Lihat ke Halaman Asli

Andi Harianto

TERVERIFIKASI

Kesederhanaan adalah kekuatan

Pemuda dalam Sebungkus Nasi Santan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_139074" align="aligncenter" width="600" caption="Komunitas Pa"][/caption] Pekerjaan akan menjadi sulit, jikalau kita tak pernah memulai. Demikian motivasi yang dipaparkan salah seorang perwakilan peserta di acara Malam Inspirasi Pemuda yang digelar di Café Baling-Baling, Bantaeng (29/10). Acara yang digelar Butta Toa Production dan B Global itu, dalam rangka memaknai sumpah pemuda, 28 Oktober 2011.

Acaranya memang terkesan dadakan, tak ada promosi berlebihan ataupun seabrek administrasi persuratan. Acaranya luar biasa, walau dikemas spontan dan sarat inprovisasi kreatif . Tak ada sambutan formal yang kaku ataupun segala tetek bengek aturan protocol. Orang nyelonong ke tempat acara, juga tak harus lebam membiru dihantam pasukan pengamanan.

Begitulah jikalau para kreatif mengemas acara, tak perlu banyak rapat dengan mulut berbusa-busa karena hanya berdebat siapa yang harus duduk di kursi depan. Tak pahamlah saya mengapa peserta cukup banyak menghadiri acara karena saya sendiri hanya diundang via facebook. saya juga tak tahu mengapa berbagai pagelaran seni di tempat itu terasa demikian terencana sementara saya tahu acara dipersiapkan tak lebih dari seminggu.

Intinya, pekerjaan dibuat mudah karena penggagas acara mau MEMULAI. Acaranya yang dikemas sederhana itu juga menghibur dan menggetarkan semangat karena para penggagasnya berpengalaman mengelar acara semacam itu. Sebenarnya republik ini akan terus berinovasi andai saja orang-orang kreatif diapresiasi. Sayang, tak banyak pejabat kita yang bervisi. Kalau pun ada, palingan sebiji dua biji.

[caption id="attachment_139075" align="alignright" width="376" caption="Banner Acara"][/caption] Karena anak muda kelihatannya tak menyukai kursi, banyak dari mereka yang berasal dari beberapa kelompok seni memilih untuk jongkok di tepian taman yang mengelilingi tempat acara. Bahkan beberapa diantaranya menjadikan motor yang terparkir sebagai tempat yang nyaman duduk bergaya.

Puisi, lagu heroik, tradisional dan modern mewarnai acara. Beberapa perwakilan pemuda juga diberi kesempatan untuk memberi semacam orasi bagaimana Ia memaknai Hari Sumpah Pemuda. Sebagai orang yang hanya nyelonong ke tampat acara, sungguh saya berterimakasih atas keikhlasan para seniman yang banyak berasal dari kelompok pelajar, mahasiswa dan komunitas seni itu menghibur kami.

Saya tahu mereka tak berbayar, tetapi penampilannya demikian sempurna. Karena tak ada tiket yang harus dibayar, saya menghargai acara dengan tepuk tangan dan sesekali berdecak kagum. Sepanjang acara, mata saya tak berhenti melotot, mirip ikan mas koki (mungkin). Keikhlasan mereka untuk menghibur dan memberi semangat membuat saya betah sampai lewat tengah malam.

Saya tersadar setelah balik dari acara, bahwa memang apa yang ditampilkan bangsa akhir-akhir ini sama sekali tak menghibur. Berita selalu saja mengabarkan konflik politik, perampokan uang Negara oleh pejabatnya, ledakan bom, bencana alam, dentuman senjata dan sepak bola yang dipolitisasi. Humor di tivi juga hanya menertawakan ejekan dan hal yang berbau mesum.

Dari keseluruhan acara, berbagai pementasan dari perwakilan komunitas pemuda di Bantaeng menyeruakan lembut bahasa pedamaian, berteriak garang akan negeri yang salah urus. Bahkan seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar (UNM) hanya berpuisi panjang dengan empat kata, selainnya adalah tangisan meraung. “Karena Tuhan Lebih Tahu”, demikian ia menutup puisinya.

B Gallery Band, Butta Toa Production, Juku Tangke, Komplen, Koskar, IPM dan petikan akustik Syamsul Qadri menyanyikan lagu-lagu yang indah. Kadang sendu, tetapi pula kadang menghentak menggelorakan semangat. Lagu-lagu mereka bernada perdamaian, lingkungan, semangat dan cinta. Sesuatu yang menarik, karena lagu-lagu itu kebanyakan karya sendiri.

[caption id="attachment_139076" align="aligncenter" width="640" caption="Kolabarasi tarian Pakkarena dan petikan akustik komunitas Juku Tangke"][/caption] Kolaborasi musik tradisional dan modern terasa kental di acara ini. Seolah para anak muda kreatif itu ingin menampilkan sesuatu yang beda, sesuatu yang khas dari mereka sendiri. “Kita akan tumbuh menjadi citra baru – Aku ada dan menjadi bunga Bangsa” demikian satu bait puisi dari anak binaan Dede Latif yang terasa mewakili malam ekspresi pemuda itu.

Tanggal 28 Oktober ini juga menjadi momentum bahagia buat kami dan teman sekantor di Komisi Pemilihan Umum Bantaeng. Bukan narsis, saya mendapatkan tepuk tangan saat memasuki area acara. Arfan Doktrin, penggagas acara mengucapkan selamat datang kepada saya dan berucap selamat menjadi juara 1 buat anak-anak binaan KPU Bantaeng yang berhasil menjuarai Lomba Cerdas Cermat Pemilu dan Demokrasi tingkat propinsi.

Memang pada acara itu juga ditampilkan prestasi anak-anak muda Bantaeng. Diantara beberapa peserta ada dua orang berselempang juara III Duta Anti Narkoba, beberapa seniman yang sering mejuarai berbagai festival, seperti Butta Toa Production, Komplen dan B Gallery juga tampil dengan lagu terbaiknya.

Cerdas Cermat yang dari Madrasah Aliah Dampang juga dipromosikan sebagai prestasi yang luar biasa, karena pesertanya berasal dari anak dan sekolah yang biasa-biasa saja. MAN Dampang berhasil menyisihkan sekolah-sekolah favorit di Sulawesi Selatan, dan mewakili propinsi kami berlomba ke tingkat pusat.

[caption id="attachment_139077" align="aligncenter" width="640" caption="Para Undangan"][/caption] Selain terhibur, saya juga kagum dan bangga dengan kreatifitas para pengiat seni Bantaeng. Suara kebenaran, kebaikan dan keindahan mewarnai acara yang dihadiri beberapa tokoh Pemuda itu. Tak hanya itu, pengunjung juga bersepakat untuk segera mengetik sms saat itu juga demi mendukung KOMODO masuk dalam bagian 7 keajaiban dunia.

Arfan Doktrin yang memandu sms-an komodo, mengajak hadirin memberi sumbangsih kepada bangsa dan Negara walau hanya 1 rupiah. Selain itu, peserta juga membubukan tanda tangan komitmen untuk mendonorkan darahnya tiap tiga bulan sekali. Walau tubuh para seniman itu kelihatan kurang darah karena banyak begadang, mereka tergerak untuk menyumbangkan setitik darahnya untuk saudara-saudara kita yang mungkin tak bakal kita tahu siapa yang akan menggunakannya.

Aha, setelah hampir dua jam duduk terpukau menyaksikan pementasan, segelas minuman dingin pun keluar. Awalnya saya mengira, mungkin karena acara ini tak didanai pemerintah atau pun sponsor, maka panitia tak memberi kami minum. Tak apa, jikalau tak minum pun dahaga ini telah terpuaskan dengan keikhlasan para seniman menghibur kami.

Filosofi salah seorang tokoh muda yang memberikan orasinya cukup membuat saya mengangguk, “Orang yang paling bahagia adalah orang yang telah bermanfaat kepada sesamanya” Saya yakin para seniman itu telah bahagia menghibur kami. Demikian pula pemilik Warkop Baling-Baling telah cukup bahagia telah menggratiskan minumannya buat undangan. Siapa sih yang tak suka gratis!?

[caption id="attachment_139078" align="alignleft" width="394" caption="BAWEL: Bahagia Walau Ekonomi Lemah. hahahahaha"][/caption] Sebelum acara berakhir, sebenarnya perut ini menggelora, bukan karena semangat pemuda tetapi karena saya tak sempat makan malam karena bergegas ke tempat acara. Selain menimbulkan suara aneh tak ritmis, perut ini sepertinya kembung karena udara dingin musim hujan mulai merasuk, apalagi tempat acara digelar di halaman.

Seolah mengerti dengan kebutuhan dalam negeri Indonesia bagian tengah, bungkusan nasi santan plus bebek goreng yang disumbang salah seorang senior kami pun keluar bertubi-tubi.

Karaeng Anton adalah penggagas bebek goreng itu. Beliau ternyata paham bahwa semangat anak muda akan menjadi anarkhi jikalau perutnya lapar.

Pementasan seni, segelas kopi, sebungkus nasi santan dan bebek goreng, telah menyatukan kami dalam harapan untuk terus berkegiatan dengan inovasi yang tak boleh berhenti. “Pekerjaan menjadi berat, karena kita tak pernah memulai”. Memang tak ada artis ibukota yang didatangkan untuk mendandutkan para remaja hingga tawuran karena hanya masalah senggolan joget.

Malam ekspresi pemuda yang digelar sederhana dan hampir saja tanpa minuman ini terasa cukup. Semoga tahun depan, pemerintah bisa memfasilitas kreatifitas para pekerja kreatif Bantaeng. Kalau pun tidak, juga tak apa.

Bantaeng, 31 Oktober 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline