"Menurut Edhi Sunarso, mitos tersebut bukan berdasar kajian ilmiah. Beliau mengatakan bahwa tidak ada indikasi seperti itu, patung itu menurutnya merupakan gambaran untuk memimpin penerbangan Indonesia agar lebih maju, karena patung Dirgantara berada di belakang markas AU. "
Sumber: http://www.komunitashistoria.com/article/2015/09/02/8-hal-yang-perlu-diketahui-tentang-patung-dirganta/
Mochtar Lubis (2001: 27) menyatakan bahwa salah satu ciri utama manusia yang bertanah air Indonesia atau disebut manusia Indonesia, adalah masih percaya takhyul (mitos). Nyaris tidak ada satu pun hal yang luput dari sematan mitos, tidak terkecuali patung Pancoran. Sosok lelaki berotot kekar dengan tangan kanan terulur ke depan seolah menunjuk arah tertentu, menghadirkan mitos "ujung jari", yaitu lima jari sejajar yang seolah menunjuk arah tertentu. Arah yang ditunjuk ujung jari diyakini oleh sebagian kalangan sebagai penunjuk lokasi kekayaan rahasia atau harta karun milik Bung Karno.
Pertanyaan klise paragraf di atas adalah, "Apakah benar mitos 'ujung jari' menunjukkan harta karun Sang Proklamator?"
Jawabannya terletak pada pernyataan Bung Karno, "Aku tidak semata-mata membuat monumen itu untuk tujuan lain, kecuali menghargai perjuangan bangsaku, bangsamu, bangsa Indonesia", ujar Bung Karno kepada pematung (patung Pancoran) Edhi Sunarso (Farid, 2012: 54). Apabila diperhatikan dengan seksama terdapat benang-merah antara mitos "ujung jari" dan pernyataan Bung Karno. Keduanya menekankan bahwa "terdapat sesuatu yang amat berharga, yang tidak diperoleh 'dengan cuma-cuma." Kata 'menghargai' dan 'harta karun' mewakili penekanan tersebut. Oleh karena itu, mitos "ujung jari" dapat digolongkan sebagai sistem komunikasi, karena secara tidak langsung menyampaikan pesan melalui simbol-simbol --antara lain: ujung jari, harta karun-- yang penuh makna namun tidak dapat dibuktikan kebenarannya (Barthes, 1983: 122).
Aspek 'harta karun' pada mitos "ujung jari" memang tidak memiliki sumber (catatan) otentik, sehingga menarik untuk ditafsirkan secara intertekstualitas (relasi di antara 'teks' (konteks/makna) tertentu dengan teks-teks lain (Culler, 1982: 139)). Intertekstualitas adalah transposisi (konversi makna) dari satu atau beberapa sistem tanda kepada sistem tanda yang lain dengan disertai oleh sebuah artikulasi baru (Budiman, 2003: 87). Namun, sebelum masuk aspek intertekstualitas, mitos "ujung jari" dan "lokasi harta karun Bung Karno" harus dipahami terlebih dahulu sebagai pemaknaan konotasi(pemaknaan teks secara konotasi yang sudah menguasai seluruh atau sebagaian masyarakat, akan menjadi mitos (Hoed, 2011: 5)).
Secara denotasi, 'arah jari' merupakan bagian dari tangan yang menjulur. Tangan (yang menjulur) merupakan salah satu bagian tubuh patung Pancoran atau yang memilki nama asli, patung Dirgantara. Patung Dirgantara dirancang menghadap ke utara (Farid, 2012: 52), dan sebagai halnya terlihat pada gambar 1, posisi tangan terkhusus 'arah jari' yang relatif sejajar dengan condongan badan sosok laki-laki bertelanjang dada, dengan seuntai kain terjuntai di bagian bahu dan pinggulnya.
Aspek denotasi --sebagai bentuk anti-mitos-- juga diperkuat oleh pernyatan Edhi Sunarso di bawah judul 'Sang Manusia Terbang Pancoran.' Inti pembangunan patung Dirgantara adalah keinginan Bung Karno untuk membuat 'identitas' baru bagi kota Jakarta. Sebuah patung yang menggambarkan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa.
Patung yang juga sebagai tanda penghormatan para pahlawan penerbang Indonesia yang direpresentasikan melalui figur wayang Gatotkaca yang sedang mental bentala, atau menjejak bumi, sebelum mengangkat tubuhnya terbang ke angkasa (Farid, 2012: 51). Dengan demikian, ikhtisar lima paragraf di atas adalah: "Mitologi 'arah' dari "ujung jari" yang sesungguhnya adalah perwujudan riil dari visi Presiden Soekarno mengenai kedigdayaan dirgantara(KBBI dalam jaringan: Ruang yang ada di sekeliling dan melingkupi bumi, terdiri atas ruang udara dan antariksa) Indonesia."
Pemaknaan unsur-unsur dapat ditelusuri berdasarkan dua premis berikut. Premis pertama, arah "ujung jari" adalah tujuan (visi) Bung Karno atas kemajuan dirgantara Indonesia menunjuk ke arah utara. Premis kedua, letak patung Dirgantara tepat di depan Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) yang notabene pusat ke-dirgantara-an Indonesia di masa pembangunannya. Jadi, terdapat "sesuatu" atau "tempat tertentu" di arah utara yang terkait dengan keistimewaan angkatan udara, yang tidak lain adalah kepemilikian pesawat terbang.
Singkatnya, lahan harta karun Bung Karno adalah Bandar Udara Internasional Kemayoran (Kemayoran International Airport). Konektivitas tersebut dapat dibuktikan melalui gambar 2 pada lampiran gambar. Akan tetapi, boleh dikatakan pula patung Dirgantara juga adalah Presiden Soekarno itu sendiri. Pose patung Dirgantara dicontohkan langsung oleh Bung Karno sendiri. Hal inilah yang memperkuat adanya konektivitas patung dengan pencitraan yang hendak dibangun Bung Karno.
Bandar udara Kemayoran didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1934, dan selesai pada Juli 1940. Patung Dirgantara dibangun sekitar tahun 1964-1965, yaitu bertepatan dengan momentum 20 tahun Indonesia merdeka. Dengan demikian, bandar udara Kemayoran se-umur-an dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu menginjak usia ke 25 tahun, seakan-akan mereka (kemerdekaan dan bandar udara) saling beriringan menyongsong babak baru Indonesia setiap tahunnya.