Lihat ke Halaman Asli

Andi Harianto

TERVERIFIKASI

Kesederhanaan adalah kekuatan

Jualan Berjejer Khas Taman Roya

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12914003901240608723

Berjejer-jejer, sebelah-menyebelah. Seragam tetapi khas. Ini bukan tebak-tebakan. Hanyalan bualan, tentang seorang kampungan yang senang jokka-jokka. ‘Jokka-jokka’ itu apa? Sinonim dengan jappa-jappa. Apapula itu? Bahasa Indonesia, mengartikan bahasa Bugis ini: jalan-jalan. Lalu, apa yang berjejer, seragam tetapi khas? Nah, inilah yang saya mau kisahkan. Kisah yang tidak penting bagi orang ‘kenyang’, tetapi mungkin patut disimak, bagi yang ‘lapar’. [caption id="attachment_78331" align="alignright" width="300" caption="Warung Taman(g) Roya"][/caption] Minggu lalu, saya dalam perjalanan Bantaeng- Makassar. Melewati Kabupaten Jeneponto, Takalar dan Gowa. Jaraknya 120 km, ditempuh kurang lebih 3 setengah jam. Di Jeneponto, tepatnya di Lingkungan Boyong, kelurahan Tonrokassi Timur, terdapat tempat yang namanya Taman(g) Roya. Biasa juga di sebut ‘masjid kencing’. Kenapa masjid kecing? Karena dulu di wilayah itu, adalah tempat mobil penumpang singgah. Sekadar ketoilet masjid, bagi mereka yang kebelet. Setelah itu ngacir. Entah, mengapa. Setiap hendak melalui masjid ini, serasa mau pipis. Bukan klenik yah? Mungkin sugesti.

Nah, peluang inilah yang dimanfaatkan penduduk sekitar. Jangan sekadar singgah, tapi istirahat dan makanlah!. Mungkin begitu visinya. Dulu hanya satu lapak warung, sekarang sudah berjejer sekitar 20 lapak. Sebelah menyebelah, berhadap-hadapan. Jualannya sejenis, yaitu makanan tradisional Makassar. Semua yang dijual berbahan bungkusan daun pisang, seperti Songkolo, gogos, buras, lemang. Lauknya telur itik rebus atau telur asing plus cabe tomat. Orang Makassar menyebutnya cobek-cobek. Pedis, asam, manis. Begitu rasanya. Enaknya khas. Tetapi bukan nano-nano.

Selain jualan kuliner khas itu, ada juga jualan lain seperti soft drik, kue-kuean dan makanan modern lainnya. Tetapi tempat itu menjadi khas, karena penganan berbungkus daun pisang ini. Setiap saya lewat di pagi hari, saya selalu singgah. Sarapan, karena di rumah hanya sekadar kopi, kemudian Go! Tidak ada langganan tetapku di sana, karena semua jajanannya sama. Di mana lahan parkir kosong, maka disitulah tempatku singgah. Toh, dagangannya sama. Tidak perlu pilih-pilih. Siapa punya rezeki, maka disitulah kita memberikannya.

Sarapan di Taman Roya Jeneponto, cukuplah membuat perut ini bertahan sampai di Makassar. Setelah urusan selesai dan waktu makan siang tiba, pilihan saya ada tiga. Coto Paraikatte di Jl. Pettarani, Sop Saudara di Jl. Andalas, atau Sup Kepala Ikan di Jl. Manuruki, bisa juga di Jl. Pelita Raya. Sore-sore, ngumpul sama teman. Pilihanku biasanya, di Warkop Phoenam Panakukang, Warkop Daeng Sija, atau Warkop Cappo. Pokoknya yang penting kopi deh. Setelah magrib, baliklah saya kembali ke Bantaeng.

Ehe, sepertinya urusan makan melulu. Tadinya saya mau cerita tentang usaha. Jadinya ngaco ke urusan makanan. Sangat kentara, penulisnya balala (rakus). Nah, setelah menuju Bantaeng, tempat favorit berikutnya adalah warung jagung di Kabupaten Takalar. Letaknya di jalan poros, sama yang di Taman Roya. Warungnya juga berjejer. Jualannya sama. Jagung rebus, plus kopi atau sarabba. Saraba adalah minuman jahe panas bercampur santan untuk sopir yang masuk angin. Masuk angin itu memalukan. Perut kembung dan kentut kadang nyelonong saja, tak permisi.

[caption id="attachment_78332" align="alignleft" width="300" caption="Jagung Rebus Takalar; Tak bermusim"]

12914005421865718539

[/caption] Saya heran, kenapa jagung di Takalar ini tak pernah habis. Tidakkah ada yang dikenal seumur jagung. Tiga bulan lamanya. Ternyata penjual jagung ini menanamnya di beberapa tempat, diselingi tiap satu bulan. Pantasan saja jagungnya selalu ada. Istilah musim jagung seperti di kampungku, tidak berlaku di Takalar. Dulu, penjual ini hanya musiman. Tetapi karena pelanggannya sudah berjubel, maka tidak musiman lagi.

Seperti halnya penjual bandike, atau semangka. Letaknya juga di takalar. Kira-kra 5 km dari warung jagung ini. semangka besar dan manis itu, juga terus ada sepanjang musim. Jagung di Takalar, terkenal. Rasanya…..Yah, rasa jagung lah. Hanya saja jagungnya kurang ompongnya. Bulirnya kecil-kecil tetapi berisi. Jagung di Takalar ini padanannya hanya tumbukan cabe dan garam. Kalau Anda suka terasi seperti saya, maka dicampurlah cabe itu dengan terasi yang di tetesi jeruk nipis. Wuih…….,

Ekh, saya lupa. Sebelum sampai di Takalar kita melewati Kabupaten Gowa dulu. Setelah melewati kota Sungguminasa, kita akan kembali bertemu dengan jejeran penjual putu cangkir. Kue khas Makassar ini, bahannya kacang ijo. Di tempat ini, biasanya saya hanya singgah sebentar. Sekadar membeli putu dan buah untuk oleh-oleh. Putri sulung saya doyan buah, si bungsu doyan putu. Saya sendiri tidak hobbi keduanya, kecuali senyum penjualnya yang manis dan ramah itu. Pak Udin, sopir kantor yang biasa mengantarku, senang singgah di tempatnya Daeng Te’nne. Daeng Tenne ini sudah ditinggal mati suaminya, alias…..

Nah, sampailah kita pada pembahasan yang sedikit teoritis. Pelajaran ini berat, jangan berhenti membaca. Judul materinya, strategi marketing. Fokusnya diferensiasi. Istilahnya hebat kan? Kadang saya sendiri kurang suka istilah ini. Strategi marketing sebenarnya hanyalah cara menjual. Diferensiasi, tidak lebih dari aspek pembeda. Itu saja. Kenapa sih, harus bahasa Inggris? Maklum, bahasa Inggrisku jeblok. He-he-he

Dosen dan mahasiswa sekarang senang dengan bahasa keren. Kadang dia sendiri mungkin tidak paham. Apalagi saya yang hanya suka makan ini. Coba tanya ke saya, apa makanan khas Makassar, bagaimana cara memakannya, pada takaran berapa orang kekenyangan. Jenis makanan apa yang membuat mencret. Betulkah coto dan sop adalah penyebab asam urat? Pasti saya tahu. Heran saja, kenapa saya yang balala ini tidak buncit, padahal hobbiku makan. Kata istri saya, yang ada di perutku ini bukan cacing. Tetapi naga. Wah!

Kembali ke pelajaran bisnis. Teori bisnis yang umum, salah satu syarat berdaya saing, maka produk itu perlu berbeda (different). Menjadikannya khas. Apakah teori ini berlaku untuk pedagang di Tamang Roya, Penjual Jagung rebus Takalar, penjual lemang di Jeneponto atau penjual putu di kabupaten Gowa? Ternyata tidak. Jualan mereka sama, kok. Tidak berbeda. Termasuk layanannya. Saya bebas singgah di manapun saya berhenti.

[caption id="attachment_78333" align="alignright" width="364" caption="Jualan Sejenis dan Berjejer; Banyak Di Sulsel"]

1291400677925878378

[/caption] Iseng, saya pernah tanya ke mereka. Ternyata jawabannya juga mirip-mirip. Tidak berbeda. “Namanya juga rezeki Pak. Sudah ditentukan oleh Yang di Atas”. Sederhana jawabannya. Rezeki. Yang Di Atas yang dimaksud itu Tuhan Pencipta. Bukan Bupati, Gubernur, atau Presiden. Apalagi DPR. Kenapa bukan mereka, karena saya tahu bahwa mereka selalu kesulitan mendapat kredit usaha diawal mereka berdagang, pemerintah tidak anggap mereka sebagai bagian untuk dipeduli.

Setelah usaha berkembang, maka bank datang menawari. Minim campur tangan pemerintah disini, kecuali pajak harus dipungut. Orang bijak taat pajak. Orang bajingan itu namanya Gayus.

Tidakkah pemerintah perlu memberdayakan mereka. Merekalah yang mempromosikan kuliner khas daerah kita. Mereka pula yang menciptakan lapangan kerja. menguntungkan petani jagung, petani kacang ijo, petani beras ketan, petani cabe, tomat dan nelayan yang menjual terasi.

Saya sangsi kalau Bupati, Gubernur apalagi Presiden sering singgah di lapak-lapak makanan tradisional itu. mungkin tidak pernah malahan. Restoran mungkin lebih aduhai baginya, disana dijual berbagai jenis makanan bule. Terlihat bahwa keadaan ekonomi pedagang sudah membaik. Mereka tidak butuh bantuan uang. Sekadar saran nih, seharusnya lapaknya dipermak indah, berarsitektur tradisional pula. Ada sertifikasi sehat, karena tempatnya ditepi jalan raya. Nah, ini urusan siapa?

Bantaeng, 3 Desember 2010

Masih lapar? silahkan sahabatku, singgah di link tulisan sebelumnya:

Sop Saudara! // Di sini Perempuan di Hargai, Strategi Unik Warung Tonseng // Kopi Darat di Kopi Phoenam // Lemang Khas Di Sulsel, Aslinya dari Sumut // Khasiat Menjadi Perkasa dengan Coto Kuda // Nikmat Kopi Banyorang, Cita Rasa A’Dengka // Wisata Kuliner Masjid Kencing // Cawang Bening Si Hitam Manis //




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline