Lihat ke Halaman Asli

Andiko Nanda Fadilah

Mahasiswa S1 Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Rehumanisasi Pendidikan Kala Pandemi, Mungkinkah?

Diperbarui: 9 Mei 2020   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mari kilas balik keadaan sebelum Covid-19 menghantam Indonesia, semua media pemberitaan sampai penyelenggaraan seminar menggaungkan wacana Revolusi Industri 4.0 mulai dari asal-usul, sikap yang harus dimiliki manusia, hingga potensi perekonomian yang akan didapat.

Semua pihak tampak bergembira dengan datangnya revolusi ini, semua hal kian mudah dan seperti tidak akan ada persoalan yang tidak dapat diatasi. Hingga suatu saat umat manusia merasakan "pembunuhan" oleh makhluk miko-organisme secara mewabah.

Kampanye yang seakan menjanjikan kehidupan akan berubah, nyatanya sirna dengan sendirinya karena wabah. Mungkin itulah salah satu yang dapat disyukuri oleh ranah pendidikan karena akan menunda terjadinya degradasi humanisme padanya, walaupun pada saat ini ranah pendidikan menghadapi rintangan yang sangat sulit dengan terpaksanya dilakukan kegiatan belajar mengajar dari rumah secara daring.

Mungkin hal itu lumrah bagi sebagian masyarakat kota tetapi beda halnya dengan yang dialami Avan, seorang guru di Sumenep yang harus datang dari rumah ke rumah muridnya karena tidak semua murid memiliki perangkat untuk menunjang pembelajaran jarak jauh yang bahkan Mas Nadiem sendiri "kaget" dengan adanya kesenjangan digital.

Ranah pendidikan mengalami lag dalam menyikapi wabah ini. Bagaimana tidak, sistem pendidikan yang sampai saat ini dibangun belum sampai pada tahap pembelajaran formal secara daring, pengentasan kebodohan diukur dengan ujian yang seragam, dan bahkan indikator kesusksesan tergantung pada industri yang dapat menyerap lulusan dari institusi pendidikan. Semua realita pendidikan ini mengarah pada satu titik, yakni pendidikan yang mendegredasi nilai-nilai kemanusiaan.

Paulo Freire---tokoh pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan---menyatakan bahwa sekolah yang hanya mencetak generasi pekerja adalah sekolah yang menuju pada penindasan.

Pendidikan yang dikala normal melakukan pendidikan "gaya bank" yang mana guru diibaratkan sebagai penabung dan murid adalah wadah menabung dari para guru yang hanya diisi oleh materi yang relevan pada industri.

Realita demikian karena sekolah hanya dijadikan sarana pelatihan untuk bekerja sehingga tolak ukur keberhasilan SDM hanya ditinjau melalui kemampuan siap kerja.

Revolusi Industri 4.0 juga membuka pintu masuk seluas-luasnya investor asing yang siap menanam kapitalnya. Maka lebih lanjut pendidikan akan menjadi lapangan refleksi kepentingan dari para investor dan dalam sistem ini, masyarakat Indonesia akan terasingkan dari budayanya hingga akan terus memandang "wah" segala sesuatu dari luar, fenomena ini dikatakan Freire sebagai pendidikan gaya kolonial yang pada hilirnya akan terus menerus memanjakan industri.

Sejatinya pendidikan yang asli tumbuh dari Indonesia berdasar pada filosofi pendidikan kesetaraan yang merakyat oleh Ki Hajar Dewantara. Berbekal pada tuntunan akan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, dan sebagai anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Pendidikan kerakyatan juga bersandar pada semangat keluhuran budi manusia, membangun karakter, dan mendidik ke arah kekeluargaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline