Beberapa minggu lalu, Indonesia sempat mengalami gejolak menyangkut pemilihan kepala daerah (pilkada) . Awalnya Mahkamah Konstitusi (MK) memproses gugatan UU Pilkada tentang ambang batas yang diajukan oleh duapartai yang tidak punya kursi di DPR.
Akhirnya MK menurunkan ambang batas sebgai syarat partai mengajukan calonnya baik di tingkat I maupun tingkat II. Ini yang memungkinkan beberapa parati yang semula dianggap tidak bisa mencalonkan calonnya, kini bisa mengajukan calon. Bahkan Partai Demokrasi Indoensia Perjuangan (PDI-P) - sebuah partai besar yang selama 10 tahun terakhir aktif ke pemerintahan, akhirnya beberapa daerah bisa menyelenggarakan Pilkada dengan normal, tanpa ada bayang-bayang kotak kosong.
Memang terjadi gejolak politik berupa demo mahasiswa dan elemen lainnya, karena atas keputusan MK itu kemudian DPR buru-buru memproses perubahan itu sesuai dengan kewenangan legislatif dimana yang berhak merumuskan UU adalah DPR dengan pemerintah.
Inilah yang kemudian membuat banyak pihak marah dan demo hebat terjadi di DPR dan kemudian DPR berhenti memproses. Meski demikian , proses yang benar adalah memang DPR berhak memproses karena dialah yang punya kewenangan namun selama ini terjadi salah kaprah (MK menuliskan ketentuan UU). Namun karena mepetnya dengan batas waktu pendaftaran di KPUD, maka paling efisien adalah memakai keputusan MK.
Banyak yang salah menafsirkan atau terlalu jauh menafsirkan demo yang sempat mengambil perhatian nasional itu. Bahkan banyak media asing menyoroti hal itu. Hal yang saya katagorikan terlalu jauh menafsirkan demo itu adalah, seakan negara kita berada di ambang kehancuran karena demo itu. Atau ada yang bilang bahwa demokrasi kita menurun bahkan busuk karena adanya politik dinasti yang mereka sebut tidak sehat dalam era reformasi ini.
Gejolak yang terjadi kemarin dan beberapa gejolak sebelumnya sebenarnya hal biasa yang bisa saja terjadi pada masa demokrasi sekarang ini. Setelah Pilkada Jakarta yang sangat memecah itu, demokrasi kita sangat cair, dimana Prabowo yang menjadi antitesa Jokowi masuk kabinet dan mereka bekerja sampai Prabowo memenangkan Pemilihan Presiden , Februari.
Narasi-narasi Indonesia diambang kehancuran karena nepotisme yang berkembang adalah narasi yang dominan di beberapa kanal media sosial. Narasi lain adalah demokrasi kita hancur dan bangsa kita membusuk karena fenomena yang terjadi. Narasi-narasi itu dikembangkan oleh kelompok-kelompok radikal dan kelompok (termasuk tokoh) yang melihat fenomena dengan kaku, sehingga tidak mampu melihat esensi fenomena yang terjadi.
Sebaiknya jangan terkecoh. Kelompok radikal memiliki strategi sangat piawai dalam upaya memuluskan niat untuk mengubah dasar negara kita. Kelompok lainnya punya pandangan rijid dan tidak mampu beradaptasi untuk memahami apa yang terjadi. Pola pikir moderat tidak dimiliki oleh mereka. Karena itu mari kita sikapi perkembangan ini dengan bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H