusnya fokus pada meningkatkan kualitas diri dengan mengedepankan pendidikan serta pembelajaran untuk peningkatan skill dan kemampuan. Hal tersebut, sangatlah penting, mengingat dalam bahtera rumah tangga, sangat diperlukan orang tua yang cerdas, untuk membentuk generasi cerdas penerus bangsa. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi-tingginya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline