Oleh Andika Mongilala, SE. MM
Berbicara tentang peranan mahasiswa dalam proses perubahan masyarakat menuju tatanan demokratis, maka benak kita akan melayang pada peristiwa di tahun 1966, 1978, dan 1998, dimana pada waktu itu peranan mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral, menunjukkan eksistensinya. Aktifitas dan gerakan mahasiswa kala itu memiliki kesamaan isu dan musuh, yaitu rezim yang otoriter dan eksploitatif. Kondisi tersebut menjadikan mahasiswa sebagai sebuah gerakan, mampu muncul menjadi kekuatan besar, sehingga mengutip Arief Budiman, bahwa cuma ada satu kata untuk menyebut gerakan mahasiswa waktu itu (1998), yaitu fantastis!
Pertanyaannya kemudian, bagaimana peranan mahasiswa dalam agenda suksesi, baik di tingkat daerah maupun nasional? Dalam konteks peranan mahasiswa, jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang bersifat spektakuler, adalah tetap sama, yakni menjaga/mengawal proses demokratisasi, hanya saja mungkin caranya yang berbeda. Kondisi ini disebabkan agenda suksesi kepemimpinan pemerintah seperti Pemilu, Pilpres dan Pilkada, mahasiswa tidak berhadapan dengan rezim yang otoriter atau yang kesewenangan-wenang. Mahasiswa yang dihadapkan pada situasi ini, relatif tidak memiliki “musuh” bersama. Oleh karena itu mahasiswa memiliki peran tersendiri yang berbeda ketika mahasiswa berhadapan dengan penguasa.
Ada beberapa peran yang dapat dijalankan oleh mahasiswa dalam proses Pilkada langsung di Sumbar, baik itu sebagai individu maupun organisasi. Peran tersebut adalah:
1. Mengawal Proses Pelaksanaan Pilkada Langsung
Mahasiswa mempunyai peran strategis dalam pengawalan proses pelaksanaan Pilkada bersama aktivis-aktivis masyarakat sipil lainnya, seperti: LSM, Akademisi, Pers, dan Ormas/ OKP. Peran ini diambil, karena mahasiswa merupakan kekuatan masyarakat sipil yang bersifat independen, objektif, dan berlandaskan pada aspek moralitas. Oleh karena itu, pengawalan terhadap proses Pilkada langsung merupakan peran yang strategis untuk dijalankan oleh mahasiswa.
Peran pengawalan terhadap proses pilkada dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai individu maupun oelh lembaga-lembaga mahasiswa, seperti: lembaga intern kampus, lembaga ekstern kampus, dan organisasi mahasiswa kedaerahan. Adapun jalan yang bisa sekiranya ditempuh oleh mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan dalam melakukan peranannya dalam mengawal proses pilkada, antara lain: diskusi, seminar, opini publik, artikel/tulisan di media massa, penyataan sikap, dan demonstrasi.
2. Pendidikan Politik Kepada Masyarakat
Pendidikan politik pada masyarakat dilakukan sebagai wujud tanggung jawab mahasiswa kepada masyarakat. Adapun wujud dari peran ini adalah adanya agenda mahasiswa seperti: bedah visi dan misi calon kepala daerah, melakukan kajian terhadap kapasitas dan integritas calon kepala daerah, membuat kriteria calon kepala daerah versi mahasiswa atau membuat nota kesepakatan dalam bentuk kontrak politik kepada calon kepala daerah.
Target dari agenda-agenda ini adalah, masyarakat dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, bukan berdasarkan kharismatik semata. Dalam pelaksanaan peran ini, etika yang harus dibangun oleh setiap organisasi mahasiswa adalah sikap objektifitas dan akuntabilitas. Objektifitas yang dimaksud ialah pembedahan visi/misi, pembuatan kriteria calon kepala daerah,
dilakukan dengan tanpa disusupi oleh kepentingan politik praktis. Hal ini penting, sebab mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral, mesti bersikap netral dan berpihak kepada masyarakat luas.
Sedangkan akuntabilitas, adalah penilaian yang diberikan oleh sebuah organisasi mahasiswa, yang harus bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya, artinya, bila mahasiswa menilai seorang kepala daerah yang terindikasi melakukan tindak penyelewengan kekuasaan maka data dan fakta yang disampaikan harus dapat dibuktikan, bukan sekedar isu belaka, sehingga kepercayaan masyarakat tetap besar terhadap gerakan mahasiswa.
3. Masuk sebagai Tim Pemenangan Calon Kepala Daerah
Keterlibatan mahasiswa dalam tim pemenangan calon kepala daerah, bukanlah sebuah hal yang baru dalam dinamika kemahasiswaan. Contoh yang paling dekat adalah Pada Pemilu dan Pilpres 2004, dimana banyak ditemui aktivis mahasiswa yang menjadi tim sukses dari calon anggota DPR/DPRD, DPD maupun calon presiden. Ada beberapa pertimbangan dasar ketika mahasiswa mengambil peran ini :
a)Mahasiswa, sebagai individu masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap proses politik, baik saat pencoblosan maupun dalam menentukan sikap untuk mendukung pasangan calon kepala daerah tertentu.
b)Ikut dalam tim pemenangan calon kepala daerah merupakan political process bagi mahasiswa itu sendiri. Political proses ini adalah bentuk pengaktualisasian kemampuan diri dari mahasiswa itu sendiri sekaligus wadah pembelajaran dalam ruang lingkup politik praktis.
Munculnya mahasiswa dalam arena tim pemenangan calon kepala daerah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak bahkan dari kalangan mahasiswa itu sendiri. Kekhawatiran tersebut adalah, antara lain:
Pertama, mahasiswa akan mudah diperalat dan ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kedua, saling dukung mendukung calon kepala daerah akan memperlemah gerakan mahasiswa. Karena, kemungkinan akan terjadi suatu keadaan di mana sekelompok mahasiswa menyatakan dukungannya kepada calon si A, sementara kelompok mahasiswa yang lain menyatakan mendukung si B, si C dan seterusnya. Hal ini tentu akan berakibat memperlemah persatuan di kalangan mahasiswa itu sendiri, mahasiswa akan terkotak-kotak dan dengan sendirinya mahasiswa akan mudah untuk diadu domba dan dipecah belah.
Beberapa point kekhawatiran diatas, besar peluangnya untuk terjadi. Namun keikutsertaan mahasiswa dalam tim pemenangan calon kepala daerah, tetap memiliki aspek positif bagi mahasiswa tersebut. Oleh karena itu perlu dirumuskan etika bersama sebagai panduan normatif, menyikapi adanya ambivalensi tersebut, yaitu:
1.Hendaknya kapasitas mahasiswa yang ikut dalam tim pemenangan itu, adalah sebagai individu, bukan mengatasnamakan organisasi kemahasiswaan tertentu.
2.Individu mahasiswa yang ikut dalam tim pemenangan, hendaknya bukanlah mahasiswa yang dalam struktur organisasinya berperan sebagai decision maker, seperti: ketua umum, ketua bidang/divisi/departemen. Hal ini untuk menjaga netralitas organisasi mahasiswa tersebut.
3.Individu-individu mahasiswa yang tergabung dalam tim pemenangan calon kepala daerah hendaknya tidak terjebak kedalam praktek-praktek politik yang tidak bermoral, seperti: money politic, politik dagang sapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H