Agaknya keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus ditinjau ulang. Pengawasan dan tindakan yang dikakukan KPI dirasa tidak optimal. Meski sudah melakukan usaha untuk mengoptimalkan peran dan fungsi, namun hal yang dilakukan itu jauh dari efektif. Bukan dapat memberikan efek jera atas sanksi yang diberikan, KPI seolah jadi lembaga yang selalu kucing-kucingan dengan lembaga penyiaran, khususnya stasiun televise yang menayangkan tayangan jauh dari larangan KPI (bandel).
Tak perlu mengupas, apa sebenarnya fungsi KPI. Karena kita sudah barang tentu tau subtansi kehadiran lembaga negara ini. di antaranya adalah untuk menertibkaan program-program televisi atau radio yang dianggap tidak layak untuk di dengar, di baca atau di tayangkan.
KPI selalu mengeluarkan “senjatanya” ketika ada siaran yang dianggap tidak pas. Senjata itu berupa teguran tertulis hingga pemberhentian tayangan. Lalu KPI seolah puas dengan tindakannya itu. Paling tidak sudah berupaya untuk menertibkan tayangan/siaran yang tidak layak.
Namun apa hal, tak tau apa sebab. Semakin dilarang, program – program itu malah main menjadi-jadi, malah menjamur tak karu-karuan. Program-program itu seolah sudah menyakinkan KPI, bahwa yang dilakukannya itu hanya hiburan semata, bukanlah hal yang serius. Program-program itu lalu meneruskan tayangannya hingga benar-benar mendapatkan sanksi.
Lalu, setelah mendapatkan teguran, mereka justru mencari alternative lain untuk meneruskan program tersebut, meski dengan kemasan yang berbeda tapi tak menjauhkan subtansi yang ada. Apa boleh buat, mereka sudah melakukan kontrak dan sudah mengatur jadwal tayang.
KPI pun tak ada solusi tentang hal itu. Lembaga yang komisionernya diseleksi ketat oleh DPR ini hanya bisa menegur dan menghentikan tanpa ada solusi kongkrit terkait tayangan yang sudah terlanjur teken kontrak. Hingga akhirnya mereka malah mengakali dan mencoba main kucing-kucingan.
Selain itu juga, jika diperhatikan dari “prestasinya” KPI seolah selalu bangga dengan apa yang sudah dilakukan yakni menegur atau pemberhentian tayangan. Mereka merasa sudah menjalankan tugas dengan maksimal dengan jumlah sanksi yang telah diberikan. Semakin banyak sanksi yang diberikan semakin berhasil pula lembaganya.
Senantiasa Belajar.
KPI sudah melakukan teguran pada siaran langsung pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang dianggap melanggar karena telah menayangkan program siaran langsung selama dua hari . KPI berdalih program tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran(P3-SPS). Lalu KPI meminta agar tidak menayangkan ulang (re-run) serta tidak mengulangi kesahalan yang sama untuk program sejenis atau program sejenis lainnya.
Kita tentu berharap teguran ini bukan semata-mata teguran, tetapi juga di perhatikan untuk dijalankan. Tapi coba lihat ke belekang. Begitu banyak program pernikahan yang ditayangkan dengan durasi panjang di media televisi dan saat itu KPI pun sudah menegur.Apa boleh buat, KPI hanya bisa menegur belum dapat menindak sehingga program yang sama kembali tayang.
Tak hanya itu, banyak program lainnya yang justru “membandel” dengan teguran KPI. Sehinga tayangan itu terus bermunculan.
Utamakan Pencegahan
Sejauh ini KPI selalu melakukan “senjatanya” dengan tindakan menegur dan menghentikan tayangan dan tidak pernah melakukan cara lain untuk mengantisipasi agar tayangan yang melanggar tidak tayang lagi.
Ada cara mudah dan sering dilakukan aparat hukum dalam mencegah kejahatan, salah satunya adalah melakukan tindakan pencegahan. Dengan cara ini, paling tidak sudah menjadi teguran awal akan progam ditayangkan.
Stasiun Televisi dalam membuat program tidaklah sekali jadi, mereka tentu melakukan proses dan sebagainya untuk memantangkan sebuah program. Nah, dalam hal proses ini apakah KPI tidak dapat memantau kegiatan itu agar bisa dicegah?.