Lihat ke Halaman Asli

Andika NugrahaFirmansyah

Aktif di Sokola Sogan, Komunitas Belajar berbasis minat dan bakat.

Menyikapi Kisah Cinta Gen Z

Diperbarui: 4 Januari 2024   23:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi Penulis

Liburan sekolah di akhir 2023 kemarin ada sesuatu yang berbeda. Saya bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang yang sudah lama tidak bisa saya temui: anak-anak alumni. Sekarang mereka sudah dewasa. Mereka menemui saya di Sokola Sogan.

Sebagaimana biasanya dengan alumni-alumni lain, ketika bertemu kami menanyakan kabar, mulai dari teman-teman seangkatan, keluarga dan diri sendiri. Saya senang karena beberapa dari mereka masih menjalin komunikasi dengan teman-teman lama. Ada yang masih pusing kuliah, pusing mau kuliah, fokus mondok, menikah dan punya anak, dan segala macamnya. Alhamdulillah keluarga yang masih lengkap.

Untuk pertanyaan kabar mengenai diri mereka sendiri, saya selalu mengambil jeda waktu beberapa saat agar mereka kembali merasa nyaman. Sehingga bisa menemukan kembali 'kami' di masa lalu. Saya selalu menolak jawaban-jawaban permukaan seperti "Alhamdulillah sehat, Pak" , "Baik, Pak, Alhamdulillah" atau jawaban-jawaban semacamnya. Saya selalu melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam.

"Bagaimana hidup kamu?"

Kemudian mereka seperti yang sudah-sudah, menceritakan dari A sampai Z. Kemudian mereka menanyakan hal serupa kepada saya. Tentu saya juga ceritakan dari A sampai Z pula. Kita saling berbagi cerita untuk saling belajar.

Saya, secara pribadi, sudah tidak memperlakukan mereka sebagai murid saya. Mereka adalah orang dewasa. Walaupun masih ada dari mereka yang meminta nasehat-nasehat mengenai keadaan dan permasalahannya. Saya tidak bisa memberikan solusi. Saya hanya memberikan pandangan-pandangan dan berbagi pengalaman saja. Syukur jika itu bisa menjadi jawaban atas persoalan mereka.

Kebanyakan dari mereka berbagi cerita mengenai kisah cintanya. Kadang saya merasa aneh, karena sejak dulu, mereka sudah kerap mendengar bahwa saya melarang mereka untuk pacaran, apapun alasannya. Eits. Jangan protes dulu dengan saya. Walaupun sebenarnya tidak masalah juga kalau mau protes. Tapi saya punya alasannya.

Salah satunya, saya pernah marah besar dengan sebuah kejadian. Kami menyebutnya kasus 'Sego Ayam'. Singkatnya, anak perempuan dijadikan taruhan oleh anak laki-laki dengan hadiah sego ayam (nasi ayam). Iya, kalian tidak salah membaca. Sego Ayam seharga kira-kira Rp 15.000. Mungkin tambahan Rp 3.000 untuk es teh. Sialan.

Saya tidak habis pikir. Orang tua banting tulang untuk menghidupi dan membahagiakan putrinya, tapi perasaan anaknya dilombakan seharga Rp 18.000.

Tapi itu dulu. Sekarang, saya rasa cara semacam itu, mengekang anak-anak untuk tidak pacaran, sudah tidak efektif lagi. Karena saya tidak bisa memastikan bahwa anak-anak tidak pacaran dibelakang saya. Kemudian, dengan berkembangnya LGBTQ+, menjadikan saya semakin cemas saja. Tapi, mengijinkan anak-anak untuk pacaran juga beresiko pergaulan bebas. Lalu bagaimana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline