Lihat ke Halaman Asli

Senja, Februari, dan Lelaki Hujanku

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13266737851589077634

Senja dan hujan luluh di beranda, aku terduduk di kesunyian. Riuhnya air tak mampu selimuti kerinduan. Sinar lembut jingga malah meronakan ingatan. Senja dan hujan, antara aku dan kamu, lelaki hujanku.

Kau tak menyapaku kini. Hanya bayangmu yang menari. Ada getar menyapa hati, membawa simfoni kenangan tentangmu, tentang kita, tentang masa lalu bersama airmata.

Lelaki hujanku. Lama sudah kita tak berbincang. Sejak terakhir kali di beranda. Kita menatap senja yang makin merebah pada tubuh malam. Saat itu hujan, seperti juga saat ini. Kita duduk sambil memegang gelas masing-masing. Kau dengan aroma kopi dingin, dan aku segelas susu cokelat hangat terpegang erat. Aku memang belum menyukai kopi.

Kita tertawa bersama dalam hujan. Ah, rasanya belumlah terlalu lama kehangatan itu kurasakan. Senja itu kau bercerita tentang hujan yang penuh cinta dan kenangan dalam sebuah lagu. Kau menyanyikannya dalam bahasa ibumu. Aku tak tahu judul bahkan artinya, tapi lagu itu terasa sangat merdu. Bahkan hujan menjadi musik pengiring yang sangat syahdu. Katamu, lagu itu bercerita tentang laki-laki yang jatuh cinta pada hujan, karena hujan membawa kenangan kekasihnya yang menghilang.

Aku selalu terkesima dalam setiap kata-katamu, dalam setiap cerita tentang hidupmu, masa lalumu, dan juga tanah kelahiranmu, tapi tidak lukamu. Kau selalu menyimpan airmatamu sendiri dalam puisi yang kubaca diam-diam. Aku selalu pura-pura tidak tahu tentang cintamu yang penuh luka, tentang sakit yang kau rasa.

“Berbagilah, bagikan padaku airmatamu, agar kau tak tenggelam dalam kesedihan yang sepi, berbagilah! Karena aku sayang padamu,” pintaku pelan dalam hati terdalam. Tapi kau lebih suka membuatku tertawa, membuatku lupa bahwa hidupku pun penuh luka. Kau ingin aku terus bahagia.

Ketika hujan tinggal menyisakan butiran air di temaramnya lampu taman, kau isyaratkan padaku sebuah kepergian juga kenangan yang akan kau titipkan pada hujan. “Masih adakah hujan yang tersisa di bulan Februari?” tanyamu waktu itu. Pertanyaan yang membuatku kembali bertanya, “Kenapa Februari?” Kau hanya tersenyum, dan berkata, “Jika aku pergi, jangan bersedih. Tiap hujan datang anggaplah aku yang menemuimu. Karena hujan adalah kerinduan yang tak bisa dipendam.”

Lalu aku tertawa, “Tidak ada yang akan pergi, kau tak boleh meninggalkanku. Tunggu aku dewasa, lalu aku menikah. Kita akan tua bersama!” Matamu menatapku dalam-dalam. Aku memelukmu dan kita sama-sama terdiam, menikmati sisa hujan terakhir di beranda ini berdua.

Isyaratmu makin nyata. Kau jatuh sakit, proses beberapa bulan yang menyakitkan untuk tubuhmu dan melukai hatiku. Tubuh yang biasa melindungiku, terkulai lemah tak berdaya. Dan pada akhirnya kau menyerah pada bulan Februari. Yah, Februari, seperti pertanda sisa hujan yang tak pernah terbaca olehku.

Awan begitu cerah hari itu, hujan hanya merinai di mataku. “Masih mungkinkah ada sisa hujan yang bisa kau nikmati di hari terakhirmu, sebelum kau ditidurkan dalam ranjang keabadianmu,” tanyaku dalam hati. Tapi sepertinya Tuhan berbaik hati padamu. Tubuh tanpa ruhmu dimandikan bersama air hujan yang tersisa di bulan Februari.

Kuusap tubuhmu pelan, dan berbisik di telingamu, berharap kau masih bisa mendengarkan bisikanku, “Mari bermain hujan bersama untuk terakhir kalinya, mari tertawa bersama.” Aku seperti melihatmu tersenyum, sebuah senyum bahagia. Dan tubuhku makin basah oleh hujan dari langit juga dari hatiku. Hujan mengiringi kepergianmu siang itu, seperti yang kau mau. Sejak saat itulah aku jatuh cinta pada hujan. Karena hujan akan selalu membawamu kembali ke sisiku, lewat nyanyian lelaki hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline