Lihat ke Halaman Asli

ANDIK MAWARDI

analis hukum

Rekonstruksi Hukum Pidana Administratif Pemilu dan Pilkada

Diperbarui: 8 Februari 2023   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 merupakan siklus demokrasi 5 (lima) tahun. Pelaksanaan daulat rakyat tersebut diatur dalam ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Perppu No. 1 Tahun 2022 tentang Pemilu (UU Pemilu) dan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2020 (UU Pilkada). Dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 2024 dilaksanakan untuk memilih calon presiden/wakil presiden dam anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, adapun penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2024 untuk memilih calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota.

Dalam rangka penegakan hukum atas pelanggaran administratif UU Pemilu dan UU Pilkada mengatur sanksi administratif diberikan bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran administratif dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak tahun 2024. Sanksi administratif dalam UU Pemilu dan UU Pilkada merupakan sarana penegakan hukum atas pelanggaran administratif pemilu dan pilkada serentak tahun 2024. Adapun Sanksi administratif diberikan kepada penyelenggara dan pemilu atas pelanggaran ketentuan dalam UU Pemilu dan UU Pilkada merupakan sarana hukum sebelum penegakan hukum pidana administratif pemilu dilakukan.

Penegakan hukum administratif pemilu berbeda dengan hukum pidana administratif pemilu, hukum pidana administratif pemilu sebagai ultimum remedium yang merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia, hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum termasuk dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak tahun 2024, sebelum penegakan hukum administratif pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 digunakan. Sehingga dalam konteks penegakan hukum pemilu dan pilkada serentak tahun 2024, penegakan hukum administratif pemilu dan pilkada merupakan premium remedium.

UU Pemilu dan UU Pilkada ditetapkan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (UU KUHP). UU Pemilu dan UU Pilkada tentunya dalam perumusan sanksi pidana masih mempedomani ketentuan Wetboek van Stafrecht atau KUHP yang ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pembaharuan UU KUHP sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU KUHP merupakan dekolonialisasi KUHP dalam bentuk rekodifikasi, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana serta adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia internasional.

Selanjutnya dalam kerangka politik hukum pidana, penyusunan UU KUHP dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu dalam NKRI yang berlandaskan pada Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. Sehingga praktis hukum pidana administratif yang diatur dalam UU Pemilu dan UU Pilkada sudah tidak sesuai dengan visi dan politik hukum UU KUHP.

Dalam perumusan unsur sengaja ketentuan pidana dalam UU Pemilu dan UU Pilkada tidak sesuai dengan visi demokratisasi hukum pidana serta tidak menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Adapun pertanggungjawaban pidana berdasarkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU KUHP mengatur bahwa setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. Sehingga pemilahan perbuatan tertentu hanya dapat dipidana dengan unsur segaja dalam UU Pemilu dan UU Pilkada tentunya tidak sesuai dengan visi dan politik hukum UU KHUP.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU KUHP mengatur bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan. Selanjutnya untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam UU KUHP tidak mengenal qualifikasi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, hal ini tentu berbeda dengan KUHP yang membagi tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran. Rumusan sanksi pidana administratif dalam UU Pemilu dan UU Pilkada mengatur sanksi pidana penjara yang oleh ketentuan Pasal 65 UU KUHP menyebutkan bahwa pidana terdiri atas: a. pidana pokok; b. pidana tambahan; dan c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam UU. Jenis pidana pokok dalam ketentuan KUHP terdiri dari: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. Pembaruan hukum pidana dalam UU KUHP, pidana pokok yang dapat diatur dalam UU Pemilu dan UU Pilkada tidak hanya terbatas pidana penjara dan pidana denda.

Disparitas acaman pidana untuk tindak pidana yang sama dapat dilihat pada ketentuan pasal 510 UU Pemilu yang merumuskan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun, berbeda dengan pasal 176 UU Pilkada dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan untuk tindak pidana menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya. Perumusan ketentuan tersebut tentunya tidak sesuai dengan UU KUHP mengatur ketentuan sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, adapun pasal 510 UU Pemilu dan pasal 176UU Pilkada tidak sesuai dengan visi harmonisasi pembaharuan hukum pidana dalam UU KUHP dan politik hukum menciptakan dan menegakkan konsistensi dan keadilan hukum pidana.

Selanjutnya ketentuan pidana adminstatif pemilu yang diatur mulai dari Pasal 448 sampai dengan Pasal 554 atau sebanyak 106 pasal dalam UU Pemilu dan ketentuan pasal 177 sampai ketentuan pasal 198 atau sebanyak 21 pasal dalam UU Pilkada. Dilihat dari kebijakan kriminalisasi, bahwa ada sekitar 18% (delapan belas persen) lebih dalam UU Pemilu dan sekitar 10% (sepuluh persen) lebih dalam UU Pilkada yang mengatur sanksi pidana dalam materi muatannya, hal ini menunjukan paradigma pembentukan UU Pemilu dan UU Pidana tentunya tidak sesuai dengan mekanisme penyelesaian hukum pidana administratif (administrative penal law), yang seharusnya sebagai alternatif terakhir (ultimum remidium) penegakan hukum pidana administratif pemilu.

Adapun pilihan kebijakan kriminalisasi untuk terciptanya ketertiban dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada melaui perumusan sanksi pidana dalam materi muatan UU Pemilu dan UU Pilkada, yang terjadi kecenderungan dalam produk kebijakan legislasi tersebut, hukum pidana digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam tindak pidana yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Adapun kebijakan kriminalisasi yang ada tidak bersifat rasional, berlebihan dan tidak dilandasi filsafat pemidanaan. Tujuan pemidanaan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. UU Pemilu dan UU Pilkada perlu depenalisasi, depenalisasi tidak berarti menghilangkan ancaman pidana dari suatu perbuatan yang semula dilarang dalam UU Pemilu dan UU Pilkada, tetapi memungkinkan diganti dengan sanksi lain seperti sanksi administratif pemilu dan pilkada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline