Lihat ke Halaman Asli

Andi Harianto

TERVERIFIKASI

Kesederhanaan adalah kekuatan

Citra Mesum Berganti Geliat Cakar Impor

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jejeran lampu taman telah menghiasi sepanjang jalan di Pantai Seruni. Dulu sebelum lampu-lampu ini ada - dua tahun yang lalu, suasana remang-remang dan terkesan mesum seolah menjadi citra di tanggul-tanggul pantai. Muda-mudi pun memanfaatkannya untuk memadu kasih, ada yang sekedar berbincang, pula ada yang lebih dari itu. Seolah mereka sudah bersepakat, jarak duduk antar pasangan di tanggul itu, kira-kira sepuluh meteran. Mereka seolah saling memberi kesempatan, agar bisikan “dunia milik kita berdua” tak saling terdengar. Malam Minggu, adalah waktu yang paling ramai, dan jarak antar merekapun saling berdempetan. Kira-kira lima meteran saja.

[caption id="attachment_269947" align="aligncenter" width="500" caption="Pelataran Pantai Seruni Di Siang Hari"][/caption]

Kini, kesan mesum tak ada lagi, terutama di malam minggu, karena memang dunia tak hanya milik mereka berdua, tetapi juga sudah menjadi milik para penjual ‘cakar’ dan pelanggannya yang berjubel sumpek di malam minggu. Maklum jalan di sepanjang pantai itu sempit, jadi menambah ramai suasana. Mungkin itulah Pemerintah Kabupaten Bantaeng, hanya mengizinkan penjual ’cakar’ itu hanya di malam minggu. CAKAR adalah singkatan dari CAP KARUNG, yaitu jualan pakaian-pakaian bekas seperti celana, baju, seprei, kelambu, selimut dan banyak lagi yang lainnya. Dinamakan Cakar, karena pakaian-pakaian ini dikemas dalam karung besar.

Pakaian-pakaian bekas ini di impor dari Cina, Korea, dan Singapura, menurut para pedagang. Itu terlihat dari merek nya yang tulisannya aku tak mengerti. Ada juga pakaian-pakaian yang bermerk mentereng, seperti Lea, Levis, Lotto, Nike dan lainnya. Selain murah, terlihat bahwa pakaian-pakaian masih layak pakai walau itu bekas. Tetapi, kita harus pintar-pintar memilih karena bisa jadi ukurannya pas, seolah tak ada kerusakan, tetapi dibagian pantat ternyata bolong. Nampaknya, para penjual Cakar ini telah mencucinya sebelum dijual, karena baunya terasa harum walau dijejer bertumpuk di atas terpal.

Cakar…..Cakar….barang baru….barang baru…..!” itulah yang riuh diteriakkan para pedagang, bercampur dengan suara penjual obat dan music dangdut di lost penjual CD yang juga turut meramaikan pasar malam minggu itu. Menjelang lebaran kemarin saya berkunjung kesana, ramainya berkali lipat dari hari-hari biasa. Dalam benakku berpikir, betapa penting baju baru itu di hari lebaran. Baru yang dimaksud adalah baru dibeli, karena cakar jelas adalah pakaian bekas. Saya tidak ingin mengaitkannya dengan tingkat daya beli masyarakat, karena bisa jadi kegandrungan mereka berbelanja disana adalah bahagian dari budaya “Ingin baik, tapi murah”. Atau bisa jadi adalah trend, berbagai kalangan ada disana, termasuk anak-anak muda yang jikalau saya lihat dari gayanya, pakaiannya cukup keren.

[caption id="attachment_269948" align="aligncenter" width="500" caption="Bermalam Minggu Bersama Hamparan Cakar"][/caption]

dalam pengamatan saya, Cakar di Sulawesi Selatan mulai marak di tahun 2000. Yang paling terkenal adalah Cakar di pantai dekat pelabuhan Kota Pare Pare. Setiap ke Pare-Pare saya senang berkunjung ke Carlos, toko barang bekas yang khusus menjual barang impor bermerk. Disana tak hanya pakaian, tetapi juga jam tangan, dompet, ikat pinggang bahkan coklat impor pun ada. Pernah ada demonstrasi para pedagang garmen, yang memprotes pakaian-pakain impor itu, karena banyak diantaranya masuk kepelabuhan pare-pare dengan cara illegal, dan cakar-cakar itu jelas merugikan mereka. Kabarnya, barang-barang impor ini transit di Batam yang dimasukkan oleh relasi pedagang cakar yang katanya adalah TKI di negara peng ekspor. Saya tidak tahu betul, bagaimana caranya masuknya di Indonesia, yang pasti kini telah sampai di pedesterian dan tratoar jalan Pantai seruni.

[caption id="attachment_269950" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana Indah, di Potret di Tanggul Pantai Seruni"][/caption]

Ide pemerintah Kabupaten Bantaeng menjadikan areal Pantai Seruni itu untuk para penjual Cakar sangat baik. Selain menghindari kesan mesum, juga menjadi penggerak ekonomi rakyat. Selain Cakar, Kini penjual makanan di sepanjang Pantai Seruni yang dulunya hanya satu, telah mulai berjejer menjaring parang pembeli cakar yang ingin menikmati suasana lain. Malam yang dulunya sunyi, karena para muda mudi itu hanya berbisik-bisik ataupun mengelus-ngelus, kini tergantikan dengan hiruk pikuk pedagang yang seolah bersaing siapa diantara mereka yang suaranya paling keras. Dunia kini menjadi milik bersama. Selamat tinggal milik berdua.

[caption id="attachment_269951" align="aligncenter" width="500" caption="“Cakar…..Cakar….barang baru….barang baru…..!” "][/caption]

-------------

Sementara menulis reportase ini, saya melirik-lirik kaos oblong yang saya beli di penjual cakar. Kondisi masih bagus, murah lagi. he he he he

--------------

Foto-Foto : Dokumentasi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline