Pada penelitian yang dilakukan Westbury, dkk (2023) menunjukkan bahwa di beberapa tahun terakhir ini, mulai muncul ruang aman yang terkait dengan isu dan pengalaman obesitas, yang bebas dari penilaian. Gerakan ini disebut dengan BODY POSITIVITY atau BODY NEUTRALITY yang menolak standar tubuh yang sempit (kurus; langsing; kecil) dan berfokus pada penerimaan diri serta penghormatan terhadap semua ukuran tubuh. Tak jarang pula orang-orang di berbagai platform media sosial menyebutkan istilah ‘gemoy’ sebagai kata pengganti untuk obesitas; gemuk; atau overweight dengan tujuan agar obesitas atau tubuh gemuk dapat dipandang positif.
Body positivity ini bukan hanya soal menormalisasikan konsumsi makanan secara berlebihan, gerakan ini juga dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang tepat. Meski bertujuan untuk mengurangi stigma terkait ukuran tubuh dan mendorong penerimaan diri, ada risiko bahwa beberapa orang dapat salah menafsirkan pesan ini sebagai pembenaran untuk mengabaikan pola makan sehat dan gaya hidup aktif.
Di bidang gizi, studi yang mempelajari body positivity ini berkaitan erat dengan body image (citra tubuh). Body positivity memengaruhi cara kita memandang kesehatan gizi, dengan menggeser fokus dari tubuh ideal ke kesehatan holistik dan penerimaan diri, yang secara langsung memengaruhi body image seseorang. Studi yang dilakukan oleh Godoy-Izquierdo, dkk (2020) menyebutkan bahwa untuk menangani obesitas secara kompleks, kampanye publik dan kebijakan kesehatan seharusnya mendorong promosi citra tubuh yang lebih sehat, positif, dan realistis.
Salah satu tantangan utama body positivity adalah gerakan ini dapat memunculkan pandangan bahwa obesitas tidak memiliki konsekuensi kesehatan yang serius. Perlu diingat bahwa obesitas tetap berhubungan erat dengan risiko kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, hipertensi, kanker, bahkan kematian. Jika obesitas dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima sepenuhnya tanpa mempertimbangkan kesehatan, orang mungkin kurang terdorong untuk memberikan perhatian terhadap kesehatan fisik mereka termasuk pengendalian berat badan yang sehat seperti memperbaiki pola makan.
Gerakan body positivity sering kali bertentangan dengan kampanye kesehatan masyarakat yang menekankan pentingnya mengendalikan berat badan untuk mengurangi risiko penyakit kronis. Masyarakat mungkin akan merasa bingung antara mendukung penerimaan diri atau memprioritaskan kesehatan fisik. Dalam beberapa komunitas yang sangat mendukung body positivity, orang yang ingin menurunkan berat badan atau mengubah bentuk tubuhnya mungkin menghadapi kritik atau merasa tidak didukung yang tentu saja hal ini dapat menciptakan lingkungan yang buruk bagi mereka yang ingin melakukan perubahan untuk alasan kesehatan.
Body positivity sering kali berfokus pada aspek emosional dan mental dari penerimaan tubuh, tetapi jika ini terlalu menonjol tanpa mempertimbangkan aspek fisik, ada akibat bahwa orang akan mengabaikan kebutuhan untuk menjaga kesehatan fisik. Body positivity seharusnya tidak berarti mengabaikan kesehatan atau mengabaikan fakta ilmiah mengenai obesitas. Namun, dalam beberapa kasus, gerakan ini dapat disalahartikan sebagai pesan bahwa “tidak masalah” memiliki berat badan berlebih meskipun ada risiko kesehatan yang jelas.
Mengatasi masalah yang diakibatkan oleh body positivity tanpa memedulikan faktor kesehatan membutuhkan pendekatan yang holistik. Pendekatan holistik terhadap obesitas harus memperhatikan baik dari segi penerimaan diri maupun kesehatan fisik agar kedua aspek dapat berjalan beriringan tanpa bertentangan. Tidak hanya lembaga kesehatan, solusi ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan media untuk menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat dan penerimaan diri.
Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang seimbang mengenai body positivity dan kesehatan fisik. Program kesehatan yang menggabungkan psikologi positif dengan nutrisi dan olahraga dapat mendorong keseimbangan ini. Namun, karena setiap individu memiliki kondisi tubuh yang berbeda, program kesehatan harus dirancang secara personal, memperhitungkan kesehatan fisik dan emosional, sekaligus memberi ruang untuk penerimaan diri.
Pemerintah dapat membuat kebijakan melalui program edukasi di sekolah yang mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kesehatan fisik tanpa membuat mereka merasa malu akan tubuh mereka. Pemerintah dan lembaga kesehatan dapat pula memastikan bahwa layanan kesehatan yang terkait dengan obesitas, seperti konsultasi gizi dan program aktivitas fisik, dapat diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang berasal dari komunitas rentan atau berpenghasilan rendah dengan subsidi atau program kesehatan komunitas. Konselor gizi dan pelatih kebugaran harus bekerja sama dengan psikolog untuk mendukung pasien secara emosional.
Selain pemerintah dan lembaga kesehatan, media berperan penting dalam membentuk persepsi publik. Kampanye media harus mengedukasi masyarakat tentang kesehatan fisik tanpa menstigma tubuh yang berbeda. Media harus menampilkan representasi tubuh yang beragam dan tidak mengidealkan satu bentuk tubuh tertentu. Mempromosikan gaya hidup aktif dan pola makan sehat sebagai bagian dari pesan body positivity juga perlu dilakukan.
Akhirnya, pertanyaannya adalah: Bagaimana masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung penerimaan tubuh tanpa mengabaikan aspek kesehatan? Peran kita semua, sebagai individu dan bagian dari masyarakat, adalah untuk mempromosikan penerimaan diri yang sehat sambil tetap mengedukasi tentang pentingnya menjaga kesehatan secara fisik dan mental.