Lihat ke Halaman Asli

Menyambut Menteri Kesehatan (Harapan Rakyat)

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14111420411590262622

Tidak lama lagi, Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan dilantik. Menyongsong momentum itu, banyak orang bicara tentang Menteri dalam Pemerintahan Jokowi Jusuf Kalla. Termasuk saya saat ini. Perhatian yang penting bagi saya adalah Menteri Kesehatan. Ada dua alasan utama: 1) derajat kesehatan masyarakat amat mengkhawatirkan. Lihatlah Angka Kematian Ibu mencapai 359. 2) ada kecenderungan urusan hak atas kesehatan dimarjinalkan, tapi komersialisasi pelayanan kesehatan dikedepankan.
Kalimat "akses (masyarakat) terhadap pelayanan kesehatan" adalah jurus penting dari pemimpin politik. Setiap periode kekuasaan bicara soal ini. Kini Jokowi. Tapi tetap saja urusan pemenuhan hak atas kesehatan menjadi persoalan besar. Kasus-kasus kesehatan terangkat ke permukaan seperti layaknya gelombang. Gizi Buruk, kematian ibu saat melahirkan, sampai datangnya penyakit tropis tanpa respon kebijakan yang memadai. Kini Jokowi juga bicara (atau janji politik?) untuk memperkuat akses terhadap pelayanan kesehatan, yang terprogram, terarah dan tepat sasaran. Perlu diketahui, kata-kata ini di dalam dinamika politik kesehatan Indonesia, sudah jatuh sebagai jargon. Bukankah sejak dulu urusan akses terhadap pelayanan kesehatan dijalankan dalam rejim perencanaan? Pelaksananya punya Rencana Strategis yang tentunya telah divalidkan dengan masalah (yang harus) terprogram, terarah, dan tepat sasaran itu? Terlebih dengan dukungan kelembagaan yang mapan, ribuan lulusan dokter dan bidan setiap tahunnya. Tetap tetap saja bikin kejutan, AKI tinggi. Saya pemilih pasangan Jokowi JK dalam Pilpres kemarin. Saya, melalui kantor merDesa Institute, juga sudah mencoba komunikasikan untuk dialogkan masalah penting di atas dengan tim transisi Jokowi JK, tetapi tak terwujud jua. Maka, catatan ini saya tulis untuk mereka.
Masalah akses terhadap pelayanan kesehatan sungguh soal tidak mudah. Di perdesaan, tidak cukup dijawab dengan membangun gedung Puskesmas. Kita harus bisa jawab, apakah gedung Puskesmas itu bisa diakses secara fisik, dalam arti orang tidak perlu menempuh jalan berbukit, panjang berliku, atau seberangi sungai besar atau selat untuk mencapainya? Ingat kasus kematian karena gizi buruk di pedalaman Papua; apakah gedung Puskesmas itu bisa diakses secara ekonomi? Di dalam gedung Puskesmas bolehlah soal ini dijawab dengan BPJS Kesehatan, tetapi bagi orang miskin kalau dari rumahnya menuju gedung Puskesmas itu harus keluarkan banyak uang, maka itu juga sama dengan bohong! Lebih prinsip lagi, apakah gedung Puskesmas itu berfungsi? Dalam arti memiliki Dokter Puskesmas, yang secara jabatan fungsional bekerja melaksanakan tugas kesehatan masyarakat dengan baik? Apakah basic six Puskesmas juga mampu dijalankan? Faktanya, Puskesmas dihabiskan waktunya untuk melayani orang sakit. Menangani orang sakit diterjemahkan secara dominan dari pelayanan kesehatan saat ini. Urusan promosi kesehatan, mencegah sakit justru tidak ada dukungan kerja yang layak. Faktanya jangan dilihat hanya di Jawa, karena Indonesia bukan hanya pulau Jawa. Gambaran ringkas ini masih bingkai kecil dari masalah besar masalah pemenuhan hak atas kesehatan. Sekarang coba kita tarik masalah di atas ke Pusat, di mana keputusan strategis kesehatan dibuat. Pernahkah kita meragu, jangan-jangan, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tidak kompatibel dengan sistem pemerintahan yang ada. Hak atas kesehatan hanya dilihat sebagai masalah pelayanan atau perawatan kesehatan, tidak menjangkau pada ketersediaan faktor penentu dasar kesehatan seperti air bersih untuk setiap rumah tangga, sanitasi yang baik bagi setiap rumah tangga, pemukiman yang layak, ketersediaan atau jaminan akses atas pangan, serta lingkungan yang baik dan sehat. Begitu juga soal postur anggaran publik bidang kesehatan, secara dominan dialokasikan untuk upaya kebijakan rehabilitatif dan kuratif. Itu masalah bagi publik, karena kebutuhan promosi dan preventif dikesampingkan. Upaya promosi dan preventif memang sulit dijadikan barang dagangan, tapi kalau urusan orang sakit memang ada potensi dikomersialkan. Kecenderungan umum itu harus dihentikan. SKN harus dirombak total untuk mencapai tujuan pemenuhan hak atas kesehatan rakyat. SKN haruslah dikembangkan berdasar prinsip-prinsip hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia. Pendidikan kedokteran dan kesehatan masyarakat perlu ditantang lagi dengan Wajib Kerja Sukarela, bekerja sebagai dokter hebat dan ber kemanusiaan di perdesaan yang terpencil. Jadikan martabat tenaga kesehatan itu ada di kemauan dan kemampuan bekerja melayanani warganegara yang hidup miskin dan tertinggal, Kelembagaan kesehatan yang mapan mengerjakan urusan kesehatan sebagai bidang (yang mencakup upaya kesehatan promotif, preventif, rehabilitatif dan kuratif) berdasar paradigma sehat. Postur anggaran publik yang mampu mengawal pelaksanaan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan rakyat, terutama kelompok miskin. Rekonstruksi total sistem kesehatan nasional itulah yang kita ajukan sebagai area tanggung jawab dan kewajiban pemerintahan Jokowi JK. Maka carilah Menteri Kesehatan yang mampu memenuhi harapan rakyat itu.

Kartu Indonesia Sehat akan dimiliki setiap rakyat untuk mengolah hidup sehat, yang memastikan penduduk warganegara menerima informasi yang jelas untuk hidup sehat, tercegah dari sakit, menerima kunjungan dokter untuk mempromosikan hidup sehat, menerima air bersih, menikmati Sanitasi yang baik, dan papan dan pangan yang berkualitas. Kartu Indonesia Sehat janganlah untuk mengakses pelayanan kesehatan saja, atau cukuplah urusan sakit itu dijawab dengan pegang kartu BPJS kesehatan? Menteri Kesehatan harapan rakyat yang akan memandu tujuan tersebut. Maka, bapak Jokowi JK pilihlah Menteri Kesehatan yang mampu penuhi harapan rakyat itu. Jamgan terkecoh pada mereka yang dipromosikan secara instan, lihatlah jejak sang calon dengan sebaik-baiknya, lekatkanlah pada fakta masalah kesehatan masyarakat, berkemampuan teknokrasi kesehatan yang baik, serta memiliki visi politik dan kebijakan kesehatan berparadigma sehat. Saya harus akhiri, semoga terbaca oleh mereka calon penguasa. Pada diri saya, muncul pertanyaan, "lho Anda kan biasa bicara soal desa dan agraria, kenapa kini bicara kesehatan?" Wah... Saya beri tahu, di kantor merDesa Institute, urusan desa dan agraria itu dijalankan dengan strategi rekonstruksi perdesaan, kalau mengawal reforma agraria Anda juga harus advokasi pemenuhan hak-hak dasar rakyat, terutama hak atas kesehatan dan pendidikan. Dalam waktu dekat saya akan tulis di sini tentang reforma agraria dalam pengertian dan pengalaman itu.

Bogor,  18 September 2014

Andik Hardiyanto, Direktur merDesa Institute, Jakarta




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline