Lihat ke Halaman Asli

Ahok dan Brutus-Brutus di Sekitar Presiden Jokowi

Diperbarui: 20 November 2016   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seolah, konsolidasi politik dan kenegarawanan yang dilakukan Presiden Jokowi (sebelum dan paska aksi 4 November) ke ulama-ulama, pimpinan pesantren, tokoh masyarakat dan satuan-satuan TNI dan Polri, menjadi sia-sia. Ya menjadi sia-sia. Ahok dan pendukung-pendukungnya yang cukup dominan di sosial media justru terus memanaskan keadaan.

Padahal, paska Polri melakukan gelar perkara yang diamini telah memenuhi tuntutan publik dan arahan presiden Jokowi agar berjalan secara transparan dan profesional, tensi memanas di publik sudah mulai turun. Tensi sudah mulai mendingin. Tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan ormas Islam menyatakan bahwa biarkan proses hukum berjalan. Tuntutan Aksi 4 November terjawab. Saatnya menunggu proses hukum itu berlangsung hingga di pengadilan memutuskan

Namun apa daya. Publik kembali dibuat terbelalak. Menanggapi penetapan statusnya sebagai tersangka, Ahok justru kembali berulah. Ia kembali mengusik suasana. Ia dengan lantang menyamakan dirinya akan bernasib seperti Nelson Mandela.

Entah apa yang ada dalam bayangan Ahok ketika mempersamakan dirinya dengan Nelson Mandela yang menentang politik rasialisme di Afrika Selatan. Jelas, Nelson Mandela tak pernah punya imajinasi dalam pikirannnya untuk membunuh 2.000 orang di depan televisi untuk menyelamatkan 10 juta orang yang lain. Nelson Mandela bahkan juga tak memiliki sedikitpun bayangan dalam kepalanta untuk mengisi water canon dengan bensin ketika ia harus berhadapan dengan demonstrasi yang menentangnya.

Tak cukup dengan itu. Ahok seolah kembali menyiramkan bensin pada api yang telah mulai padam. Ahok secara serampangan menuduh aksi bela Islam 4 November 2016 dibayar 500.000. Apa sesungguhnya yang dimau oleh Ahok?

Saat itu, Ahok ternyata juga sedang mengungkapkan nafsu kuasanya untuk menjadi presiden RI. Apakah ini adalah bagian dari strateginya untuk kembali memberikan signal menekan kepada Jokowi? Karena memang Ahok cukup dikenal selalu berupaya untuk berada di sisi Jokowi ketika menghadapi persoalan krusial. Tentu kita ingat kuat dengan pernyataan Ahok tentang Jokowi bisa menjadi presiden karena dukungan pengembang Reklamasi.

Apakah itu benar? Kita tak tahu. Yang jelas, sekarang, Ahok sudah tak leluasa lagi bertemu Jokowi secara terbuka ketika menghadapi persoalan di DKI Jakarta.

Yang jelas terjadi adalah konsolidasi politik dan kenegarawanan yang dilakukan presiden Jokowi pada sebelum dan setelah aksi 4 November 2016, benar-benar digerus oleh Ahok.

Kini, tujuan kosolidasi politik dan kenegarawanan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk menenangkan dan mendinginkan situasi, sepertinya justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan balik posisi Presiden. Entah itu datang dari kudu Ahok ataupun pihak-pihak yang mencoba mengambil kesempatan di sekitar presiden Jokowi.

Kita sepertinya perlu kembali membuka memori kita saat jelang aksi 4 November 2016 kemarin. Secara mengejutkan pihak istana negara mengeluarkan data tentang proyek listrik yang mangkrak dari pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono. Disini, ada yang menduga bahwa kedatangan SBY ke rumah dinas Wapres JK sebelum aksi 4 November memiliki kaitannya dengan hal ini.

Nah sampai disini, kita mungkin bisa bisa bersepaham dengan ungkapan dari sebagian publik bahwa kini saat yang tepat untuk kembali ke visi misi pemerintahan yang sah ini, Trisakti dan Nawacita.  Biarkan Ahok mempertanggungjawabkan tindakapan politiknya yang justru menggerus kewibawaan negara yang telah disimpulkan Jokowi sebagai salah satu pokok persoalan bangsa ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline