Lihat ke Halaman Asli

Seperti Apa Rasanya Menderita Depresi Psikotik?

Diperbarui: 18 Januari 2018   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hai teman-teman, saya ingin menceritakan pengalaman saya sendiri mengenai penyakit mental yang saya alami. Jadi, sebelumnya saya menderita gangguan jiwa yang cukup kronis, yaitu depresi berat dengan gejala psikotik. Gangguan jiwa apa itu? Yaitu kondisi di mana seseorang mengalami depresi pada tingkat yang sangat berat juga disertai dengan gejala-gejala psikosis. 

Psikosis sendiri itu yakni seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan, ia bisa mengalami delusi, halusinasi, pikiran tumpul, tidak ada emosi, kesulitan berkomunikasi dengan orang, tidak mampu memperhatikan kebersihan dirinya, gerakan melambat, tidak tertarik untuk melakukan apa pun. Mirip seperti seseorang yang menderita gangguan jiwa Schizophrenia namun disertai dengan mood depresi. Buat yang tidak tahu Schizophrenia itu apa, kalian bisa tonton film berjudul A Beautiful Mind, persis seperti itu. Ya jadi itu lah penyakit yang saya alami. 

Jadi gampangnya saya saat itu menjadi tidak waras alias gila. Ya betul tidak waras. Karena pada saat itu saya tidak mampu lagi berpikir, bahkan untuk merespon pertanyaan dari orang saya tidak mampu dan hanya mampu menjawab dengan terbata-bata dan hanya mengulang-mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang itu.

Tatapan saya kosong, saya tidak dapat merasakan lagi emosi. Saya mengalami kebingungan luar biasa, tidak tahu harus melakukan apa, tidak dapat membuat keputusan, di kepala saya seperti banyak pikiran yang berputar-putar tidak dapat saya hentikan, seperti rasanya dicampur aduk. Yang terparah dari penyakit itu adalah saya mengalami insomnia kronis, saya tidak dapat tidur total, dan di saat saya mencoba tidur saya mengalami delusi-delusi yang menakutkan sehingga saya selalu terbangun dan tidak bisa tidur. 

Delusi itu sendiri adalah keyakinan akan suatu hal yang dianggap benar, walaupun pada kenyataannya belum tentu demikian. Jadi saya saat itu yakin bahwa saya telah melakukan kejahatan besar, sehingga saya sangat ketakutan ditangkap polisi dan dipenjara, kemudian saya yakin bahwa teman-teman saya terutama teman kantor telah menganggap saya orang jahat sehingga saya takut berkomunikasi dengan mereka. Di saat delusi tersebut muncul, saya sangat ketakutan dan di situ terbesit lah pikiran bunuh diri. Seolah-olah saya tidak dapat mengontrol diri saya untuk melakukan bunuh diri, badan saya seperti auto-pilot untuk melakukan bunuh diri. 

Di situ saya tidak bisa diam dan sempat bilang ke orang tua saya mau bunuh diri, kemudian saya naik ke lantai tiga rumah saya, naik ke atas teras untuk melompat. Di situ saya terus berdelusi tidak berhenti sampai saya ingin menaiki genteng, namun akhirnya papa saya menemukan saya ada di atas dan menuntun saya turun dan kemudian mendoakan saya.

Saya bingung harus melakukan apa saat itu, karena berdiam diri di kamar tidak mungkin, pikiran di kepala saya seperti kejar-kejaran tidak berhenti yang saya sendiri tidak tahu mau nya apa. Kemudian saya mencoba untuk melakukan hal lain seperti bermain game, tapi sia-sia, pikiran saya terlalu kacau, saya sempat mencoba bermain game seperti Counter-Strike, namun untuk mengeker musuh saja saya kesulitan. Sehingga bermain game pun tidak mungkin rasa nya. Kemudian saya mencoba menonton video komedi seperti acara Cak Lontong, Waktu Indonesia Bercanda. Sempat saya terhibur sedikit, namun saya tidak dapat menontonnya secara penuh, seperti ada gangguan di otak saya yang menyebabkan saya tidak dapat fokus dan akhirnya pikiran-pikiran negatif itu terus bermunculan di otak saya menyebabkan saya tidak dapat diam menontonnya.

Mau mencoba bersosialisasi juga tidak mungkin, mau ngobrol dengan orang tua saja sulit rasanya, apalagi berinteraksi dengan orang luar, jadi di saat itu saya hanya bisa terdiam sambil mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang lain. Bahkan ucapan orang lain itu pun tidak dapat dicerna oleh saya, hanya tiga-empat kata yang masuk ke dalam otak saya, selebih nya lewat begitu saja. Orang tua saya pun bingung dengan apa yang terjadi pada saya. Mama saya sempat kesal dan melihat saya seperti orang yang terkena Alzeimer. Papa saya juga kebingungan dan sedih. Karena saya juga tidak dapat tidur, maka semakin menjadi-jadi lah sakit yang saya derita. 

Kemudian saya pergi ke psikolog di RSPI Puri Indah, di situ saya bertemu dengan psikolog dan saya menceritakan masalah yang saya alami dengan tulisan, karena saya tidak sanggup lagi bercerita membicarakan masalah yang saya alami. FYI, psikolog hanya memberikan konseling tanpa memberikan obat. Saat saya beranjak pergi ke psikolog itu, di tengah jalan saya mengalami delusi lagi, di mana saya yakin bahwa sebentar lagi orang-orang di sosial media akan tahu bahwa saya telah melakukan kejahatan luar biasa, yaitu seperti bom waktu, di mana akhirnya semua orang akan tahu bahwa saya merencanakan kejahatan besar yang akan ketahuan sebentar lagi dan mereka akan tahu bahwa saya telah gila.

Sesampai nya di sana, psikolog tersebut memberikan konseling yang mampu membuat saya sedikit lega, ia bilang bahwa saya tidak apa-apa, dan ia mencontohkan saya dengan memberikan saya bandul yang harus saya pegang, dan saya harus menggerakan bandul tersebut dengan mengucapkan kata-kata seperti bergerak ke kiri, bergerak ke kanan, ke atas dan ke bawah, maka bandul tersebut akan bergerak sendiri nya tanpa tangan saya harus menggerakannya. Ia bilang jika saya tidak dapat menggerakan bandul tersebut, saya harus pergi ke psikiater, namun saya bisa menggerakannya sehingga ia mengatakan saya tidak apa-apa. Ia juga memberikan nasehat-nasehat yang harus saya lakukan untuk dapat berpikir positif. 

Konseling tersebut  mampu membuat saya lebih tenang dan lega sedikit, dan dapat dengan sementara menghilangkan pikiran-pikiran negatif saya. Namun saya masih merasakan hal yang memang benar-benar sulit saya lakukan, yaitu berpikir jernih. Saya benar-benar kesulitan untuk membuat keputusan. Dari situ saya berpikir apa mungkin saya tidak apa-apa, tapi berpikir saja saya sulit. Sampai malam pun tiba, saya pun kembali tidak dapat tidur, dan saya harus tidur ditemani oleh papa mama saya, karena saya terlalu ketakutan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline