"KOWE BAKALE DAK MULYA AKE SELAWASE"
Landasan Kristis Filosofis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Kata itulah yang terlontar dari mulut beliau Ki Hadjar Dewantar (KHD) saat menyadari telah berbuat 'khilaf' dengan secara reaktif-emosional memperlakukan putrinya Ni Asti yang kebetulan dalam kondisi tantrum.
"Tangis Asti yang tiada hentinya dirasakan sebagai suatu hambatan yang mengganggu tugasnya. Lalu, dengan serta merta anak itu diseretnya keluar, dan tanpa berpikir panjang, dibiarkan Asti kecil menangis di balik hempasan pintu rumah. Salju yang berjatuhan di jendela tiba-tiba menyadarkan kekalutan pikirannya. Dia lari secepatnya, lalu dibukanya pintu...dan Asti sudah tampak biru, menggigil kedinginan. Soewardi menyesal, sangat menyesal. Sambil memeluk anaknya yang sedang tersengal-sengal berurai air mata itu, terucaplah kata kasih sepenuh hati: Kowe bakale dak mulya ake selawase, yang artinya: Selamanya engkau akan Aku mulyakan."
(Irna H.N Hadi Soewito, 1985)
Jauh hari sebelum muncul teori pendidikan Humanistik yang diprakarsai oleh Abraham H. maslow, Carl R. Rogers, Arthur Combs, dan lainnya pada sekitar tahun 1970-an, ternyata Ki Hadjar Dewantara (KHD) telah mengimani bahwa pendidikan yang 'benar' sudah seharusnya memanusiakan manusia (humanis), memerdekakan pembelajar, dan senantiasa berpihak kepada mereka. Terlepas dari fakta bahwa konsep awal kepercayaan pendidikan ini berawal dari perilaku 'khilaf' beliau dalam menghadapi putrinya, Ni Asti. Namun, tak dapat disangkal bahwa KHD melakukan elaborasi yang mendalam mengenai bagaimana konstruksi pendidikan yang 'benar' dan bagaimana seharusnya pendidikan dipraktikkan.
Secara filosofis, KHD memaparkan bagaimana konsep pendidikan yang benar, yaitu harus memadukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), fikiran (intelek), dan jasmani (fisik). Pendidikan haruslah dilakukan untuk perkembangan hidup kejiwaan murid, sehingga mereka belajar menjadi nyaman dan tentram. Pendidikan hanyalah sebuah 'tuntunan' dalam membantu tumbuh kembang murid, dan dalam hal ini para pendidik tidak mempunyai daya apapun terhadap pembentukan pribadinya. Karena sejatinya, setiap murid mempunyai kodrat bawaan secara unik, pada tahap perkembangan belajar kodrat ini masihlah berupa garis samar dan peran pendidik hanya sebatas membantu menebalkan kodrat bawaannya.
Sebagai pendidik harus menghayati dan mengamalkan konsep: "Ing Ngarso sung tulada; Ing Madyo mangun Karso; Tut Wuri Handayani" di mana para pendidik saat di hadapan murid harus bisa memberikan teladan yang baik dalam bertindak atau bertutur kata, mampu membaur dan memberikan motivasi, melakukan umpan balik positif terhadap segala tindakan murid sehingga mereka dapat memupuk harapan dan tidak mudah pesimis/putus asa. Kemudian pendidik senantiasa memberikan dorongan terhadap perkembangan jiwa raga murid, bersikap optimis dan mampu menjaga cita-cita baik mereka.
KHD menganggap bahwa "Pendidikan merupakan tempat persemaian benih-benih kebudayaan". Dalam konteks ini memberikan arti bahwa segala pembiasaan baik di ruang sekolah, ke depannya akan menjadi tradisi yang baik pula dalam bermasyarakat. Pembentukan kodrat murid akan dibentuk oleh tiga dimensi ruang pendidikan yang mereka alami, yaitu Pendidikan dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan peran mereka dalam hidup bermasyarakat. Ketiga hal itu akan saling berkait kelindan dalam membentuk tumbuh kembang kejiwaan anak.
Terkait isu karakter kebudayaan bangsa, maka untuk mengisi bentuk kebudayaan bangsa yang otentik, dan sesuai dengan karakter bangsa harus menggunakan Asas Tri-kon. Yaitu kontinuitas, saat dimana ada budaya asing bersinggungan harus disandingkan dengan karakter dan budaya bangsa sendiri. Lalu ada konvergensi, yaitu pada tahap selanjutnya saat ada budaya asing yang pantas disandingkan dengan budaya kita, maka boleh dileburkan, dan menjadi budaya baru. Asas terakhir adalah konsentris, meski kebuyaan kita mempunyai karakter tersendiri, namun bisa bersanding harmonis dengan kebudayaan-kebudayaan dunia.
Sebagai guru Pendidikan Agama Islam & Budi Pekerti pada dasarnya penulis memiliki keyakinan bahwa dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar, peran penulis hanyalah sebatas mediator antara murid (pencari ilmu) dan Sang Pencipta (pemberi ilmu), kewajiban penulis hanya menyampaikan dan memberi contoh, selebihnya adalah peran Sang Pencipta tentang seberapa besar ilmu akan diberikan kepada setiap murid (futuh al qalbi). Patut disayangkan bahwa usaha penulis sebagai pendidik hanya sampai di sini, perilaku satu sisi tanpa adanya usaha optimal dalam mengkondisikan proses pembelajaran yang baik sebagai wujud 'tuntunan' terhadap tumbuh kembang kekuatan kodrat mereka. Proses pembelajaran yang menafikan adanya kemerdekaan murid dalam cara belajarnya, meniadakan tindakan kolaboratif, atau sekedar menampilkan pembelajaran yang keratif inovatif.