Lihat ke Halaman Asli

Sehari di Bangka (Akan Kembali Setelah Minum Air)

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1387555856764465186

[caption id="attachment_285098" align="aligncenter" width="1600" caption="Pemandangan pelabuhan Tanjung Kalian Kab Bangka Barat dari atas mercusuar"][/caption] BANGKA, sebutan umumnya, tidak asing lagi terdengar di telinga khususnya saya. Sebab sejak masih kecil, pulau Bangka begitu akrab dengan warga kami saat itu. Kami tinggal di kawasan transmigrasi tepatnya di jalur kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Saat masih kecil sekitar tahun 2000 an, hampir separuh dari warga desa saya pergi merantau di pulau Bangka. Toboali, Pangkal Pinang, Kobak, Sungai Selan dan tak lupa Muntok menjadi pusat tujuan perantauan bagi warga desa kami untuk mencari penghasilan. Mereka menyeberang ke pulau Bangka dari desa kami menggunakan ketek (kapal tongkang yang terbuat dari kayu). Perjalanannya pun ditempuh dalam waktu sehari semalam. Mereka nekat menuju pulau Bangka  karena faktor ekonomi. Dua hektar ladang sawah yang diberikan ketika awal transmigrasi, tak cukup kuat bagi mereka untuk mendapatkan rejeki, sekedar untuk makan saja sudah susah. Pertanian berupa padi, kopi dan lain-lain yang ditanam warga, banyak kurang berhasil khususnya menanam padi. Hama padi seperti tikus dan babi, menjadi musuh utama petani selain dari penyakit yang timbul akibat kurang baiknya perawatan tanaman padi. Karena hal itulah, ingin mencari penghasilan yang lebih baik, mereka berbondong-bondong pergi ke pulau Bangka bekerja menjadi penambang timah. Dulunya, pekerjaan yang digeluti bukan sebagai penambang tapi bekerja di kebun lada. Bekerja sebagai petani buruh harian lada, sudah tidak banyak menghasilkan uang. Mereka banting stir menjadi penambang timah. Singkat cerita, dari hilir mudiknya para perantau yang mengadu nasib ke pulau Bangka itu, meninggalkan banyak cerita dan kesan tersendiri dalam benakku. Dari situlah, pulau Bangka menjadi terasa tak asing di bagiku. Meskipun ku akui, aku belum pernah ke sana selama itu. Tapi dari kedekatan para perantau, seakan-akan aku sudah sangat kenal dengan Bangka, hafal nama kota dan bagaimana kondisi disana. Dari situlah, dalam hati kecil sempat pernah berjanji suatu saat nanti pasti akan ke pulau Bangka dan melihat sendiri seperti apa pulau Bangka itu. Hingga akhirnya, itupun terjadi. Tepatnya, Kamis (18/12) lalu aku pergi juga ke pulau Bangka. Menumpang kapal feri odong-odong (karena lama banget nyampeknya). Ketika melihat gugusan pulau dari kejauhan, aku begitu kagum dengan pulau itu. Semakin dekat, semakin dekat hingga akhirnya kapal feri menepi dan kakiku yang memakai sepatu KW menapakkan ke tanah Bangka, surganya Timah. Wuiihh rasanya seperti cita-cita yang berhasil diraih... Pemandangannya luar biasa, udaranya sejuk, pantai dimana-mana. Berbeda sekali dengan daerahku (meskipun begitu aku tetap menyenangi daerah asalku). Aku memang hanya satu malam disana, dan itu belum cukup mengobati rasa "penasaran"ku selama ini. Tapi demikian, aku sudah bersyukur, bisa menjejakkan kaki di pulau dimana presiden pertama RI, Soekarno juga pernah disana, bukit Menungging. "Kalu adek sudah merasakan air Bangka, pasti akan kembali lagi kesini," kata seorang pedagang nasi ketika aku mampir untuk makan siang di warungnya sebelum pulang ke Palembang. Apapun itu, aku sudah bersyukur pernah ke Bangka, pulau yang sejak kecil sudah tak asing lagi dalam hidupku. Sekarang, aku tinggal menjalani hidupku saat ini lagi, sembari memikirkan apakah benar omongan penjual nasi itu......




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline