Lihat ke Halaman Asli

Andi Harianto

TERVERIFIKASI

Kesederhanaan adalah kekuatan

Jaksa Kebon Sirih Kampung Betawi

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12971360851453285773

[Sekadar bualan norak, hasil lirikan mata]

[caption id="attachment_89029" align="aligncenter" width="538" caption="(Pinjam Foto dari http://www.infobackpacker.com/jalan-jaksa-backpacker-meeting-point-di-jakarta.htm)"][/caption]

Di seputaran Kebon Sirih, kawasan wisata malam Jalan Jaksa, berada. Jalan yang tidak pernah tidur. Begitu gemerlapdi malam hari. Jejeran kaki lima, berbaur satu dengan kedip lampu café. Jalanan terasa sempit,membuat saya yang menikmati suasana malam itu, sulit untuk melangkah. Mobil yang berdempet padat di jalanan dan ramai pengunjung kaki lima di trotoar, serta lalu lalang para manusia ini dengan berbagai maksud, adalah penyebabnya.

Jalanan sepanjang 400 meter, yang dulu didiami para mahasiswa Rechts ogeschool Batavia di jaman kompeni ini.Para mahasiswa akademi hokum itulah yang menjadi jalan itu memiliki identitas. Jaksa Sang Penuntut diabadikan pada jalan yang sudah dikenal baik di kalangan internasional Backpackers. Jaksa sebuah jalan yang ramai namun tenang, tidak banyak menuntut isi dompet terkuras, karena jajanan di sini murah. Para tetangga juga tak bakal menuntut bising karena kedengaran dentuman music tidak menganggu.

Seorang ibu kakilima, memintaku berjalan di bawah tendanya, menembus ke tenda-tenda lainnya. Di kotaku kecilku, ini kurang sopan. Berjalan di dalam tenda warung, dengan hanya sejengkal dari kursi pelanggan yang sedang makan membuat saya merasa kikuk karena tak biasa. Jika saya melakukannya di tempatku, pasti sudah dipelototin, karena badan jalan masih lapang untuk bebas melangkah.

Ini Jakarte Bang! Pemakluman dibutuhkan. Di sini biasa saja, semua orang juga melakukannya. Bahkan para bule dan pasangannya yang tinggi semampai itu, harus menunduk di bawah tenda agar kepala berambut pirangnya tidak meruntuhkan tenda. “Bule di Jalan Jaksa ini, berkanton cekak,” Kata teman, yang ketika itu bersama saya menunaikan tugas kantor di Jakarta. Kenapa cekak? Ada yah, Bule miskin? Pertanyaan norak itu tak mau kusampaikan. Malu.

Esoknya, kembali saya menggunakan kaki kampung dan jelalatan mata saya menikmati suasana. Sore itu, udara sejuk. Awan mendung bergelayut di atas gedung-gedung pencakar langit. Pencakar langit hanya istilah, karena saya tidak melihat cakar di gedung itu. Cakarnya tertanam di tanah. Namanya konstruksi pondasi cakar ayam. Sepertinya kita memang membutuhkan ‘cakar’ yang kuat untuk mengais rezeki, di Jakarta.

12971365381046990154

Dari Jl. Jaksa, saya berbelok ke kiri. Terpampan atribut jalan : Kebon Sirih Barat. Terbayang rasa pinang di benak ini. Pinang teman sirih untuk acara lamaran. Pasti jalan ini punya sejarah. “Nyak, mari sama-sama jaga kampung kite,”terlihat tulisan itu di salah satu gerbang lorong. Kampung? Setidaknya dulu, di ‘perkampungan’ sini ada kebun sirih. Yah, saat Jakarta masih bernama Betawi atau Batavia dalam sebutan kompeni.Itu tebakan saya saja. Mungkin kebun itu milik juragan, centeng, baba hong atau tuan belande.

Kampung itu, kini tertanam tiang-tiang listrik, pohon beton menyangga gedung menjulang. Jarang saya melihat halaman seukuran satu meter. Sejengkal tanah yang dulu diperjuangkan Si Pitung dari kompeni, kini betul termanfaatkan. Tak ada tanah yang menganggur. Tak ada halaman. Bebungaan cukup di pot saja. Trotoar pun dimanfaatkan para pemilik warung tegal. Badan jalan jadi tempat parkir. Garasi tidak penting, karena bisa dikontrakkan. Kontrakan di Jakarta, tentu mahal.

