Akhir-akhir ini kita melihat orang-orang di sekitar kita, baik teman maupun kerabat yang terjebak pada ujaran-ujaran kebencian. Ujaran-ujaran kebencian itu sering terkait dengan pilihan politik. Maklum pada tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik. Sehingga mau tidak mau menyinggung perbedaan pilihan.
Padahal fenomena perbedaan pilihan itu amat biasa di Negara kita. Kecuali yang menyangkut fitrah, misalnya, Negara kita membebaskan masyarakat untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama yang dipilih itu. Apalagi berbeda pilihan politik yang merupakan hak masyarakat sepenuhnya.
"Terjebak" nya seseorang atau sekumpulan orang dalam ujaran-ujaran kebencian seringkali disebabkan karena tidaktahuan soal etika bermedia social dan undang-undang yang berlaku. UU ini menyangkut informasi.
Padahal setidaknya ada lima pasal dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur etika bermedia social. Yaitu pasal 27 sampai pasal 30. Aturan itu mencakup bagaimana sebaiknya memproduksi konten, mendistribusiannya dll. Pasal 28 berisi bahwa ada sanksi berat bagi orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dan TRansaksi Elektronik. Ini juga termasuk informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu berdasarkan Suku , Agama, Ras dan Antar Golongan. (SARA)
Hal lain yang layak diperhatikan dalam penyebaran informasi dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan adalah penetapan batas minimal umur dalam penggunaan media social. Yaitu 13 tahun untuk FB dan Instagram, dan 15 tahun untuk twitter. Sehingga ada baiknya anak dibawah ketentuan ini sebaiknya tidak memilikinya , daripada menanggung konten --konten yang tidak layak konsumsi.
JIka kita paham sepenuhnya pada lima pasal penting dalam UU ITE dan mencermati dampak buruknya dikemudian hari, sebaiknya kita mulai dari diri sendiri untuk selalu memperhatikan etika dalam bermedia social. Jangan sampai kita memproduksi dan menyebarkan konten yang bisa menyulut kebencian dan dendam. Jangan sampai narasi kita tersulut dari dendam pribadi tanpa melihat konteks social.
Kita sebaiknya juga empatif dalam memproduksi dan menyebarkan narasi-narasi itu. Empatif artinya, jika kita terletak pada situasi tersebut bagaimana perasaan kita.Tentu akan sakit hati dan tersinggung. Perpecahan pun tidak terhindarkan karena konten-konten ini.
Karena itu ke depan, ketika Pemilihan umum mulai dekat, kita harus mencermati dan peka terhadap narasi-narasi yang kita lontarkan. Jangan terlalu mudah bahkan jangan mengeluarkan narasi yang membuat orang lain terprovokasi. Jika kita bisa memulai dari diri kita, maka paling tidak berharap agar orang lain meniru kita.
Mari, dimulai dari kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H