Komersialisasi pendidikan kini menjadi isu global yang memengaruhi banyak negara di dunia. Transformasi pendidikan dari hak dasar manusia menjadi komoditas dagang memunculkan kekhawatiran besar tentang masa depan pendidikan itu sendiri. Ketika pendidikan diperlakukan layaknya barang yang diperjualbelikan, nilai-nilai moral, sosial, dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi inti pendidikan tergeser oleh logika pasar. Perubahan ini tidak hanya mengubah paradigma pendidikan, tetapi juga mengancam misi utamanya sebagai alat transformasi sosial. Pendidikan yang diarahkan pada keuntungan ekonomi semata berisiko menciptakan masyarakat yang terfragmentasi, di mana kesenjangan antara mereka yang "mampu" dan "tidak mampu" semakin menganga.
Salah satu bentuk nyata komersialisasi pendidikan adalah ketimpangan akses yang semakin memperburuk kesenjangan sosial. Pendidikan yang mahal membuat banyak keluarga dari golongan ekonomi bawah tidak memiliki pilihan selain menyekolahkan anak mereka di sekolah dengan kualitas seadanya atau bahkan menghentikan pendidikan sama sekali. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Di Amerika Serikat, utang pendidikan menjadi salah satu beban finansial terbesar generasi muda, menciptakan siklus ekonomi yang stagnan. Sementara itu, di Konoha, anak-anak di pedesaan sering kali hanya memiliki akses ke sekolah yang kekurangan fasilitas, guru berkualitas, dan teknologi pendidikan. Contoh lainnya dapat dilihat di India, di mana banyak anak dari golongan miskin terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, meninggalkan sekolah yang dianggap terlalu mahal. Situasi ini memperlihatkan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi sarana pemerataan kesempatan, melainkan alat yang memperkuat stratifikasi sosial.
Komersialisasi juga terlihat dalam transformasi institusi pendidikan tinggi menjadi "pabrik tenaga kerja" yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Universitas-universitas di Inggris dan Australia, misalnya, kerap memprioritaskan program-program yang relevan secara ekonomi seperti teknologi informasi dan bisnis, demi menarik mahasiswa internasional yang bersedia membayar biaya kuliah tinggi. Di satu sisi, langkah ini dianggap relevan karena dapat mempersiapkan mahasiswa untuk langsung terjun ke dunia kerja. Namun, di sisi lain, pendekatan ini sering kali mengorbankan pengembangan nilai-nilai fundamental seperti pemikiran kritis, kreativitas, dan empati. Bidang studi humaniora dan seni di beberapa universitas ternama di Asia, seperti Cina dan Jepang, sering kali tersingkir demi program yang dianggap lebih "menguntungkan." Akibatnya, pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter dan refleksi sosial kehilangan esensinya, menjadikan lulusan hanya sebagai roda penggerak ekonomi, bukan agen perubahan sosial.
Fenomena jual beli sertifikasi adalah bentuk lain dari sisi gelap komersialisasi pendidikan. Banyak lembaga pelatihan di Asia Tenggara, termasuk di Konoha dan Filipina, menawarkan sertifikat yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa melalui proses pembelajaran yang sebenarnya, selama peserta mampu membayar. Fenomena ini menciptakan ilusi kompetensi yang merusak nilai pendidikan secara keseluruhan. Di berbagai negara Afrika, sertifikasi palsu menjadi masalah besar yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Sementara itu, sertifikat dengan embel-embel "internasional" sering kali lebih digunakan sebagai alat promosi di institusi-institusi pendidikan swasta di Timur Tengah, tanpa benar-benar mencerminkan kualitas. Fenomena ini mengikis esensi pendidikan sebagai proses pembelajaran mendalam, menggantinya dengan sekadar "label" yang dapat diperdagangkan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan krisis kepercayaan terhadap institusi pendidikan itu sendiri.
Ketimpangan yang muncul dari komersialisasi pendidikan menciptakan sistem yang semakin eksklusif. Pendidikan yang mahal menjadi hambatan utama bagi kelompok ekonomi lemah untuk mengejar impian mereka. Protes mahasiswa di Afrika Selatan melalui gerakan #FeesMustFall adalah cerminan dari frustrasi generasi muda terhadap sistem pendidikan yang tidak lagi berorientasi pada keadilan sosial. Ketika pendidikan lebih berpihak pada keuntungan ekonomi daripada memberikan kesempatan yang setara, maka cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang inklusif semakin sulit diwujudkan. Sistem ini tidak hanya memperbesar jurang sosial, tetapi juga merusak fungsi pendidikan sebagai alat mobilitas sosial yang seharusnya dapat mengangkat kelompok rentan keluar dari kemiskinan.
Pendekatan pendidikan yang berorientasi pasar juga mengancam peran pendidikan dalam pembentukan karakter. Pengurangan porsi humaniora dan seni dalam kurikulum universitas demi memprioritaskan bidang yang dianggap lebih relevan secara ekonomi adalah contoh nyata di Cina, Jepang, dan Korea Selatan, di mana logika pasar sering kali mendikte arah kebijakan pendidikan. Langkah ini berisiko melahirkan generasi yang kurang peka terhadap isu-isu sosial, budaya, dan etika. Pendidikan yang terlalu fokus pada keterampilan teknis sering kali mengabaikan pengembangan kepekaan sosial dan nilai-nilai universal seperti keadilan, empati, dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Jika dibiarkan, hal ini dapat menciptakan masyarakat yang efisien secara teknis tetapi rapuh secara moral dan sosial.
Di era digital, komersialisasi pendidikan mengambil bentuk baru melalui teknologi pendidikan. Sementara platform daring seperti Coursera dan edX memiliki potensi besar untuk memperluas akses pendidikan, kenyataannya banyak yang justru memperbesar kesenjangan. Teknologi pendidikan sering kali hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki perangkat memadai dan koneksi internet stabil, meninggalkan kelompok ekonomi lemah semakin jauh tertinggal. Di Konoha, tantangan ini sangat terasa di daerah-daerah terpencil di bagian timur Konoha, di mana infrastruktur digital masih sangat terbatas. Alih-alih menjadi alat pemerataan, teknologi pendidikan yang tidak diimbangi dengan kebijakan pemerataan justru memperkuat ketimpangan yang sudah ada.
Korupsi dalam dunia pendidikan menambah daftar panjang masalah yang muncul dari komersialisasi. Kasus seperti skandal penerimaan mahasiswa di universitas-universitas elit di Amerika Serikat, menunjukkan bagaimana uang dapat mengaburkan prinsip meritokrasi dalam sistem pendidikan. Kasus serupa juga terjadi di beberapa universitas di Eropa, termasuk Jerman dan Prancis, meskipun sistem pendidikan mereka dikenal lebih terjangkau. Ketika institusi pendidikan lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada nilai-nilai integritas dan keadilan, pendidikan kehilangan kredibilitasnya. Skandal semacam ini tidak hanya menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pendidikan, tetapi juga merusak semangat generasi muda yang seharusnya percaya bahwa pendidikan adalah alat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Fenomena ini menegaskan bahwa komersialisasi pendidikan bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga isu moral dan sosial yang mendalam. Pendidikan yang terlalu berorientasi pada keuntungan sering kali melupakan tanggung jawabnya untuk menciptakan masyarakat yang adil, inklusif, dan berdaya. Pendidikan yang baik tidak hanya bertujuan mencetak tenaga kerja, tetapi juga membentuk individu yang berpikir kritis, peduli terhadap sesama, dan mampu menghadapi tantangan global dengan bijaksana. Pendidikan harus dilihat sebagai investasi sosial, bukan sekadar komoditas ekonomi.
Harapannya, Konoha dapat belajar dari berbagai kasus global ini untuk membangun sistem pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Pemerintah Konoha harus dapat memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak dasar semua rakyat, tanpa diskriminasi berdasarkan kemampuan ekonomi. Teknologi yang ada harus dimanfaatkan untuk mengatasi kesenjangan, bukan malah memperlebar kesenjangan itu sendiri demi keuntungan beberapa pihak semata. Dengan pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan, kelak Konoha akan dapat mencetak generasi yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas dan semangat gotong royong untuk membangun bangsa yang lebih baik dan berkeadilan sosial.
(Andika Syahputra - Mahasiswa UNDIKSHA)