Setelah beberapa kali tersesat masuk ke lorong sempit dan buntu. Akhirnya saya tembus juga ke Jl. Sabang. Maksud awal ingin makan sate kambing, jadi urung karena Pusat Kuliner BSM menarik perhatian saya. Jejeran Kaki lima binaan Bank Syariah Mandiri ini, terlihat rapi. Penjual makanan berhadapan dengan lapak pakaian dan pernak-pernik menarik. Lost kaki lima yang mungil juga seragam. Bersih, itu kesan saya. Walau berada di lorong sempit, tetap kita bisa melenggang santai.

Jadilah hati penasaran ini berhenti di salah satu lapak. Keringat dan perut yang melilit membuat saya memesan Soto Bogor. Sok pesan saja, yang penting berkuah. Saya sendiri belum pernah merasakan makanan itu. Di benak saya hanya muncul pikiran umum orang Bugis-Makassar, bahwa semua yang diolah menjadi masakan para Ibu di tanah Jawa, pasti enak.

[caption id="attachment_89033" align="aligncenter" width="606" caption="Kebon Sirih dan pertahanan Van den Bosch [Foto: YAYASAN CIPTA LOKA CARAKA"]

1297136804958676169

[/caption]Terbukti, soto bogor itu memang enak. Cabikan kecil daging ayam, dan kuahnya yang sedikit berwarna merah cabe keriting, cukup membuat saya minta tambah. Saya tidak terbiasa makan dengan nasi hanya segenggam. Di Jakarta sini, tak apalah sedikit rakus. Toh, gak ada yang kenal. Cukup pembaca saja yang tahu. Akh, jadi malu….

Nto, kenapa orang di kota besar itu mudah selingkuh!?” Teman saya, tiba-tiba membuka perbincangan. Sontak saja, saya melongo mendapat pertanyaan yang tidak perlu saya jawab itu, karena dia kembali melanjutkan penjelasan dan pengalamannya saat dulu ia pernah dua tahun bekerja di Jakarta.

Penjelasan itu sebenarnya tidak menarik, teman yang sedikit lebih berumur dariku itu, juga sekadar membuka pembincaraan untuk mengalihkan lirikan mata saya ke meja sebelah. Meja, yang di situ ada dua karyawati sekshe sementara berbincang mesra dengan teman cowoknya. Ada paha di atas paha, tetapi tidak berpangkuan. He, mungkin ini maksud teman saya, sekadar mengalihkan sudut mata mesum saya.

Sambil mesem-mesem, saya mendengar kisahnya, “Di Jakarta ini, kebanyakan waktu dihabiskan di tempat kerja dan jalanan. Lebih banyak waktu bersama teman sekerja daripada pasangan di rumah, intensitas pertemuan bisa berbuah selingkuh” katanya panjang lebar. Saya hanya mangguk-mangguk. Saya sudah tahu, sudah banyak saya dengar cerita tentang itu. Hanya satu, yang saya kagumi. Kawanku itu pintar mengalihkan perhatian.

[caption id="attachment_89036" align="alignleft" width="300" caption="Mungkin ini yang dikata pongah mencakar langit"]

12971376081062758636

[/caption] “Ini Jakarte Bang,” teringat kembali kata-kata yang maknanya luas dan cukup untuk dimaklumi saja. Berada tiga hari di Jakarta saja, membuat saya rindu kembali ke kota kecilku yang tenang. Tidak banyak suara klakson kendaraan. Kita bebas berjalan menikmati udara segar. Kebun jeruk, kebun cabe, kebun durian, kebun kopi, kebun strawberry nyata adanya.

Belum ada gedung yang mau pongah mencakar langit. Palingan hanya bisa mencolek pohon kelapa. Bangunan tertinggi di kotaku hanya tiga tingkat. Namanya Hotel Ahriani. Sebenarnya tidak layak disebut hotel. Wisma tepatnya, seperti Wisma haji yang AC nya ngadat, tempat saya nginap di Jl. Jaksa. Hotel murah namun akrab dengan selera kampunganku. He he he

Selain gedung bertingkat tiga itu, tower-tower perusahaan seluler juga sudah banyak di kotaku. Heran saja, kenapa tower itu banyak berada di lokasi dekat kuburan. Mungkin signal lancar di dekat kuburan, karena banyak setan yang membantu memancarkannya. Seorang teman pernah berseloroh, sebenarnya Perusahaan Satelindo itu awalnya bernama Setanlindo!??.

Ha, karena sudah mulai ngelantur. Saya cukupkan laporan lirikan mata saya sampai disini.

Tolong, jangan dirating AKTUAL, karena cerita ini sudah basi. Kejadiannya tanggal 1-2 Februari kemarin. Salam Kompasiana.

Bantaeng, 8 Februari 2011

Foto: Selain dokumentasi pribadi, foto di pinjam dari sini, sini dan sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline