Lihat ke Halaman Asli

Istri Paman

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yang telah aku rencanakan, sekarang telah kulakukan. Mempersiapkan masakan kesukaan paman di meja ruang tamu. Dari dua minggu yang lalu sejak ia pergi, aku memikirkan untuk melakukan hal yang membuatnya bangga.

Kuletakan beberapa helai daun selada, piring disisi ayam  yang kugoreng. Kupelajari ini dari menonton tivi. Hanya acara memasak yang aku suka, selebihnya aku tak tahu apa yang dibicarakan orang yang ada dalam tivi.

Silahkan paman, semuanya sudah matang” panggilku kepada paman yang sedang sibuk didalam kamar. Sambil memandang masakanku, aku merasa lega sekali. Sekaligus penasaran, apakah paman menyukai masakanku. Hem.. aku mulai senyum-senyum sendiri.

Tinggalkan dulu makanannya, kesinilah dulu! Aku butuh kamu” suara paman yang cukup tinggi menyontak lamunanku tentang pujian yang keluar dari bibir paman.

Bergegas aku menuju kamar, menemui paman. “Aku sedang terburu-buru. Jadi bantu aku dengan menjadi anak baik kali ini.” Aku mengangguk, dan mulai menuruti perintahnya.

Paman mulai melakukan itu lagi kepadaku. Hal yang selalu membuatnya rindu adalah dengan menidihku dengan diantara kami telah telanjang. Namun ada hal baik di hari ini, paman mencumbuku cukup cepat dari biasanya. Dan kami berdua sedang sehat. Maksudku, sejujurnya aku benci saat paman melakukan dengan tubuh mabuk dan mulut berbau alkohol. Atau ketika paman meruwakku saat tubuhku sakit panas. Pernah sekali aku coba menolaknya, tapi paman tidak terima. Tangannya yang keras menempeleng wajahku, lalu tubuhku terhuyung jatuh. Tapi tak mengapa, aku terima semua itu. Aku yakin paman tetap mencintaiku.

_______________________________________________________________________

Pergumulan kami selesai. Paman bergegas mengenakan celana dan kemejanya. Dibelakangnya, aku mengamati punggungnya yang tegap. Paman keren sekali.

Mundur 2 tahun yang lalu, pemandangan serupa kudapati. Saat itu dirumah tidak ada siapa-siapa, kecuali paman dan aku. Kutunjukan darah di ujung jariku dari iliran diantara kedua pahaku. “Paman ini apa?” tanyaku

/ “Itu artinya kau sudah dewasa.” Jawabnya singkat

Lalu habis ini, bagaimana?

/ “Meski kamu baru 14 tahun, tapi kau cantik dan aku suka. Aku akan menikahimu.”

Tapi, bagaimana bisa?

/ “Semuanya akan kuurus. Kau tahu beres. Memangnya siapa lagi yang peduli padamu. Ibumu?” tanyanya benar-benar menusuk.

Ya, kau benar. Ia bukan ibuku, bahkan aku sama sekali tak mengenal dia. Telah kusumpahi dia, seperti bagaimana aku menyumpah suaminya.” Jawabku datar.
Ehm.. tapi setelah menikah, apakah aku tetap boleh memanggilmu dengan panggilan paman?

/ “Ya.. tentu saja, terserah kamu. Bagaimanapun aku masih adik dari ibumu

__________________________________________________________________

Lamunanku buyar, ketika paman menghadapku dengan setelan yang telah lengkap dan rambut yang bersisir rapi. Lalu, seperti kata yang telah kutebak dia berkata “Aku akan pergi lagi, mungkin seminggu atau mungkin lebih.

Kemudian, untuk pertama kali kukumpulkan keberanianku, menatap matanya dan berkata lirih “Cepatlah pulang paman, aku kangen.

Dan sesuatu terjadi. Paman menghampiriku. Mengangkat tengkuk leherku, mendekatkan tatapan kami. Mencium keningku, dan lalu berkata merdu “ Aku mencintaimu... ISTRIKU.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline