Lihat ke Halaman Asli

Jokowi “Didikte” JK Soal Papua?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

142242695229416074

“Sebuah pengakuan jujur yang tidak pernah diungkapkan oleh enam presiden sebelumnya. Presiden Jokowi mengakui bahwa dalam suasana ketidakpercayaan antara satu dan yang lain, masalah apa pun tidak dapat diselesaikan. Dengan demikian, meningkatkan sikap saling percaya di antara sejumlah pihak di Tanah Papua merupakan hal pertama, penting, dan mendesak (urgent) yang perlu dilakukan.”

Presiden Jokowi juga mengidentifikasi secara jelas kebutuhan fundamental rakyat Papua. Ia melihat rakyat Papua tidak hanya membutuhkan layanan kesehatan. Tidak hanya membutuhkan layanan pendidikan. Tidak hanya membutuhkan pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan. Namun, rakyat Papua butuh didengarkan, diajak berbicara. Itulah sikap dasar saya dalam membicarakan setiap persoalan yang ada di Papua.

Kepedulian dan keseriusan Jokowi menyelesaikan persoalan di Papua ini tidak hanya disampaikan pada massa kampanye. Terakhir, saat menghadiri perayaan Natal Nasional di Lapangan Mandala, Jokowi kembali menegaskan komitmennya di depan masyarakat Papua. Hingga menjanjikan untuk mengunjungi Papua tiga kali dalam setahun. Dia juga meminta kepada semua pihak di daerah ini bersatu membangun Papua. (baca: Jokowi dan Salam Damai Tanah Papua http://goo.gl/Mw3K4n)

Apa misi Jokowi untuk Papua? Mengutip pernyataan beliau pada massa kampanye bulan Juli 2014 lalu, tertera sekurangnya ada 5 agenda prioritas Jokowi  untuk masyarakat Papua. Komitmen tersebut diantaranya, memberi kesejahterakan tentara dan guru di perbatasan, bebaskan pengangguran, mengentaskan konflik masyarakat, ingin bangun tol laut dan melakukan renegosiasi perusahaan asing di Papua. (baca: 5 Janji Jokowi pada masyarakat Papua jika jadi presiden http://bit.ly/14yjVNr)

Tentu, ini bukan pekerjaan yang mudah. Sebatas mengunjungi Papua 3 kali setahun saja tidak cukup. Dinamika sosial di Papua bergerak sangat cepat. Ini memaksa Jokowi untuk terus mencermati secara detail perubahan sosial dan konflik kepentingan yang terjadi di Papua. Terutama dalam kerangka penyelesaian pelanggaran HAM dan penambangan emas oleh Freeport. Jika tidak, Jokowi akan kehilangan momentum untuk mendapat respon positif dari masyarakat luas dan komunitas politiknya. Apalagi setelah kebijakan BBM terbukti gagal mempertahankan popularitas-pembangunan Indonesia Timur (Papua) menjadi salah satu ruang bagi Jokowi untuk mendapat quick win selama 1 tahun periode kepemimpinannya.

Mari kita lihat bagaimana Jokowi kecolongan akhir-akhir ini dalam mengurus Papua. Pertama, kelemahan Jokowi dalam mengambil keputusan renegosiasi tambang Freeport di Papua. Rencana pemerintah memperpanjang kontrak Freeport 25 Januari 2015 jelas tidak berdasar hukum dan terkesan ada kepentingan terselubung. (baca: Kementerian ESDM Rampungkan Amandemen Kontrak Freeport http://bit.ly/1xUP5vc)

Bagaimana tidak, jika dilihat dari perundangan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, seharusnya perpanjangan kontrak Freeport baru boleh diberikan dua tahun sebelum masa kontrak habis pada 2021. Azaz kemakmuran masyarakat Papua dan penerimaan Negara juga harus menjadi pertimbangan utama sebelum kontrak baru diteken. Pemerintah harus memastikan Freeport berkontribusi besar bagi Indonesia dan pembangunan Papua. Alhasil, belum ada keseriusan perusahaan mengenai hal itu, pemerintah sudah menjanjikan perpanjangan kontrak pada Freeport dan beberapa perusahaan tambang lainnya. (baca: Freeport Minta Perpanjang Kontrak Sampai 20 Tahun http://bit.ly/1yEdYv0)

Kabar buruknya, perpanjangan kontrak Freeport tersebut ternyata dilatarbelakangi kepentingan bisnis Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hasil pertemuan Jusuf Kalla dengan bos Freeport McMoran James Robert Moffet (Jim Bob) di Jakarta Oktober lalu, ada kompensasi ruang bisnis berupa pembangkit listrik hydropower dengan investasi senilai 240 juta USD dengan kapasitas 130 Mega Watt. Serta pabrik semen di Papua dengan nilai investasi 12,41 trilun, jika Jusuf Kalla bersedia memberi perpanjangan kontrak pada Freeport tahun ini. Untuk memuluskan kepentingannya, JK dibantu Menteri ESDM Sudirman Said-maraton gelar pertemuan dengan manajemen Freeport di Indonesia guna merampungkan amandemen kontrak tersebut.  Tidak hanya itu, JK juga berupaya keras menempatkan orang menempati posisi Presiden Direktur Freeport menggantikan Rozik B Sudjipto. Alhasil, 7 Januari 2015 PT Freeport menunjuk Maroef Sjamsuddin sebagai Presiden Direktur baru PT Freeport. (baca: Mantan Wakil Kepala BIN Ditunjuk Jadi Presdir Baru Freeport Indonesia http://goo.gl/IyIv3Q)

Menjadi pertanyaan, apa hubungan antara Jusuf Kalla, Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin? Sudirman Said memiliki kedekatan dengan Sjafrie Sjamsoeddin. Sudirman Said yang merupakan mantan Direktur Utama Perusahaan BUMN PT Pindad, PT Pindad dibawah tanggung jawab Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin pada masa pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan Maroef Sjamsoeddin merupakan adik kandung dari Sjafrie Sjamsoeddin, yang merupakan darah Makassar yang sama seperti Jusuf Kalla.

Sjafrie Sjamsoeddin dan Jusuf Kalla memiliki ikatan kedaerahan tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) --(baca : JK Buka Puasa Bareng KKSS Jakarta http://goo.gl/b5Fgcx). Hubungan keduanya tidak hanya sampai disana, Sjafrie merupakan bagian tim persiapan Jusuf Kalla untuk menjadi presiden di tahun 2014, Sjafrie berada di tim persiapan ini diberitakan pada tahun 2012 ketika menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan SBY-Boediono (baca: Pendukung Terus Pantau Popularitas dan Elektabilitas JK http://goo.gl/AygcdT). Silahkan baca juga: Kenapa Presdir Freeport dari Militer, Apakah Karena Perpanjangan Kontrak sampai 2041 Buntu? (BAGIAN 11) http://bit.ly/1tYY0dI

Kembali pada persoalan, Jokowi bukan tidak tahu kompleksitas masalah yang terjadi di Papua dan Freeport. Desain pembangunan Papua juga sudah digagas pemerintah. Hanya saja, Jokowi kurang menyadari bahwa perusahaan tambang Freeport potensi besar dijadikan komoditas bisnis orang-orang terdekatmya, seperti Sudirman Said dan Jusuf Kalla.

“Waspada maling di rumah sendiri”

Ironi diatas, harus disikapi dengan serius. Jokowi harus memastikan bahwa pepanjangan kontrak Freeport berjalan dengan transparan dan akuntabel. Jika tidak, dapat dipastikan, komitenan Jokowi membuka lapangan kerja dan memberi kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan pengelolaan SDA di Papua hanya omong kosong saja.

Yang kedua, harapan masyarakat Papua mengenai ketegasan terhadap pelanggatan HAM yang kerap terjadi di Bumi Papua. Kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014, Penembakan 2 anggota Brimob dan seorang Security di kawasan Tambang Freeport Desember lalu, hanyalah salah satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi selama ini. Jokowi sendiri pernah menyampaikan komitmennya untuk mencegah agar kasus penembakan seperti itu tidak terulang lagi di masa depan. Bagi Jokowi, mendengar dan berdialog merupakan cara yang akan digunakannya sebagai fondasi membangun Papua yang damai-sejahtera. (baca: Jokowi Harapan Papua http://bit.ly/1s8fqmT)

Angin segar yang dihembuskan Jokowi ini mendadak menjadi “sesak” dengan diangkatnya  Maroef Sjamsuddin sebagai presiden baru Freeport-Maroef berasal dari latar belakang militer dan tidak memiliki pengalaman di industri pertambangan--Seperti kita ketahui, terpilihnya Maroef Sjamsuddin karena kemauan Jusuf Kalla. Hadirnya Wakil Kepala BIN 2011-2014 ini di Papua sebagai tanda kembalinya sejarah kelam pembangunan Papua melalui pendekatan militeristik. Dimana, pendekatan tersebut yang menjadi bibit munculnya tindakan-tindakan masyarakat melakukan tindakan protes dengan cara-cara keras dalam menyelesaikan ketidak adilan yang terjadi disana. Dimana Jokowi? (baca : Presdir Baru Freeport Dikhawatirkan Bawa Gaya Militeristik http://bit.ly/1xTx7r6)

Jelas-jelas, situasi ini tidak sejalan dengan upaya menciptakan perdamaian di Papua melalui dialog yang dicanangkan Jokowi sejak awal. Jokowi harus mendengar reaksi masyarakat dan berani bertidak tegas mengambil keputusan penting. Jangan sampai, Jokowi makin kehilangan kepercayaan publik karena tidak mampu mengambil momentum penting dan bertindak tegas dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Komitmen Presiden untuk membangun Tanah Papua dengan damai ini merupakan momentum untuk merubah semua pendekatan yang selama ini salah termasuk halnya dalam melakukan renegosiasi Kontrak Karya PT. Freeport.  Jokowi harus memastikan perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport bermanfaat bagi rakyat Papua khususnya dan Indonesia secara umum.

#SavePapua




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline