Lihat ke Halaman Asli

Senandung Ney

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DI sore itu seorang gadis mengenakan tank top berwarna hitam dengan rok mini batik khas kota Belitar. Ia berjalan tepat di hadapanku sesekali menerka rambutnya yang terkuncir kuda, sedikit pirang warna rambutnya. Saat itu aku baru selesai membeli sebotol air di warung pinggir jalan, mataku tidak berkedip melihat setiap lekukan pada tubuh gadis itu.

Pada waktu bersamaan, kulihat sapu tangan gadis itu terjatuh dari dalam tas kecilnya.

“Ehmm... hay... nona,” kupanggil gadis itu tiga kali tanpa menyebutkan nama. Namun gadis itu  tidak mendengar teriakanku, ia terus melangkah mendekati mobil mewah yang parkir di simpang tiga Jl. A. Yani. Rupanya ia sedang ditunggu seorang pria paruh baya mengenakan jas hitam berdasi. Dari penampilan pria tersebut seperti pengusaha di salah satu perusahaan ternama di kota ini.

Kuambil sapu tangannya dan mencoba menanyakan siapa gadis ber rambut pirang itu kepada penjaga toko tempatku membeli air.

“Ibu tahu perempuan yang baru saja lewat di depan sini,” tanyaku.

“Oh itu, iya tahu. Kenapa Nak?”

Nggak kenapa Bu, kalau boleh tahu siapa perempuan itu?”

“Dia sering di panggil Ney, Ibu kurang faham siapa nama lengkap Ney itu,”

“Oh, iya Bu. Trimakasih,”

Aku penasaran dengan gadis itu. Wajahnya cantik, putih, matanya lebar, seksi lagi, tapi kenapa gadis itu pergi bersama pria tua itu. Apa pria tua itu ayahnya, kalau memang banar ayahnya kenapa nunggu di pinggir jalan. Atau pria tua itu saudaranya, kenapa tidak datang langsung ke rumahnya. Lalu siapa Ney itu dan ada hubungan apa dengan pria tua itu. Atau jangan-jangan Ney itu, ah nggak boleh berburuk sangka kepada orang lain, apalagi aku baru pertama ketemu Ney.

Hari mulai gelap, aku duduk di balkon rumah memainkan gitar, satu lagu, dua lagu, tetap tidak bisa membuatku terhibur. Semua serasa senyap meski kulihat lalulalang manusia yang melintas di depan rumah. Tanpa sengaja saat hendak mengambil hanphon di saku celanaku, sapu tangan Ney yang kutemukan tadi sore mengingatkanku lagi kepadanya. Kucoba meraihnya dan kulihat ada tulisan dengan benang emas ‘Suling’. Aku tak habis pikir kejadian beberapa jam yang lalu, kini kutemukan lagi kejanggalan pada saputangan Ney yang bertuliskan ‘Suling’, semakin kiat membuatku penasaran.

Satu minggu kemudian aku kembali mendatangi toko tempatku membeli air tempo hari. Ada rasa ragu ketika ingin menanyakan keberadaan Ney kepada Ibu penjaga toko itu. Akhirnya aku pura-pura membeli makanan.

“Beli kue Bolu tiga biji Bu,”

“Tunggu sebentar ya,”

“Iya Bu,” ujarku. Ibu itu nampak sedang memasukkan kue pesananku ke dalam plastik.

“Ini Nak kuenya,” kata Ibu itu sambil menjulurkan plastik berisi kue kepadaku.

“Loh, Sampean yang pernah menanyakan gadis bernama Ney waktu itu pada Ibu?” tanya Ibu pemilik toko tiba-tiba.

“Iya benar, kenapa Bu,” tanyaku penasaran.

“Sudah satu minggu Ney itu wira-wiri di depan sini. Sepertinya sedang mencari sesuatu, tapi Ibu tidak tahu apa yang sedang ia cari. Mukanya begitu sedih, tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Sampean tahu apa yang sedang Ney cari Nak?”

Seperti tersambar petir di siang bolong mendengar pertanyaa Ibu itu, tidak ada angin, tidak ada hujan, keringat dingin, muka yang muram, jantung berdegup tak imbang, semua menyatu dalam diriku.

Nggak tahu Bu. Di mana rumah Ney Bu,” sedikit terbata-bata suaraku.

“Lurus saja ikuti jalan ini, ada rumah sendirian yang masih belum dikuliti, itu rumahnya Nak.”

“Trimakasih Bu, saya pamit dulu,”

Kudatangi rumah Ney mengikuti petunjuk Ibu itu. Sepintas aku tidak percaya melihat rumah yang berantakan, tak terawat, kayu-kayu penyangganya lapuk dimakan usia, lantainya separuh berlubang, itu ruamah Ney. Apa tidak salah Ibu itu memberi alamat rumah Ney kepadaku, masa sih ini rumah gadis cantik itu.

“Permisi, selamat siang,”

Tak ada yang menghiraukan pertanyaanku, akhirnya kuberanikan diri masuk ke dalam rumah kumuh itu.

“Permisi, ada orang nggak,”sesekali kusingkap tirai yang nampak kusam.

“Ya Tuhan, Ney, Ney, bangun Ney,” kudapati Ney tergeletak tak bernyawa di kamar tidurnya. Tak kutemukan tanda-tanda penganiayaan pada Ney, hanya botol kecil berisi pil tak bermerk di samping kepala Ney, dan sedikit busa yang keluar dari mulutnya.

“Tolong, tolong,” teriakku keluar rumah Ney. Satu persatu tetangga berdatangan melihat Ney terbujur tak bernyawa.

“Langsung bawa ke rumah sakit saja,” ujar bapak berkumis tebal.

Para tetangga membawa Ney ke rumah sakit untuk diotopsi, ketika itu aku tidak ikut ke rumah sakit. Pikirku, aku ingin menemukan tanda-tanda lebih dalam lagi tentang kematian Ney. Ketika hendak kutinggalkan kamar Ney, kulihat secarik kertas di atas meja Ney.

Maaf Ibu.

Kejadian itu,17 tahun yang lalu adalah pengalaman pahit bagiku, begitu sulit aku menerimanya. Aku sangat menyayangkan takdir Tuhan yang menimpa keluarga ku.

Sepeninggalanmu. Aku tidak tahu ke mana kulabuhkan diriku yang tak berdaya, sanak saudara acuh melihatku kecil. Aku ingin ikut bersama saudara-saudara ku, tapi mereka saling lempar tidak ada yang mau menerimaku hidup bersamanya. Aku kecil tidak cukup satu, dua, tiga rumah tetangga yang aku datangi untuk sekedar mengharap kebaikan mereka. Sampai usiaku 19 tahun aku memberanikan diri merantau di Ibu Kota. Harapanku ingin memulai kehidupan baru, kehidupan yang akan kuperjuangkan demi cita-citamu yang disandangkan kepadaku.

Namun, harapan tinggallah harapan, keadaan di Ibu Kota membuatku terlena dengan berbagai macam tawaran, tawanan, dan uang.

Kau pasti kecewa melihat anakmu yang tak berguna, begitu juga arti sebuah nama yang kau berikan kepadaku ‘Ney’,  yang mempunyai arti paling tinggi dari deretan nama padaku. Sempat kubaca dalam buku sejarah tentang manusia. ‘Setiap orang mempunyai kehendak bebas dan kekuasaan mutlak dalam mencipta, berkarya, dan menghasilkan kreasi. Dengan begitu, seni sebagai pencapaian tertinggi, mengantarkan manusia kepada cara hidup yang lebih kreatif, imajinatif, inovatif, dan segala sesuatu yang hidup’. Meski engkau tak pernah cerita arti namaku, aku yakin tidak jauh makna ‘Ney’ dari pernyataan filsuf itu.

Kini aku memilih mengakhiri hidup ini, menyudahi episode luka yang terus mengerang. Hidup yang percuma. Maaf Ibu.

Kulipat surat terakhir Ney dengan mata berkaca-kaca, sekali-kali kupandangi lukisan yang tertata rapi di dinding kamar Ney. Lalu aku beranjak dari kamar Ney menuju penglihatan terakhirku sebelum perempuan ber rambut pirang itu dimakamkan. Dari sana kutahu senandung yang akan selalu ku kenang.

*Santri PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline