Lihat ke Halaman Asli

ANDIK MAWARDI

analis hukum

Polemik Putusan Penundaan Pemilu Tahun 2024

Diperbarui: 3 Maret 2023   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Publik kembali dihebohkan dengan pemberitaan putusan pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengukup KPU untuk menghentikan tahapan pemilu tahun 2024 atas gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh penggugat Partai Prima tanggal Desember 2022 dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Dengan amar putusan "menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari". Tentu hal ini dimaknai oleh publik, putusan tersebut sama saja dengan memerintahkan KPU untuk menunda pelaksanaan pemilu tahun 2024 karena KPU sendiri sudah memulai tahapan pemilu tahun 2024.

Sesuai ketentuan Pasal 167 ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), tahapan dalam penyelenggaraan pemilu meliputi: a) perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan Penyelenggaraan pemilu; b) pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; c) pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; e) penetapan peserta pemilu; f) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; g) pencalonan Presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; g) masa kampanye pemilu; h) masa tenang; i) pemungutan dan penghitungan suara; j) penetapan hasil pemilu; dan k) pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. KPU sendiri sudah melaksanakan tahapan sampai pada penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah sebagaimana diatur dalam PKPU No. 6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pemilu Tahun 2024 sebagai tindak lanjut putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022.

Dampak putusan ini setidaknya kita dapat menganalisa dan pengaruhnya, pertama dari aspek hukum, putusan PN Jakarta Pusat tersebut harus kita hormati sebagai sebagai putusan lembaga yudikatif dalam kerangka negara hukum, sembari menunggu KPU melakukan upaya hukum banding kepada pengadilan tinggi (PT) Jakarta. Menyangkut aspek kompetensi absolut untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara terkait dengan proses penyelenggaraan pemilu, perlu kita kritisi apakah yang dilakukan oleh KPU dalam perkara yang diajukan oleh Partai Prima sebagai kategori PMH berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, apakah relevan pertimbangan hukum digunakan dalam memutuskan perkara ini. Kalau mekanisme litigasi yang ditempuh dalam perkara ini, apakah lebih tepat permohonan diajukan kepada PTUN untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan gugatan Partai Prima.

Kalaupun hakim yang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara ini, tetap dengan pertimbangan hukum bahwa perkara ini adalah perkara PMH berdasarkan kemandirian hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara ini, tentu tidak serta merta memberikan putusan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024, apakah justru akan menjadi bumerang bagi KPU digugat oleh parpol yang sudah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu tahun 2024. Seharusnya hakim memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara ini dapat memberikan putusan menghukum KPU untuk melakukan verifikasi ulang kepada Partai Prima dan bukan menghukum tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 kepada KPU.

Selajutnya bagaimana jika di PN lain ada gugatan yang serupa dan hakim pada PN lain tidak menerima gugatan pemohon, tentu tidak ada kepastian hukum, mana putusan yang harus ditindak lanjuti jika putusan tersebut berbeda-beda, sehingga akan menimbulkan kekacauan penyelenggaraan pemilu tahun 2024. Putusan hakim selain memberikan kepastian hukum juga harus mempertimbangkan keadilan dan kemanfaatan bagi parpol lain yang sudah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai peserta pemilu tahun 2024.

Kedua, dampak putusan terhadap kondisi perpolitikan nasional, seluruh partai politik peserta pemilu dan calon anggota yang dicalonkan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pemilu Tahun 2024 belum mendapatkan kepastian mengenai pengunaan sistem proporsional terbuka/tertutup yang masih menunggu putusan pengujian UU Pemilu di MK. Kembali dipanaskan dengan putusan PN Jakarta Pusat, tentu akan semakin menambah riuh suasana perpolitikan nasional. Pelaksanaan pemilu merupakan agenda politik sehingga tidak serta merta putusan pengadilan dapat memutuskan menghentikan tahapan pelaksanaan pemilu tahun 2024 yang pada ujungnya menunda pelaksanaan pemilu.

Ketiga, kepercayaan publik terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemilu tahun 2024. Putusan PN Jakarta Pusat menjadi bola panas untuk digoreng bagi kepentingan politik tertentu, dan lagi-lagi pemerintah yang akan menjadi sasaran dengan narasi yang menyudutkan penundaan pemilu tahun 2024 dengan mendapatkan legalitas dari pengadilan. Ditengah semua pihak dengan sungguh-sungguh melalui program dan kegiatan memberikan pendidikan politik kepada pemilih, putusan PN Jakarta Pusat bisa dikatakan kontra produktif.    PN sebagai bagian dari peradilan umum juga mempunyai tanggung jawab dalam menjaga independensi penyelenggaraan pemilu tahun 2024 baik secara institusional maupun personal.

Keempat, kepercayaan dunia internasional terhadap stabilitas politik, yang berimbas pada kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepercayaan investor berinvestasi yakni stabiltas politik dalam negeri sebuah negara. Semua pihak harus berhati-hati dalam memutuskan kebijakan, keputusan, putusan yang berpotensi membuat gaduh politik dalam negeri. Upaya Presiden menerbitkan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) tidak akan berdampak singnifikan terhadap arus investasi di dalam negeri jika kegaduhan politik terus terjadi. Ditengah ancaman resesi ekomomi dunia, semua pihak harus menyadari bahwa konstestasi politik jangan sampai mengorbankan masa depan bangsa dan negara.

Sesuai dengan hukum acara, KPU yang dihukum oleh PN Jakarta Pusat dapat melakukan upaya hukum banding, dengan argumentatif terkait dengan kompetensi peradilan umum untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara sengketa proses pemilu sesuai ketentuan UU Pemilu merupakan kompetensi PTUN. Terkait dengan putusan untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu tidak mungkin dapat dilakukan oleh KPU karena KPU merupakan pelaksana UU Pemilu. Kewenangan KPU yakni menerbitkan peraturan KPU dan keputusan KPU, adapun ranah pengaturan penyelenggaraan pemilu termasuk tahapan pemilu merupakan pengaturan dalam UU Pemilu sebagai amanat ketentuan pasal 22E ayat (6) UUDNRI Tahun 1945.

Selanjutnya terkait dengan tata kelola sengketa proses pemilu, agar berkepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam UU Pemilu dan UU Pilkada, terkait dengan proses penyelesaian litigasi sengketa proses pemilu dan pilkada diberikan kepada PTUN untuk memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara sengketa proses pemilu dan pilkada sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Berbeda dengan kewenangan menerima, memeriksa, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu yang merupakan kewenangan MK. Penegasan kewenangan PTUN memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara proses pemilu agar hakim pada peradilan lain tidak dengan mudah berdasarkan independensinya memberikan putusan yang justru kontra produktif dengan penyelenggaraan pemilu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline