Banjir adalah salah satu bencana alam yang paling sering terjadi di daerah perkotaan di Indonesia, dan Kota Samarinda tidak terlepas dari masalah kompleks ini. Sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur dengan karakteristik geografis yang unik, Samarinda menghadapi tantangan besar dalam mengelola risiko bencana banjir yang terus mengancam kehidupan masyarakatnya. Fenomena banjir di daerah ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga menjadi isu multidimensi yang memengaruhi aspek sosial, ekonomi, dan infrastruktur perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memberikan rekomendasi yang komprehensif terkait penanganan kawasan yang rawan banjir di Kota Samarinda.
Bencana banjir telah mengalami peningkatan yang signifikan di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya dampak kerugian yang ditimbulkannya (Buchecker et al., 2013; Surminski & Eldridge, 2015; Jongman et al., 2015). Pola hidrologis dalam pengelolaan sumber daya air dan tanah di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh perubahan dalam penggunaan lahan (Welde & Gebremariam, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Samimi et al. (2020) mengungkapkan bahwa perubahan dinamika lahan berdampak pada respons hidrologis, seperti peningkatan limpasan permukaan hingga 9,2% dan evapotranspirasi sebesar 1,7%. Selama musim hujan, debit air permukaan mengalami peningkatan sekitar 5,6%, sedangkan di musim kemarau, debit mengalami penurunan hingga 12,7%.Alih fungsi lahan dari hutan menjadi area pertanian diketahui menyebabkan ketidakseimbangan dalam siklus hidrologis dan meningkatkan aliran permukaan (Welde & Gebremariam, 2017). Selain itu, faktor sosial dan ekonomi juga berperan penting dalam mendorong perubahan tutupan lahan selama beberapa dekade terakhir. Faktor biofisik, seperti pertumbuhan populasi, perubahan iklim, kekeringan berkepanjangan, spesies invasif, lemahnya regulasi, serta kebijakan lahan dan ekonomi yang tidak optimal, turut memperburuk degradasi lahan.Upaya pemulihan lahan terdegradasi telah menjadi perhatian global dalam rangka pelestarian lingkungan. Agar kegiatan konservasi lahan dapat berjalan efektif, penting untuk memperhatikan kesesuaian lahan pada skala regional. Hal ini melibatkan pertimbangan aspek geografis, geomorfologi, dan karakteristik tanah yang ada di wilayah tersebut (Bortoleto et al., 2016).
Kota Samarinda yang terletak di tepi Sungai Mahakam memiliki kondisi topografis yang sangat rentan terhadap genangan air dan banjir. Wilayah ini memiliki karakteristik lahan yang relatif datar dengan sistem drainase yang kurang optimal, sehingga setiap musim hujan, sejumlah kawasan pemukiman dan aktivitas perkotaan terancam terendam. Berdasarkan data historis dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda, setidaknya enam kecamatan secara rutin mengalami banjir, yaitu Samarinda Seberang, Sungai Pinang, Palaran, dan Sambutan. Kondisi ini diperburuk oleh faktor-faktor antropogenik seperti pembangunan yang tidak berkelanjutan, penggunaan lahan yang tidak terencana, serta degradasi lingkungan yang terus berlangsung.
Secara teoritis, banjir dipahami sebagai peristiwa di mana suatu wilayah terendam karena volume air yang melebihi kapasitas alami kawasan tersebut. Menurut teori hidrologi perkotaan, ada beberapa faktor utama yang memengaruhi terjadinya banjir, seperti intensitas curah hujan, karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS), kondisi geomorfologi, dan intervensi manusia terhadap lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli lingkungan menunjukkan bahwa banjir perkotaan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan struktural, melainkan memerlukan strategi yang komprehensif yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Jamanti (2014) mengungkapkan bahwa penyebab utama terjadinya banjir di Samarinda dapat dikategorikan ke dalam dua faktor, yaitu faktor antropogenik dan faktor alami. Faktor antropogenik mencakup kerusakan lingkungan dan Daerah Aliran Sungai (DAS), perilaku pembuangan sampah sembarangan, kegiatan penambangan batubara yang tidak disertai dengan upaya reklamasi yang memadai, serta kondisi saluran drainase perkotaan yang kurang terawat. Sedangkan faktor alam mencakup fenomena pasang surut air laut, curah hujan ekstrem, serta penyempitan dan pendangkalan sungai akibat akumulasi sedimentasi. Di antara kedua faktor tersebut, perilaku manusia sebagai bagian dari komunitas sosial memiliki dampak yang cukup signifikan. Sayangnya, kesadaran individu dalam menjaga kelestarian lingkungan masih tergolong rendah, yang menyebabkan praktik-praktik perusakan lingkungan tetap berlangsung. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran lingkungan pada tingkat individu guna memperkuat kepedulian terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Sebagian besar penelitian mengenai banjir di kawasan perkotaan, khususnya di Samarinda, masih jarang mengeksplorasi peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan dan pengendalian banjir. Berdasarkan laporan dari Deputi Bidang Sarana dan Prasarana (2010), partisipasi masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam mitigasi banjir masih tergolong rendah. Selain itu, kebijakan pemerintah daerah terkait penanganan bencana juga masih terbatas, implementasi regulasi yang ada belum maksimal, dan pendanaan untuk penanggulangan bencana masih sangat bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, diperlukan upaya konkret untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan risiko banjir secara lebih efektif.
Proses pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan banjir dapat dilakukan dengan mengacu pada tiga dimensi pemberdayaan yang dikemukakan oleh Mulyawan (2017) dan Fahrudin (2012), yaitu enabling (pengembangan kapasitas), empowering (pemberdayaan), dan protecting (perlindungan). Penjelasannya adalah sebagai berikut: Dimensi enabling bertujuan untuk menciptakan kondisi yang mendukung masyarakat agar dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal. Hal ini bertujuan agar masyarakat mampu mandiri dan memiliki pola pikir berkelanjutan dalam menghadapi permasalahan lingkungan. Fokus utama dalam dimensi ini adalah pengakuan bahwa setiap individu dan komunitas memiliki potensi yang dapat diberdayakan, sehingga tidak ada komunitas yang benar-benar tidak berdaya.Selanjutnya, dimensi empowering berfokus pada penguatan kapasitas melalui peningkatan kesadaran, motivasi, dan dorongan agar masyarakat dapat memahami dan memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Proses ini melibatkan berbagai upaya seperti edukasi tentang pentingnya pengelolaan lingkungan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan,serta penyebaran informasi mengenai manfaat interaksi berkelanjutan dengan lingkungan. Salah satu contoh praktik yang dapat diterapkan adalah penggunaan teknologi sederhana seperti sumur resapan biopori untuk mengelola limpasan air hujan secara lebih efektif.
Pelaksanaan program edukasi bagi masyarakat idealnya dimulai dari struktur paling mendasar. Menurut penelitian Angguniko (2010), tingkat RT/RW terbukti lebih efektif dibandingkan dengan tingkat kelurahan atau kecamatan dalam penyebaran informasi dan penerapan teknologi sumur resapan biopori. Prinsip pemberdayaan menekankan pentingnya memperkuat potensi yang sudah ada di dalam masyarakat. Strategi yang diterapkan dalam pemberdayaan ini mencakup peningkatan keterampilan dan kemampuan manajerial masyarakat. Pendekatan ini memerlukan tindakan proaktif yang tidak hanya berfokus pada penciptaan lingkungan yang kondusif, tetapi juga melibatkan langkah nyata seperti penyediaan sumber daya yang memadai, pemberian akses terhadap berbagai peluang, serta pemberian dukungan yang diperlukan untuk mendorong kemandirian masyarakat. Salah satu metode untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas manajerial masyarakat adalah dengan mengorganisir individu dalam struktur komunitas atau organisasi sipil yang lebih teratur dan terarah. Prinsip tata kelola yang baik (good governance) juga harus diinternalisasikan dalam komunitas tersebut. Dengan pendekatan ini, masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program yang dijalankan dengan lebih efektif dan sistematis, sehingga menghindari kesan pelaksanaan yang serampangan.
Pendekatan Protecting atau Maintaining dalam pemberdayaan masyarakat berfokus pada aspek perlindungan, dengan tujuan memastikan bahwa potensi yang dimiliki oleh kelompok rentan dapat dikembangkan dan dijaga agar berjalan secara optimal serta berkelanjutan. Upaya perlindungan ini dapat diwujudkan melalui penyusunan kebijakan dan regulasi yang tegas serta terstruktur. Dalam konteks pemberdayaan melalui implementasi sumur resapan biopori, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam merumuskan panduan teknis yang mencakup standar pembuatan serta langkah-langkah penerapannya. Panduan ini dapat diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau dijadikan salah satu persyaratan teknis dalam pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal tersebut menjadi krusial karena pengelolaan sistem drainase dan saluran pembuangan yang baik merupakan bagian integral dari pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka prinsip Good Governance, penanganan masalah banjir memerlukan keterlibatan aktif dari sektor swasta dan partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab pengelolaan banjir tidak hanya berada di pundak pemerintah, tetapi juga membutuhkan kontribusi langsung dari masyarakat melalui program pemberdayaan. Penggunaan sumur resapan biopori dipilih sebagai salah satu solusi yang efektif untuk mengurangi genangan air, sekaligus dapat diintegrasikan dengan inisiatif pemberdayaan masyarakat.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan banjir dapat merujuk pada tiga dimensi utama. Pertama, enabling (pembangunan kapasitas), yang dilakukan melalui edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Kedua, empowering (pemberdayaan), yang melibatkan optimalisasi peran komunitas dan organisasi sipil dalam mengoordinasikan aksi kolektif untuk pengelolaan banjir. Ketiga, protecting atau maintaining (perlindungan dan pemeliharaan), yang diwujudkan melalui penerapan kebijakan serta pedoman teknis terkait pembuatan sumur resapan biopori, yang dapat dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Pemerintah disarankan untuk tidak memandang permasalahan perkotaan, termasuk banjir, sebagai tanggung jawab yang harus ditangani secara sepihak. Prinsip Good Governance menekankan pentingnya kolaborasi yang harmonis antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menangani berbagai isu perkotaan. Penanganan banjir dapat dioptimalkan dengan melibatkan komunitas melalui penerapan teknologi sumur resapan biopori sebagai salah satu solusi praktis. Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan banjir dapat diwujudkan melalui beberapa langkah strategis, yaitu meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan lingkungan, memperkuat peran aktif komunitas dan organisasi sipil dalam aksi kolektif, serta merumuskan kebijakan yang disertai pedoman teknis terkait pembangunan sumur resapan biopori. Panduan teknis ini sebaiknya diintegrasikan ke dalam persyaratan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menjadi bagian dari standar teknis dalam konstruksi bangunan. Selain itu, integrasi kebijakan ini juga perlu diperkuat melalui mekanisme pengambilan keputusan yang partisipatif dan transparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H