Lihat ke Halaman Asli

Andi Harianto

TERVERIFIKASI

Kesederhanaan adalah kekuatan

Keusilan Para Bocah Saat Ramadhan Menyambut

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Petasan dilarang, muncul kembang api. Tak seru tanpa ledakan, muncullah kembang api yang meledak. Anak-anak menamainya kembang api roket. Intinya, petasan juga namanya.

[caption id="attachment_122605" align="aligncenter" width="640" caption="Beginilah bocah usil yang lagi kecewa, habis diuber karena main petasan."][/caption]

Menjelang tarwih dan sesudahnya, lorong-lorong di kompleks kami terdengar hiruk pikuk. Jeritan seru para bocah terkadang membuat kepala jadi puyeng. Ibu-ibu berteriak melarang, para Ayah menggertak geram, sarungnya hampir jatuh karena kaget bunyi petasan. Orang tua marah, bocah lari terpingkal-pingkal.

Memang, darimana uang untuk beli kembang api? tentu dari orang tua mereka. Bisa juga karena edan, si bocah jadi korup. Duit untuk celengan masjid, disalah gunakan jadi petasan. Seperti saya semasa bocah, uang celengan berubah jadi korek kayu. Serbuk api di ujung korek, saya jadikan amunisi petasan. Petasan kala itu, terbuat dari busi bekas.

Aha, inilah dunia anak-anak. Mereka punya logika sendiri mengapa petasan itu penting. Ramadhan memang keceriaan bagi anak-anak.  Saat dimana halaman Masjid mereka jadikan area petak umpet. Bahkan ketika ceramah berlangsung, mereka sibuk saja bermain tambuk-tambuk belangang. Saling cubit, saling colek, kemudian cekikikan. hi hi hi.

[caption id="attachment_122606" align="aligncenter" width="640" caption="Saat dihitung, Si Anak tergiur isi celengan "][/caption]

Husss! Tak henti-hentinya jamaah dewasa melarang tingkah para bocah. Habis dilarang, semenit kemudian usil lagi. Sedikit saja tingkah temannya, si anak sudah merasa lucu. Bahkan, ketika sementara shalat pun mereka cekikan.Seperti saya dulu, entah mengapa jikalau di Masjid, kelucuan itu gampang datangnya. Kata ustad, godaan setan. Ternyata, setan lucu juga yah....!?

Sampai malam ketiga tarwih, tingkah anak-anak menjadi perhatian saya. Tentu dengan tetap memperhatikan isi ceramah, yang sampai hari ketiga ini masih membosankan. Ada anak yang memang sengaja diajak orang tua mereka. Duduk dengan tenang disampingnya, walau kadang celingak-celinguk melihat temannya bermain. Anak sejenis ini, sedikit goyang dapat teguran. Kadang ketiban cubitan orang tua mereka.

[caption id="attachment_122607" align="alignright" width="383" caption="Ceramah sementara berlangsung, mereka main ketok-ketok kepala"][/caption]

Ada pula yang orang tuanya ikut tarwih, tetapi anak mereka bergabung dengan kawan-kawannya. Bocah seperti inilah yang senantiasa membuat melotot para orang tua, karena ributnya bukan kepalang.

Jenis berikutnya, ini yang banyak. Orang tuanya tak ikut tarwih, anak-anaknya datang. Sejenis inilah yang banyak berlarian di seputaran masjid. Main petak umpet dan petasan.

Kesemua jenis anak-anak di atas, bocah lelaki. Anak perempuan biasanya ngumpet di mukenah ibu mereka. Ada juga yang cerewet, rewel bin cengeng. Saat shalat berlangsung, si anak meraung-raung minta susu. Sungguh,  shalat tarwih saya terganggu karena ini. Jujur saja, selintas ada iblis berbisik, “masih netek kok, di ajak tarwih!?

Ingatlah saya kisah tentang Khalifah Ali, ketika panah musuh tertancap di punggungnya. Demi mengurangi rasa sakit, Beliau meminta dicabutkan ketika sementara shalat. Karena khusyunya shalat khalifah, ia tak merasa sakit sedikit pun ketika panah dicabut. Jauh beda dengan saya, anak menangis minta mimi pun, membuat khidmatnya bacaan imam jadi terganggu.

Sedari tadi saya sudah indentifikasi jenis anak-anak usil. Kini, saya ingin tahu orang tua sejenis apa saya ini. Saya menyukai anak-anak, senang dengan keceriaan mereka. Menurutku, memang Ramadhan juga milik anak-anak. Keceriaan menjadi indah bagi mereka saat bermain di malam hari. Pada bulan biasa, orang tua pasti melarang anak-anak bermain di malam hari. “Sana belajar! besok sekolah”.

Orang tua sejenis saya sudah setengah baya, umur kini sudah berkepala tiga, tetapi saya ingat betul keusilan saya saat bocah kala Ramadhan tiba. Kembang api saat itu belum ada, yang ada mercon bambu yang ledakannya sekelas meriam. Heboh, memekakkan telinga.

Jikalau bukan mercon, petasan kami rakit dari busi motor. Ledakannya pun lebih keras dari petasan roket. Sekeras apa pun kami dilarang, bahkan dipecut, tetap saja kami hebohkan jalanan dengan ledakan. Kala itu, kami jadi teroris ingusan. Rela buron, karena petasan.

[caption id="attachment_122608" align="aligncenter" width="640" caption="Anak sejenis ini, lebih tenang. Telengkupan sendirian. Mending daripada terkantuk-kantuk seperti Bapak di ujung sana."][/caption]

Seperti orang tua lainnya, saya yakin mereka pun seperti tingkah anak-anak saat sekarang ketika puasa menyambut. Kok, mereka melarang anak-anak ceriah saat ramadhan? Menggertak, melotot dan mencubit. Memang mengganggu, tetapi tentu ada cara menanganinya. Terus melarangnya dengan keras, justru bakal membuat kita bertambah gondok.

Ayah…, kalo puasa tak boleh malah yah,” kata putri bungsu saya, suatu waktu.

Setelah dua malam mengamati tingah anak-anak di masjid, saya pun tak memilih di saf terdepan, justru di belakang. Saya sebaris dengan anak-anak, berada di antara mereka. Saf depan memang utama, tetapi jika anak-anak ribut di belakang, keutamaan itu menjadi terganggu. Walhasil, anak-anak usil itu segan cekikikan. Sebagai salah seorang takmir masjid, saya merasa bertanggung jawab mengatasi keributan ala bocah ini. Chiyee……

Saat ceramah, saya pun berada paling belakang. Bergabung dengan anak-anak. Saya tak sedikit pun melarang mereka. anak-anak yang memang kegatalan untuk ribut, pasti memilih keluar masjid. Di halaman Masjid sudah menunggu takmir bidang ketertiban yang mukanya lebih seram dari saya. Jadilah anak-anak menyingkir jauh ke pos ronda. Ribut saja di sana…, ceriahlah seheboh mungkin.

[caption id="attachment_122609" align="aligncenter" width="640" caption="Ehm, anak baik. Sok nyimak isi ceramah karena saya ada di sampingnya."][/caption] Tentang petasan, saya juga tak melarangnya. Seandainya anak saya minta dibelikan kembang api, pasti saya bakal membelikannya se dos penuh. Anak-anak yang doyan main petasan roket, saya ganti kembang api payung yang hanya berupa percikan api yang indah.

Tak bakal saya beri mereka uang untuk beli kembang api sendiri. Uang celengan cukup untuk mengajari mereka bahwa menyumbang saat Ramadhan, pahalanya beribu kali lipat. Lima ratus rupiah, kira-kira setara lima ratus ribu. Tak bakal ada petasan seharaga lima ratus rupiah.

Mengajak anak ke masjid, sangatlah penting. Tentu dengan maksud edukasi. Lebih penting lagi, jikalau orang tua mereka ikut bersamanya, biar ada yang mengontrol. Anak-anak yang usil, mungkin tak bakal berdosa, tapi orang tuanya lebih pasti berdosa.

Ceramah ustad, seharusnya tidak hanya diperuntukkan untuk jama’ah dewasa. Tetapi juga ceramah yang bisa dicerap anak-anak. Ustad yang berkisah, disenangi anak-anak. Ceramah yang itu-itu juga bisa membuat orang tua bosan, apalagi anak-anak. Biarkan ramadhan membawa keceriaan bagi si bocah, sekaligus berkah buat semuanya.

Atas salah dan khilaf di catatan ini, mohon dimaafkan. Lahir dan batin. [Telkomsel Ramadhanku]

Bantaeng, 3 Agustus 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline