Setelah konflik PSSI-KPSI berlalu dan kompetisi kembali stabil, kini situasi yang kondusif kembali dirusak oleh oknum pemerintah. Untuk memajukan sepakbola, dibutuhkan situasi yang kondusif, normal, dan tidak ada konflik sama sekali. Bayangkan saja, apabila iklim sepakbola kita carut marut, apakah bisa membangun sepakbola ke arah lebih baik??? Orang yang waras pasti bisa menilainya. Kecuali oknum INDON yang berjiwa babu pasti mengatakan kalau PSSI perlu direvolusi lantaran tidak memiliki prestasi. Dipenuhi mafia, dan tidak transparan.
Logikanya, prestasi dibangun melalui situasi yang kondusif bukan memantik konflik. Kalaupun ada oknum INDON yang mengatakan nihil prestasi, saya rasa pernyataan itu adalah bohong besar. Tidak ingatkah ketika timnas berhasil menjuarai piala AFF U19 ??? sudah lupakah kita tentang prestasi Persipura yang berhasil masuk semifinal piala AFC??? Atau lupakah kita beberapa waktu yang lalu, kita meributkan klub-klub ISL yang menggunakan dana APBD tapi sekarang kebiasaan itu sudah ditinggalkan??? Bukankah itu sebuah prestasi??? Dukungan kepada Menpora hanyalah sebuah dukungan untuk menghancurkan sepakbola Indonesia oleh sekelompok orang yang memiliki dendam kesumat lantaran dia ditendang dari PSSI karena kegagalannya menjalankan kompetisi yang “katanya” profesional.
Pembekuan PSSI oleh Menpora hanya dilatarbelakangi masalah politik. Dulu, sempat para INDON meributkan masalah sepakbola yang dicampuradukkan dengan politik, walau belum ada fakta yang jelas tapi INDON-INDON keblinger tetap menyatakan PSSI sudah dikotori politik. Mereka ribut dengan cacian-cacian kepada PSSI. Tapi sekarang, sudah jelas Menpora membawa PSSI ke ranah politik, malah dibela mati-matian. Inilah sikap sejati INDON yang berjiwa babu seperti yang ditunjukkan oleh Arek Bonek 1927. alasan Cuma satu, mafia sudah menguasai PSSI, ketika ditantang mana mafianya, mereka tidak bisa menjelaskan secara gamblang.
Pembekuan PSSI tidak serta merta membekukan ISL. Menurut Imam “Thagut” Nahrowi, ISL tetap berjalan dengan supervisi KONI/KOI serta Asprov. Serta didukung dengan tim transisi yang akan dibentuk oleh Menpora. Tim transisi ini, “katanya” akan diisi oleh orang-orang yang benar-benar bersih. Namun kata bersih yang dimaksud belum jelas. Karena indikasi Menpora menyertakan para “barisan sakit hati” sangat besar. Hal ini diperkuat dengan kedekatannya pada orang-orang BOPI. Sebagaimana yang telah kita maklumi bersama, BOPI sangat identik dengan Jenggoloisme. Jadi jelas sekali bahwa maksud dan tujuan Menpora mengobok-obok PSSI, menghancurkan PSSI, membuat konflik, memantik perpecahan karena ingin menempatkan ortang-orang LPI di PSSI dan bukan karena dorongan ingin memajukan sepakbola Indonesia. Sepakbola Indonesia adalah pasar yang sangat potensial, jadi Menpora saat ini sedang bekerja untuk “sang big bos”, bukan untuk masyarakat.
Tim transisi (baca : tim pesanan) ini akan bekerja membawa misi membuka borok PSSI, dengan dalih adanya mafia di sepakbola Indonesia. Lewat tim transisi, sang big bos dapat mengontrol PSSI sesuka hatinya. Dan bukan tidak mungkin pembentukan liga yang baru akan segera terwujud. Dengan demikian, kisruh PSSI jilid kedua muncul. Inilah yang ditakutkan oleh pencinta sejati sepakbola nasional, karena tidak dipungkiri luka akibat kisruh LPI-ISL belum benar-benar sembuh. Disinilah kebiadaban Menpora terlihat jelas.
Sebagai pejabat publik, sebaiknya Menpora bijaksana menyikapi masalah sepakbola Indonesia. Menjaaga kredibilitas di mata jutaan masyarakat Indonesia lebih penting ketimbang membela kepentingan sekelompok minoritas. Tengoklah Menkumham yang saat ini seolah-olah menjadi “keset” lantaran dirinya dianggap memelintir hasil sidang mahkamah partai Golkar. Saat ini kredibilitas Yasonna Laoly sudah tenggelam. Mayoritas masyarakat tidak lagi mempercayai menteri bidang hukum itu. Nahhhhh.... jangan sampai Menpora bernasib sama dengan Menkumham yang dipermalukan di pengadilan. Saya rasa, jika masalah pembekuan PSSI dibawa ke ranah hukum, besar kemungkinan PSSI akan memenangkan perkara ini, mengingat PSSI memiliki induk organisasi FIFA dan FIFA mengakuinya. Selain itu, posisi PSSI diperkuat dengan UU SKN yang mengatur sistem keolahragaan kita. Salah satu pasal UU SKN disebutkan kalau Menpora tidak memiliki kewajiban untuk membekukan organisasi profesional. Kita tahu selama ini Menpora menggunakan Perpres sebagai landasan hukum, kalau dilihat dari hirarki peraturan perundang-undangan republik Indonesia, derajat UU lebih tinggi ketimbang Perpres. Faktor lain adalah Menpora tidak melibakan KONI secara langsung dalam membekukan PSSI, padahal KONI lah yang memiliki hubungan langsung pada PSSI bukan Menpora atau BOPI.
Akhirnya, jelaslah bagi kita kalau tindakan terkutuk Menpora dilakukan secara seenak perutnya sendiri. Menpora menggunakan kekuasaan untuk menghancurkan organisasi yang tidak sejalan dengan kepentingan kelompoknya. Hanya Indon-Indon yang berjiwa babu lah yang mendukung Menpora.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H